AcehXPress.com | Sepatu saya amblas dalam tanah berlumpur ketika menginjakkan kaki di kompleks makam di Desa Hagu Selatan, Banda Sakti, Lhokseumawe, Jumat, 22 Agustus 2014. Kompleks makam seluas sekitar 3 x 12 meter itu berada di halaman rumah salah seorang warga di bibir Lorong Panti Asuhan. Lorong itu menghubungkan Jalan Al-Kalaliy dengan Jalan Darussalam, Lhokseumawe.
Dalam kompleks sempit itu ada enam makam. Salah satunya, makam Syaikh Muhammad bin Salim Al-Kalaliy, ulama yang juga saudagar Aceh keturunan Arab. “Syaikh Muhammad bin Salim Al-Kalaliy merupakan sosok yang telah mencetak berbagai jejak kebaikan, tidak hanya bagi kota kecil yang sekarang dinamakan Lhokseumawe, tapi untuk sejumlah negeri kaum Muslimin di Asia Tenggara,” kata Taqiyuddin Muhammad, peneliti sejarah dan kebudayaan Islam, di Lhokseumawe.
Menurut Taqiyuddin, Syaikh Muhammad bin Salim Al-Kalaliy salah seorang tokoh yang berperan melahirkan Al-Imam, majalah Islam pertama di Dunia Melayu berbahasa Jawiy, terbit di Singapura tahun 1906. Syaikh ini turut pula berkontribusi bagi arkeologi Islam di Indonesia. Ia berhasil menyingkap nama-nama tokoh era Samudra Pasai melalui pembacaan inskripsi pada makam tinggalan sejarah kerajaan Islam tersebut.
Berdasarkan catatan bertulis Arab pada nisan makamnya, kata Taqiyuddin, Syaikh Muhammad bin Salim Al-Kalaliy wafat tahun 1365 Hijriah atau 1946 Masehi. Data tersebut menunjukkan, tokoh bersejarah itu meninggal dunia 68 tahun silam atau setahun setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan.
Akan tetapi, kompleks makam Syaikh Muhammad bin Salim Al-Kalaliy sampai saat ini belum dipugar. Itulah sebabnya air hujan merendam kompleks makamnya. Seperti terlihat seusai hujan pada Sabtu, 23 Agustus 2014. Kompleks makam tokoh bersejarah tersebut lebih rendah dari badan jalan. Jalan aspal itupun menjadi “anak sungai” akibat genangan air.
Kompleks makam Syaikh Muhammad bin Salim Al-Kalaliy berada di halaman rumah seorang warga bernama Maimunah. Lahan pertapakan rumah Maimunah dan tetangganya dulunya milik syaikh tersebut. “Dulu, semua tanah di kawasan ini milik Al-Kalaliy,” kata Saifuddin, 30 tahun, anak Maimunah.
Maimunah tidak memiliki hubungan keluarga dengan Syaikh Muhammad bin Salim Al-Kalaliy. Perempuan yang adalah seorang janda ini sehari-hari bekerja tung-upah (buruh) mencuci pakaian milik enam keluarga kaya di Hagu Selatan. Maimunah menyebut kompleks makam di muka rumahnya, “Makam Al-Kalaliy”.
Kompleks makam tersebut hanya dipagari dengan bunga dalam pot. “Saya hanya mampu tanam bunga untuk pagar makam Al-Kalaliy agar tidak masuk anjing, karena dulu kalau malam sering masuk anjing,” ujar Maimunah.
Sementara Saifuddin turut merasa prihatin dengan kondisi kompleks makam Al-Kalaliy. “Mestinya dipugar agar tidak rusak akibat banjir tiap musim hujan,” ujarnya.
Selain makam Al-Kalaliy, di kompleks itu ada makam seorang perempuan dengan nisan dari batu alam berukir ornamen dan kaligrafi. Menurut Taqiyuddin, pada nisan itu terdapat inskripsi yang terjemahannya berbunyi: “Inilah kubur Al-Marhumah Syaikhah binti Ahmad bin Abdullah, wafat pada hari Jumat 15 dari Rabi’ul Akhir yang pembuka tahun 1329”.
“Jadi, pemilik makam itu bernama Syaikhah binti Ahmad bin Abdullah yang wafat pada 15 Rabi’ul Akhir 1329 Hijriah atau 16 Maret 1911 Masehi. Dari catatan itu dapat kita ketahui, ia telah wafat 35 tahun lebih dulu dari wafatnya Syaikh Muhammad bin Salim Al-Kalaliy,” kata Taqiyuddin.
EmoticonEmoticon