Asap, Lena, Lidah Mertua


Karya: Muhammad Nasir Age

ilustrasi

AcehXPress.coSiapakah Lena? Aku lebih mengenalnya sebagai gadis berbadan mungil yang paling sering kuganggu. Tingginya tak sampai seketiak aku. Aku suka menyebutnya anak-anak. Dia tak marah. Kadang malah tertawa, kemudian membalas menyebutku sebagai orang-orang tua.

Jika tak berbalut kerudung dan berbaju gaun, dia persis seperti anak usia sekolah menengah pertama. Karenanya, aku paling iseng mencandainya begini, “hei, anak SMP kok ikut nimbrung sama bapak-ibu yang udah tamat kuliah?” Dan biasanya Lena akan menjawab begini, “ini yang salah anak-anak atau bapak-ibu, yang sudah tua-tua kok masih suka ngegosip sih?”

Biasanya permulaan itu akan berlanjut. Akan ramai teman-teman yang menanggapi.

“Orang-orang tua menggosip itu sudah sewajarnya. Merupakan kebutuhan usia. Tapi kalau anak-anak, itu sih nggak tahu adab,” kata Muli.

“Terutama anak-anak yang menganggap diri dewasa, hahaha…,” tambah Dina.

“Itu namanya nggak sadar usia…,” lanjut Majid setelah melepas tawa.

“Makanya Lena, cepatlah besar! Banyak minum susu!”

“Susu yang banyak turin dan amino esensial…,” kata Arul.

“Hei, salah. Turin untuk otak. Lena otaknya cerdas. Mungkin kalsiumnya kurang, makanya tulangnya nggak berkembang, hehehe….” kata Siswan.

Kelakar-kelakar seperti itu selalu muncul setiap Lena ada di antara kami. Dia selalu menjadi bintang untuk meramaikan pembicaraan. Itu lebih baik daripada kami menggosip. “Gosip artinya menjadikan orang lain yang tidak ada di antara kita sebagai objek omongan. Itu dosa! Makanya lebih baik objeknya kita-kita sendiri,” Lena pernah mengusulkan itu.

Jika ada yang tidak senang hanyalah karena Lena tidak suka pada aroma rokok. Jangankan berkumpul dengan teman yang sedang merokok, dalam ruangan yang sedikit berasap saja dia akan merepet-repet. Dia akan terlihat sangat cerewet jika sedang merepeti asap rokok.

“Dasar, merokok nggak ada aturan,” biasanya Lena merepeti dengan kalimat itu.
Kadang dengan memasang wajah galak, bunyinya begini, “Asap rokok di mana-mana. Bikin penyakit!”

Dan kalau dia benar-benar marah dan kesal, maka kalimat yang keluar menjadi sedikit seram, “Tahu nggak sih, asap rokok itu lebih bahaya daripada AIDS.”

Bila sudah mengeluarkan statemen seperti itu, dia akan terlihat uring-uringan. Ngambek. Unjuk rasa. Tidak mau ngomong sama siapa-siapa. Dia akan mengurung diri setengah hari, sebelum kemudian keluar hanya untuk makan dan jalan-jalan sendiri. Dia naik angkot ke pasar, membeli jeruk sunkis asli China, plus sebatang bunga lidah mertua.

Pulang menjelang sore, dia pasti menawari aku sunkis China yang terlihat masih segar sambil menceritakan manfaat sampingan lidah mertua. “Bunga ini bukan hanya menghias ruangan. Tapi juga bisa meng-absorbsi asap,” katanya.

“Aku tak percaya,” jawabku seenaknya.

“Eeeh, dibilangin nggak percaya. Sudah dibuktikan secara ilmiah bahwa bunga ini mampu menyerap asap yang kesasar dalam ruangan,” jelasnya serius.

“Tapi buktinya mana?” kejarku.

“Pakek bukti segala. Seperti mengajari anak SD saja Abang ini.”

