kerusuhan sidang DPRA 8 Desember 2014 |
Lakon ini juga tertular sampai ke Aceh. Di Senayan ada kelompok Koalisi Merah Putih (KMP) berseteru dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dalam memperebutkan kursi ketua, hingga ada ketua tandingan.
Aceh juga tidak kalah serunya, bedanya perseteruan yang terjadi di Aceh antara sesama partainya sendiri terjadi perebutan kursi ketua DPR Aceh. Ada dua keputusan dalam tubuh Partai Aceh yang notabene partainya mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Puncak lakon drama politik itu terjadi pada tanggal 8 Desember 2014 sekira pukul 22.30 WIB, kemudian berlanjut tangga l9 Desember 2014. Kedua sidang paripurna penetapan fraksi dan ketua definitif DPRA ini rusuh usai Sekretaris Dewan, A Hamid Zain membacakan surat keputusan untuk menetapkan ketua dan delapan fraksi.
Kerusuhan dipicu ada pandangan berbeda terhadap usulan pimpinan DPR Aceh. Ridwan Abubakar yang akrap disapa Nek Tu dari Fraksi Partai Aceh klaim dirinya yang mendapat mandat dari pimpinan partai menjadi Ketua DPRA.
Sementara, ketua DPR Aceh sementara yang kemudian ditetapkan menjadi ketua definitif, Muharuddin juga mengaku mendapatkan mandat dari Ketua Partai Aceh, Muzakir Manaf untuk menjabat ketua DPR Aceh. Sehingga terjadilah adu argumen sampai berujung terjadi kerusuhan.
"Saya waktu itu meminta pimpinan sementara untuk menunda penetapan ketua DPR Aceh, karena harus terlebih dahulu meluruskan ada dua usulan nama oleh partai, karena ini urusan interen partai, tetapi tidak digubris," kata Ridwan Abubakar, Kamis (11/12) dalam konferensi pers di Zakir Kopi.
Dokumen yang merdeka.com terima terdapat 14 Dewan Pimpinan Wilayah Partai Aceh (DPW PA) dari 23 kabupaten/kota merekomendasikan Ridwan Abubakar menjadi ketua DPR Aceh. Demikian juga dengan rekomendasi dari Tuha Peut (Dewan Penasehat Partai) mengusulkan Nek Tu menjadi pimpinan DPR Aceh.
Masih sebagaimana dokumen yang didapatkan, Ketua Umum Partai Aceh, Muzakir Manaf pada tanggal 14 Desember 2014 telah mengirim surat kepada DPW PA seluruh Aceh agar mengirim usulan nama calon ketua DPR Aceh.
Dalam dokumen ini disebutkan dalam poin pertama calon ketua DPR Aceh ditetapkan melalui penyaringan nama-nama yang dikirim oleh Daerah Pemilihan (Dapil) masing-masing. Kemudian poin kedua disebutkan setiap Dapil boleh mengirim satu calon nama berdasarkan kesepakatan wilayah.
"Ini jelas, Muallem (sapaan Muzakir Manaf) melanggar apa yang telah disepakati dalam surat itu," tegasnya.
Nek Tu mengaku mempertahankan ini bukan karena terlalu ambisi ingin menjadi ketua DPR Aceh, tetapi ini sesuai dengan amanah yang diberikan kepadanya. "Sedangkan untuk Muharuddin tidak satu kabupaten/kota pun mengusulkannya, sisa 7 DPW PA itu mengusulkan nama lain," tegasnya.
Nek Tu bahkan mencontohkan metode pemilihan ketua DPR Aceh pada periode lalu. Saat itu Tuha Peut Partai bersama unsur pimpinan Partai Aceh duduk musyawarah bersama untuk menentukan pimpinan DPR Aceh.
"Jadi partai ini bukan milik Muzakir Manaf, milik semua rakyat Aceh, kalau Tuha Peut tak lagi didengar, mau dibawa kemana ini partai," imbuhnya.
Sementara itu saat dikonfirmasi pada Juru Bicara Partai Aceh, Suadi Sulaiman mengatakan, penetapan ketua DPR Aceh itu sudah sesuai dengan keputusan pimpinan partai.
"Usulan untuk pimpinan DPR Aceh diusulkan Tgk Muharuddin, keputusan suatu partai berada pada ketua umum dan itu hasil musyawarah pimpinan partai," ulas Suadi Sulaiman via bbm.
Katanya, sedangkan Tuha Peut partai hanya bersifat memberikan pendapat dan saran kepada pengurus partai. Namun mengenai keputusan itu kembali pada pengurus partai dan keputusan pimpinan mutlak harus dilakukan. [Mrd]
EmoticonEmoticon