Refleksi Sewindu UUPA: Politik Hukum Setengah Hati


Oleh Amrizal J. Prang
TANPA terasa Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), telah berjalan 8 tahun (sewindu), sejak disahkan 1 Agustus 2006, pasca MoU Helsinki 15 Agustus 2005. UUPA merupakan politik hukum (legal policy) pemerintah pusat untuk Aceh sebagai pengakuan daerah khusus, sesuai Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Meskipun UUPA telah berdampak positif bagi perdamaian dan peningkatan pendapatan Aceh, namun masih banyak kelemahan baik substansinya maupun implementasi kesejahteraan rakyat. Misalnya, 1) materi UUPA masih tidak sesuai dengan MoU Helsinki; 2) peraturan pelaksanaan organik, seperti Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) sebagian belum ditetapkan; 3) dari 60 lebih Qanun Aceh sebagian belum dibentuk; dan, 4) sebagian rakyat Aceh masih hidup dibawah garis kemiskinan.
Dari sebelas PP organik, ada enam yang berdampak langsung bagi pemerintahan dan rakyat Aceh, namun baru tiga ditetapkan: 1) PP No.20/2007 tentang Parlok di Aceh; 2) PP No.58/2009 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Sekda Aceh dan Sekda Kabupaten/Kota; dan, 3) PP No.83/2010 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemerintah Kepada Dewan Kawasan Sabang. Sedangkan, dari tiga Perpres, dua sudah ditetapkan: 1) Perpres No.75/2008 tentang Tata Cara Konsultasi dan Pemberian Pertimbangan atas Rencana Persetujuan Internasional, Rencana Pembentukan Undang-Undang, dan Kebijakan Administratif yang Berkaitan Langsung Dengan Pemerintahan Aceh; dan, 2) Perpres No.11/2010 tentang Kerja Sama Pemerintah Aceh dengan Lembaga atau Badan di Luar Negeri.
Sementara, yang belum ditetapkan: 1) PP pengelolaan bersama minyak dan gas bumi Aceh (Pasal 160); 2) PP Nama dan gelar Aceh (Pasal 251); 3) PP kewenangan pemerintah pusat yang bersifat nasional di Aceh (Pasal 270); dan, 4) Perpres kantor wilayah BPN Aceh dan kabupaten/kota menjadi perangkat Aceh dan kabupaten/kota. (Pasal 253). Inkonsistensi pemerintah pusat ini telah berimplikasi pelanggaran hukum dan UUPA. Ironisnya, setali tiga uang dengan pemerintah, DPR RI tidak memanggil pemerintah untuk mempertanyakan keterlambatan tersebut.
 Tidak pernah tuntas
Oleh karenanya, ada kekhawatiran fenomena hubungan pusat-Aceh masa rezim Presiden SBY, akan berulang sebagaimana masa Presiden Soekarno sampai Presiden Megawati. Kecenderungan kebijakan politik pusat menyelesaikan politik hukum otonomi khusus (asymetris autonomy) Aceh, tidak pernah diselesaikan secara tuntas oleh satu rezim, melainkan pascakonflik baru dan penggantian rezim. Merujuk konflik 1953 masa rezim Orde Lama, Presiden Soekarno, pasca Aceh menjadi keresidenan dan dileburkan dalam Provinsi Sumatera Utara, tahun 1950. Namun, meskipun sudah dikembalikan melalui UU No.24/1956, konflik juga tidak mereda bahkan timbul konflik internal di Aceh yang melahirkan Dewan Revolusi.
Selanjutnya, Aceh diberi status keistimewaan bidang keagamaan, adat dan pendidikan melalui Keputusan No.1/Missi/1959. Anehnya, tidak pernah dibentuk undang-undang sampai rezim orde baru, Soeharto. Sehingga saat itu, menjadi satu alasan timbulnya konflik baru. Pada 4 Desember 1976 diproklamirkan Aceh Merdeka (AM) oleh Hasan Tiro (M. Isa Sulaiman, 1997:417-478). Bahkan, Aceh diberi “hadiah” Daerah Operasi Militer (DOM) pada 1989-1998 dan konflik terus berkelanjutan. Setelah 40 tahun Missi Hardi, masa Presiden BJ Habibie baru dibentuk UU No.44/1999 tentang Keistimewaan Aceh, ditambah keistimewaan peran ulama.
