AcehXPress.com | Pernikahan usia muda menjadi tren di kalangan warga Suriah yang tinggal di kamp pengungsian Jordania dan Lebanon. Data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan terdapat peningkatan tajam jumlah pernikahan dini itu, dan sudah pada taraf mengkhawatirkan.
Menurut data Badan PBB untuk Hak Anak-anak (UNICEF), yang dilansir oleh Al Arabiya dan dikutip AcehXPress.com, Jumat 22 Agustus 2014, tahun lalu saja ada sekitar seperempat dari jumlah pengungsi Suriah yang menikah di bawah usia 18 tahun.
Bagi para pengungsi Suriah itu, gadis di atas usia 18 tahun, "dianggap tua dan tidak mungkin akan menikah," kata Mounira Shaban, seorang bidan Suriah yang tinggal di kamp pengungsian Zaatari.
Di Zaatari, kamp warga Suriah yang dibuka sejak 2012, terdapat sekitar 79.701 pengungsi. Beberapa pengantin anak bercerita tentang kehidupan di pengungsian. Mereka mengaku tak bisa banyak menentukan pilihan hidup sendiri.
"Pernikahan merupakan hari yang sedih, saya tidak ingin menikah pada usia ini," tutur salah satu perempuan muda sambil menggendong bayi berusia sebulan.
Perempuan muda lainnya mengaku tak punya pilihan untuk menolak pernikahan saat dilamar pria dari Kuwait yang berusia 50 tahun. Meski saat itu dia masih berusia 14 tahun.
"Semua orang mengatakan padaku agar tersenyum atau tertawa, tapi perasaan saya takut, sejak kami bertunangan," kata perempuan muda itu, mengingat hari pernikahannya.
Sebelum pecah perang saudara, pernikahan anak-anak di Suriah rata-rata 13 persen. Namun, jumlah pernikahan anak-anak itu meningkat tajam setelah terjadi perang saudara.
Menurut PBB, kemiskinan menjadi faktor utama pendorong pernikahan usia dini. Beberapa keluarga di pengungsian menikahkan anak gadis mereka yang masih belia karena tradisi, sementara lainnya menikahkan anak-anaknya dengan harapan anak-anak mereka mendapatkan perlindungan dan masa depan yang lebih cerah. [red | FAP]
EmoticonEmoticon