Generasi Helsinki Rentan jadi Korban Perputaran Elite di Aceh

ilustrasi
AcehXPress.coPasca-perjanjian damai antara RI-GAM di Helsinki pada 15 Agustus 2005, terjadi pertumbuhan lebih banyak kelas menengah atas (middle and upper middle classes) serta ‘super elite’ Aceh. Namun, generasi produk Helsinki ini sangat rentan menjadi korban perputaran elite dalam proses sejarah yang terus berlangsung di negeri berjuluk Serambi Mekkah ini.
Hal itu diungkapkan pengamat politik, Fachry Ali, Rabu (20/8) pada seminar nasional “Studi Sosiologi Agama dan Persoalan Sosial Keagamaan di Aceh” yang digelar Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh. Selain Fachry Ali, pembicara lain yang tampil pada seminar itu antara lain, Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Prof Dr Irawan Abdullah MA Ph.D, Guru Besar UIN Ar-Raniry Prof Dr Yusny Saby Ph.D, dan Dosen Fakultas Ushuluddin Dr Syamsul Rijal, MAg.
Menurut Fachry Ali, lahirnya kelas menengah atas dan ‘super elite’ baru di Aceh yang muncul secara tiba-tiba dengan indikator lahirnya partai lokal sebagai salah satu wahana memobilitas kelompok tersebut ke komunitas elite namun mereka tidak lahir dari landasan profesionalisme sejati.
“Melalui parlok ini masyarakat Aceh mempunyai akses yang lebih besar ketimbang mereka meraih akses ke partai nasional. Pertumbuhan massif politisi lokal meraih kursi jabatan secara politik telah menjadi wahana terciptanya kelas menengah atas di Aceh saat ini,” katanya.
Menurut pria kelahiran Susoh, Aceh Barat Daya, 23 November 1954 ini, kalangan ‘super elite’ baru di Aceh lahir dari proses ‘Produksi Helsinki’ lebih besar jumlahnya daripada kelas menengah profesional Aceh dan kelas para pedagang yang ada saat ini. Akibat inilah, kata Fachri, yang kemudian akan melahirkan kelas masyarakat konsumtif di mana perputaran uang di Aceh tidak sehat, karena sebagian pendapatan dikuasai oleh kelas masyarakat yang didominasi kaum romantisme yang didapat dari sektor tidak produktif.
“Dengan proses seperti ini, maka sangat sulit di Aceh muncul kelas masyarakat manufaktur, masyarakat industri. Yang ada ya, masyarakat yang dekat kepada akses dana APBA dan cenderung melahirkan masyarakat konsumtif. Lihatlah di mana perputaran uang saat ini beredar,” ujarnya.
Dalam pengamatan Fachry Ali, pertumbuhan kelas menengah profesional di Aceh yang didasarkan pada produktivitas saat ini berjalan lebih lamban daripada kelas yang direproduksi oleh dunia romantisme sejarah Aceh. Fachry Ali berspekulatif, jika kenyataan itu benar adanya di mana kelas menengah baru dan ‘super elite’ Aceh berjalan lebih cepat meraih kemapanan, maka akan terjadi migrasi besar-besaran kaum profesional produktif ke dunia romantisme Aceh yang selama ini membentuk sejarah jatuh bangunnya Aceh.
“Dasar asumsinya ya karena menjadi aktor di dalam dunia romantisme lebih cepat menghasilkan ketimbang bekerja di wilayah yang produktif. Inilah yang akan mereduksi jumlah kaum profesional di Aceh,” kata peneliti LP3S ini,  seraya mengingatkan, lembaga pendidikan seperti UIN Ar-Raniry sudah harus memikirkan hal ini dengan melakukan studi mendalam atas gejala-gejala yang muncul.
“Karena sirkulasi elite bergerak cepat di mana generasi produk Helsinki rentan menjadi korban perputaran elite, maka mereka akan kembali mencari wadah. Jika tidak menemukan tempat yang pas, ujungnya-ujungnya kita kembali akan mengalami keresahan-keresahan seperti yang sudah terjadi,” paparnya.
Pada diskusi di seminar itu, Fachry Ali juga mengulas romantisme Aceh yang terus menemukan wadahnya pada setiap episode sejarah Aceh. Ia mengulas bagaimana Hasan Tiro, Daud Beureueh, dan generasi sebelumnya dalam panggung sejarah Aceh yang selalu berusaha melembagakan romantisme Aceh. [serambi]


EmoticonEmoticon