Sehingga, wajar sebagian masyarakat mengatakan, syariat Islam di Aceh karena politik dan untuk meredam tuntutan Referendum dan Merdeka. Konsekuensinya, juga tidak bisa dilaksanakan secara maksimal, sampai masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tahun 2001. Pasca Megawati menggantikan Gus Dur dibentuk UU No.18/2001 tentang Otonomi Khusus Aceh (UU Otsus) dengan kewenangan luas dan tidak mencabut UU Keistimewaan. Namun GAM dan sebagian masyarakat menolak, bahkan intensitas konflik semakin tinggi. Sehingga, implementasi UU Otsus baik pembentukan qanun dan pelaksanaanya juga tidak tuntas. Misalnya, substansi pilkada langsung dan pembentukan Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe tidak sempat dilaksanakan, lalu Aceh ditepakan Darurat Militer (2003-2004).
Setelah SBY-JK menjadi presiden-wakil presiden dan merajut kembali perundingan, pada 15 Agustus 2005 lahir MoU Helsinki dan dilanjutkan pembentukan UUPA menggantikan UU Otsus, sementara UU Keistimewaan tetap berlaku. Sehingga, Aceh satu-satunya daerah berstatus khusus sekaligus istimewa. Namun, merefleksi sejarah implementasi politik hukum asymetris autonomy Aceh, kemungkinan penyelesaiannya tidak tuntas pada masa rezim SBY dan akan dilanjutkan oleh presiden selanjutnya.
 Memahami kebhinekaan
Ada keanehan memang, melihat sikap dan pemahaman pemerintah pusat terhadap politik hukum asymetris autonomy Aceh. Ketika dalam falsafah Pancasila dan UUD 1945 mengakui adanya kebhinekaan (keberagaman/majemuk) dan telah dijabarkan dalam UUPA, tetapi kenapa penetapan PP dan Perpres-nya diperlambat dan dihambat? Sehingga, sangat wajar ketika ada asumsi bahwa pemerintah pusat setengah hati dalam menyelesaikan masalah Aceh dan memutarbalikkan pemahaman kebhinekaan dengan dalih Pancasila, UUD 1945, dan Negara Kesatuan.
Padahal, jauh sebelum Indonesia Merdeka, Muhammad Hatta, mantan Wakil Presiden RI pertama, mengatakan: “Oleh karena Indonesia terbagi atas beberapa pulau dan golongan bangsa, maka perlulah tiap-tiap golongan mendapat otonomi, mendapat hak untuk menentukan nasib sendiri”. Kemajemukan sosial, budaya, kepercayaan bahkan ekonomi, akan menimbulkan hajat hidup atau kebutuhan yang berbeda dari daerah ke daerah. Dalam hal-hal tertentu, karena perbedaan geografis, akan timbul pula perbedaan-perbedaan kebutuhan. (Bagir Manan, 1994:166-167).
Pada dasarnya hubungan antara pusat-daerah dalam konteks desentralisasi berdasarkan UUD 1945, terbagi dalam empat asas pokok: Pertama, tidak boleh mengurangi hak rakyat daerah secara bebas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; Kedua, tidak boleh mengurangi hak rakyat daerah untuk berinisiatif atau berprakarsa yang dianggap penting bagi daerah. Ketiga, otonomi dapat berbeda-beda antara daerah yang satu dengan yang lain sesuai dengan keadaan khusus masing-masing daerah, dan; Keempat, dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial daerah. (Bagir Manan, 1994:170)
Berdasarkan pandangan tersebut, seharusnya pemerintah pusat segera menuntaskan semua turunan UUPA dan tidak lagi setengah hati menyelesaikan masalah Aceh agar tidak muncul konflik baru. Selanjutnya, mengawasi pelaksanaannya agar tidak keluar dari konstitusi dan UUPA. Begitu juga, pemerintahan Aceh lebih proaktif dalam upaya penyelesaian peraturan pelaksanaan UUPA dan implementasi pemerintahan, terutama pembentukan qanun-qanun organik. Untuk itu, membutuhkan pemerintahan yang solid dan kompak. Bukan sebaliknya, muncul konflik internal dalam pemerintahan dan kalangan mantan combatan GAM sehingga memicu konflik horizontal. Semoga refleksi 8 tahun UUPA dan 9 tahun tahun MoU Helsinki, “Perang Cumbok” atau “Dewan Revolusi” tidak terjadi pasca GAM. Karena konsekuensinya, jangankan menuntut penyelarasan materil UUPA dengan MoU Helsinki, aturan yang sudah dibentuk pun akan sulit dijalankan. [serambi indonesia]
* Amrizal J. Prang, S.H., LL.M., Mahasiswa Program Doktoral Universitas Sumatera Utara (USU) Medan dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe. Email: j.prang73@gmail.com

Related Posts


EmoticonEmoticon

:)
:(
=(
^_^
:D
=D
=)D
|o|
@@,
;)
:-bd
:-d
:p
:ng
:lv