Rovy Pratama |
LWI merupakan alat terapi bagi penderita Osteoartritis atau rematik yang umumnya dialami orang berusia lanjut. Dengan menggunakan alat terapi ini, penderita reumatik tidak harus mengonsumsi obat-obatan guna mengurangi rasa nyerinya.
Rovy, panggilan akrabnya. Sejak dua bulan terakhir ini sedang menjalani program koas di RSUD dr Zainoel Abidin Banda Aceh untuk mendapatkan gelar dokter. Otomatis hampir sebagian besar waktunya dihabiskan di rumah sakit.
Sejak masih duduk di Sekolah Menengah Pertama, sulung dari dua bersaudara ini sudah bercita-cita menjadi dokter. Keinginan itu bukan semata-mata karena dokter dianggap sebagai profesi mulia. Tapi karena waktu itu tidak ada seorang pun di keluarga besarnya yang menekuni profesi itu.
"Justru ingin jadi dokter karena terinspirasi dari keluarga yang satu pun tidak ada yang menjadi dokter," kata Rovy sebagaimana dilansir Atjeh Post dan dikutip AcehXPress, Rabu 20 Agustus 2014.
Memiliki wajah tampan dan tubuh yang atletis, ditambah dengan potongan rambut yang sedikit mohawk, Rovy tampak cocok menjadi model daripada calon dokter. Namun ia sama sekali tak berniat untuk terjun ke dunia itu. Ia malah ingin menjadi dokter sekaligus penulis dan peneliti.
"Tapi khusus menulis hal-hal yang berkaitan dengan dunia kedokteran, karena antusiasme dokter yang jadi peneliti masih sangat kecil," ujar Rovy yang lulus dari Fakultas Kedokteran Unsyiah pada 2013 lalu ini.
Ia berharap proyek-proyek penelitiannya di masa mendatang bisa tembus ke tingkat internasional dan bisa dipublikasikan di jurnal-jurnal internasional pula. Penyuka buku Latahzan dan buku-buku seri motivasi ini menghabiskan pendidikan dasarnya di Banda Aceh. Sementara SLTP dan SMA ditamatkannya di Medan, Sumatera Utara.
Setelah tsunami pada akhir 2004 silam, keluarganya memutuskan untuk pindah ke provinsi tetangga. Setelah enam tahun mengenyam pendidikan di Medan, Rovy akhirnya kembali ke Aceh untuk melanjutkan kuliahnya di Unsyiah. Hal yang sebelumnya tak pernah terpikirkan oleh putra pasangan Ir Ismail Zulkifli dan Saryaty ini.
Lulus dengan IPK 3,2 pada tahun 2013, Rovy diwisuda sebagai Sarjana Kedokteran pada Februari 2014. Ia salah satu dari 22 mahasiswa angkatan 2010 yang lulus pada tahun itu. Masa kuliah yang dihabiskan untuk menyelesaikan program Strata 1 hanya 3,5 tahun. Usai diwisuda, penyuka nasi goreng ini tak langsung mengambil program koas.
Ia sempat "istirahat" selama enam bulan, selama itu ia menyiapkan proposal LWI untuk diikutkan dalam Program Kreativitas Mahasiswa yang dibuat oleh Dikti. Beruntung, proposalnya lolos sebagai salah satu pemenang PKM Dikti untuk tahun 2014.
Selain fokus pada pendidikannya, Rovy juga senang berorganisasi. Selama dua periode sejak 2012-2013 dan 2013-2014 ia dipercayakan sebagai Direktur Tim Bantu Medis Fakultas Kedokteran Unsyiah. Sebuah unit kegiatan mahasiswa yang pernah vakum dan kembali diaktifkan oleh Rovy dan sejumlah mahasiswa FK lainnya pada 2011 lalu.
Penemuan
Berdasarkan riset, penyakit rematik lebih sering disebabkan oleh berkurangnya cairan antar sendi yang lebih sering dialami oleh manula. Pengurangan cairan antar sendi ini merupakan hal yang wajar terjadi pada setiap manula bersamaan dengan semakin bertambahnya usia. Oleh karena itu penyakit ini susah untuk dihindari oleh setiap individu yang telah menginjak usia 50 tahun ke atas.
Berkurangnya cairan antar sendi dapat mengakibatkan berubahnya sudut antar tulang pada lutut. Hal inilah yang menyebabkan lutut terasa sakit saat digerakkan, terutama di pagi hari. Dengan pemikiran yang cerdas, Rovy Pratama mencoba menanggulangi masalah ini dengan cara tetap mempertahankan sudut antar tulang pada lutut meski cairan antar sendi sudah berkurang. Hal ini dilakukan dengan menaruh sol sepatu yang mempunyai sudut tertentu di bawah kaki penderita rematik.
Sol sepatu inovasi ini akan mempertahankan sudut antar tulang pada lutut tetap dalam keadaan normal, sehingga hal ini akan mengurangi rasa sakit yang dirasakan. Meski penyakit ini belum dapat disembuhkan secara total, tetapi dengan pemakaian sol sepatu inovasi ini secara rutin sehari minimal 5 jam, hal ini dapat mengurangi keluhan secara signifikan.
Mahasiswa Kedokteran Unsyiah telah membuktikan sistem pengobatan ini dengan melakukan uji coba pada manula di Rumah Geunaseh Sayang, Ulee Kareng, Banda Aceh. Mereka menggunakan 55 manula sebagai objek penelitian selama tiga bulan. Uji coba tersebut diklaim berhasil melalui sistem penilaian yang dilakukan pada pasien. [red | AP]
EmoticonEmoticon