“Lha…, kalau mau nanti kucarikan asap di luar. Truus, kita lepas di ruangan ini dan kita lihat apa si lidah mertua ini mampu melahapnya.”

“Hahaha…hahaha….”

“Kok ketawa? Lucunya di mana?”

“Ya luculah. Masa asapnya dicari. Lidah mertua khusus hanya menyerap asap kesasar.”

“Uups!”

“Hahaha…hahaha….” Lena kembali melepas tawa. Aku kalah. Maksudku tadi hendak melawan argumen dia, tapi dia mampu mengikat argumennya secara lebih tepat. Tapi aku senang bisa membuat dia bubar dari unjuk rasa. Biasanya jika sudah mulai tertawa, dengan teman-teman lain dia juga akan kembali buka suara. Kecuali untuk dua orang. Jamal dan Ambali. Dua orang ini adalah perokok berat. Tak peduli di ruang ber-AC, di dalam kamar WC pun sering terkurung asap rokok milik mereka. “Mengisap rokok sambil buang hajat, wuih… nikmat… rasanya seperti terbang malam dengan pesawat Panam di atas Samudera Hindia,” kata Ambali suatu hari sekadar mengolok-olok Lena.

Karuan saja Lena naik pitam.

“Hampir saja aku muntah ingat mereka,” curhatnya padaku esok hari.

“Muntah saja. Siapa larang. Tapi jangan di ruangan Diklat,” tanggapku.

“Huuh! Ini sama saja. Bela-belain lagi,” omelnya setelah mencubit keras pangkal lenganku. “Apa sih enaknya merokok. Duit habis untuk beli penyakit!”

“Artinya, penyakit pun tak ada yang gratis di Indonesia.”

“Hahaha…, ya betul itu, hahaha…,” potong Lena cepat sambil tertawa. “Hahaha… lihat saja hanya dengan menjual penyakit, para pemilik industri rokok jadi orang-orang kaya raya. Tapi rakyat di negeri ini jadi pendek usia karena didera bermacam sakit kronis yang disebabkan oleh asap. Sudah hidup pas-pasan, cepat mati pula. Kapan negeri ini bisa sejahtera, hahaha….”

“Hei, kamu tak bisa bilang begitu. Pendapatan negara juga tak sedikit bersumber dari rokok, tahu! Aku hitung-hitung, jika sebulan saja semua kegiatan yang berkaitan dengan rokok henti operasi, mulai dari petani tembakau di hulu, pabrik, distributor, hingga konsumen akhir yang ada di hilir, mungkin negeri ini bisa bangkrut.”

“Hahaha…analisis siapa itu?” tanya Lena.

“Ya, kucoba-coba hitungan sendiri. Pakai rumus Pythagoras,” jawabku asal lepas dari lidah. “Tapi aku belum pernah mengkampanyekan ini, karena aku takut.”

“Takut? Kenapa?”

“Soalnya aku tidak merokok. Jangan-jangan aku termasuk dalam golongan yang akan bikin bangkrut negara.”

Dia kembali tertawa mendengar celotehanku. Bahunya naik turun terbawa oleh gelombang udara yang keluar masuk rongga dada. Saat-saat seperti itu aku tak yakin jika dia dicap cerewet oleh sejumlah teman.

Memang awalnya aku akrab dengan Lena karena aku bukan perokok. Bila dia bertanya kenapa aku tidak doyan merokok, maka kukarang-karang saja sebuah cerita yang kusebut-sebut berasal dari masa laluku. Adalah pacarku semasa kuliah yang ingin agar aku tidak merokok. Pacarku suka pada bibirku yang, katanya, punya performan berbeda dari bibir kebanyakan laki-laki. Bibirku bersih seperti dua lintah bertindih di air jernih, dan coklat mengkilat karena tak berselemak nikotin.

