![]() |
Nur Djuli (tengah). |
“Saya melihat baru sekitar 30 persen yang terlaksana. Kendatipun mungkin beda orangnya, beda persepsinya. Apalagi beberapa turunan UUPA yang belum terealisasi mayoritasnya menyangkut masa depan masyarakat Aceh,” ujarnya dalam diskusi public yang digelar The Aceh Institute di Banda Aceh, Senin (18/8/2014).
Pada dasarnya sambung pria yang kerap disapa ‘Om Nur’ ini, implementasi MoU secara universal tidak saja bergantung pada keinginan masyarakat Aceh semata. Pemerintah Indonesia selaku pihak kedua memegang peranan penting dalam menunjang keberlanjutan perdamaian Aceh. Dia berharap, di sisa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, beberapa turunan UUPA bisa difinalisasi sehingga tidak menjadi pekerjaan rumah pemimpin baru.
Sementara itu dalam kesempatan yang sama, Tokoh Sipil dan Media Aceh, Yarmen Dinamika menampik pernyataan Nur Djuli yang menyebutkan realisasi MoU baru sebesar 30 persen. Berdasarkan butir-butir perjanjian MoU, realisasi perjanjian tersebut sudah mencapai 90,4 persen.
“Tolok ukurnya, pada 2010 saja, dari sekitar 71 pasal perjanjian, tinggal sekitar delapan komitmen lagi yang belum tertunaikan. Nah dengan tambahan sejumlah realisasi perjanjian damai seperti kehadiran Wali Nanggroe dan sejumlah pasal lainnya, saya kira sampai 2014 ini mencapai 90,14 persen. Cuma, yang sisa itu memang benar-benar sangat urgen karena menyangkut kesejahteraan masyarakat,” jelas Yarmen.
Pun demikian, dia melihat prosesi perdamaian di Aceh masih menyisakan utang politik dan yuridis. Saat ini, kepastian itu hanya diperoleh melalui political will Presiden SBY. Dia berharap, utang-utang itu bisa diselesaikan dengan baik untuk menekan potensi konflik kedua yang mungkin muncul di Aceh.
“Kita berharap tak ada konflik lagi baik karena kelalaian Pemerintah Pusat maupun karena persoalan-persoalan social masyarakat yang diakibatkan karena kerja Pemerintah Aceh sendiri,” tutupnya. [tgj]
EmoticonEmoticon