Tapi aku suka pada bau rokok. Aku senang melihat laki-laki perokok. Bibir mereka tebal, coklat hitam, seperti ban radial. Dinding-dinding gigi mereka penuh bersarang limbah asap. Tapi menurutku, performan mulut mereka enak dipandang.

Tapi pacarku tak bisa terima pendapat ini. Dia memprotesku habis-habisan. Tak ada tempat bagi hidungnya untuk aroma rokok, asap rokok, apalagi untuk sem pada bibir laki-laki pecandu rokok. “Tapi kebanyakan perempuan tak ada pilihan,” katanya. “Tak ada pilihan untuk memungkiri keadaan ini. Hampir semua laki-laki di negeri ini adalah pecandu rokok. Mau tidak mau para perempuan harus bersedia disumbal mulutnya oleh mulut pasangannya yang berlapis limbah nikotin dan asap rokok ketika mereka bercinta. Terkadang perempuan jadi munafik, mengatakan nikotin dan limbah asap yang berbau itu akan membangkitkan gairah ke-perempuan-an mereka. Apa benar?” pacarku tidak percaya.

Dia pernah baca sebuah penelitian ilmiah pada jurnal kesehatan dunia, makanya dia tidak mempercayai hal itu. Jurnal itu menyebutkan para laki-laki di dunia ketiga dan negara berkembang memperlihatkan ke-laki-laki-annya pada perempuan dengan mengisap rokok. Para perempuan lebih mudah jatuh cinta kepada laki-laki perokok daripada kepada laki-laki yang tidak merokok sama sekali. Kata mereka, perempuan-perempuan itu, bau nikotin dan asap yang terabsorbsi dalam napas akan membangkitkan gairah. Sebab itulah, rokok di dunia ketiga dan negara berkembang menjadi semacam prestise budaya; lambang maskulin dan kesejatian. Merokok menjadi semacam acuan bagi kebudayaan. Sedang di negara maju merokok dianggap sebagai biang segala penyakit.

Bibir, ya, dia, katanya, sangat beruntung mendapatkan bibirku waktu itu. Entah karena terhipnotis dengan penelitian di jurnal itu sehingga dia tergila-gila pada bibirku yang polos dan bersih tanpa berlapis limbah asap.

Lena tertegun mendengar cerita itu. Beberapa saat dia menatap lepas, menembus kaca jendela. Ada angin liar di luar sana. Menjingkrak-jingkrak dinding dan menggasak batang bunga asoka.

“Aku sudah dua kali gagal pacaran karena dia tak mau berhenti merokok. Aku tak bisa terima,” gumamnya kemudian. Aku pura-pura tak dengar.

Satu setengah bulan kemudian, ketika pulang dari kegiatan Diklat, di ruang tunggu bandara Soekarno-Hatta Jakarta, Ambali bilang pada kami bahwa dia sangat ingin mengisap rokok di kamar WC pesawat nanti pada saat pesawat benar-benar di posisi terbang paling tinggi.

“Artinya kau benar-benar mau membuat Lena marah dan kesal?” tanggap Jamal.
“Hahaha…, hahaha…, aneh anak itu. Mana mungkin dia dapat suami kalau cerewet begitu?”

“Tapi dia tak jadi pulang.”

“Memang kemana dia?”

“Mengikuti tambahan pelajaran,” jawab Jamal. “Belajar untuk bisa mencintai perokok, hahaha….”

Aku diam. Tak bicara sampai pesawat tinggal landas dan mendarat di Medan. Aku juga tak tahu apakah Ambali benar-benar masuk ke WC penumpang dan mengisap rokok di sana. Kalau ketahuan dia pasti mendapat teguran keras oleh petugas kabin. []

Penulis adalah Redaktur Senior AcehXPress.com

Related Posts


EmoticonEmoticon

:)
:(
=(
^_^
:D
=D
=)D
|o|
@@,
;)
:-bd
:-d
:p
:ng
:lv