Eksekusi hukuman cambuk |
"Kemendagri yang memang berhak untuk mengavaluasi," kata Plt Dirjen Perundang-Undangan Kemenkumham, Mualimin Abdi, Selasa (30/9).
Mualimin mengungkapkan, sampai sekarang memang belum ada pembahasan di Kemenkumham soal Qanun itu. Sebab informasi disahkannya Qanun sebagai produk hukum lokal tersebut juga belum dilaporkan. Bahkan Kemendgri sendiri belum memberikan kabar wacana evaluasi tersebut.
Ia mengatakan jika mengacu pada aturan pokok dan tugas, lewat kajian Kemenkumham-lah evaluasi tersebut baru bisa dilakukan oleh Kemendagri. "Sampai sekarang belum ada kajian itu. Tapi akan dilakukan. Kemendgri juga harus terlibat," ujarnya.
Seperti diketahui, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengesahkan Qanun sebagai acuan berhukum secara lokal. Aturan setingkat Perda itu, mendapat penolakan dari banyak kalangan. Terutama soal aturan perbuatan pidana atau Qanun Jinayah. Beberapa pasal dalam aturan pidana Islam itu, masih memberikan sanksi badan bagi pelanggar.
Bahkan, isi Qanun tak memberikan perbedaan bagi kelompok muslim lainnya. Itu artinya, semua penduduk di daerah otonom khusus itu, wajib tunduk terhadap Qanun tanpa memandang agama dan jenis kelamin. Karena itu, Senin (29/9), Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan akan mengevaluasi keberlakukan aturan lokal itu.
Mualimin menerangkan, Qanun itu sebenarnya setingkat dengan peraturan daerah. Itu artinya, hirakki perundang-undang-annya masih di bawah undang-undang. Jika isi Qanun memang masih memberikan sanksi hukuman badan bagi pelanggar, tentu kata dia, hal tersebut bertentangan dengan undang-undang. Karena itu, Mualimin mengatakan, mendukung langkah Kemen-dagri agar Qanun dievaluasi.
"Kemenkumham akan mengkaji isi per isi Qanun tersebut sebagai rekomendasi evaluasi Kemendagri," ujarnya.
Belum Ada Kajian Isi Qanun Aceh
Kementerian Hukum dan HAM akan membantu Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) soal reaksi dari disahkannya Qanun oleh Pemerintah Provinsi Aceh.
Pelaksana tugas pada Dirjen Perundang-Undangan Kemenkum HAM, Mualimin Abdi mengatakan otoritas evaluasi tak ada di instansi pimpinannya.
"Kemendagri yang memang berhak untuk mengavaluasi," kata dia saat dihubungi, Selasa (30/9). Meski begitu, diutarakan dia, Kemenkum HAM akan mengkaji isi dari 'kitab' peraturan di daerah bersyariah tersebut.
Mualimin mengungkapkan, sampai sekarang memang belum ada pembahasan di Kemenkum HAM soal Qanun itu. Sebab, informasi disahkannya Qanun sebagai produk hukum lokal tersebut juga belum dilaporkan. Bahkan, Kemendagri sendiri belum memberikan kabar wacana evaluasi tersebut.
Kata dia, jika mengacu pada aturan pokok dan tugas, lewat kajian Kemenkumham-lah evaluasi tersebut baru bisa dilakukan oleh Kemendagri. "Sampai sekarang belum ada kajian itu. Tapi akan dilakukan. Kemendgri juga harus terlibat," ujar dia.
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mensahkan Qanun sebagai acuan berhukum secara lokal. Aturan setingkat perda itu, mendapat penolakan dari banyak kalangan. Terutama soal aturan perbuatan pidana atau Qanun Jinayah. Beberapa pasal dalam aturan pidana Islam itu, masih memberikan sanksi badan bagi pelanggar.
Bahkan, isi Qanun tak memberikan perbedaan bagi kelompok muslim lainnya. Itu artinya, semua penduduk di daerah otonom khusus itu, wajib tunduk terhadap Qanun tanpa memandang agama dan jenis kelamin. Karena itu, Senin (29/9), Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan akan mengevaluasi keberlakukan aturan lokal itu.
Mualimin menerangkan, Qanun itu sebenarnya setingkat dengan peraturan daerah. Itu artinya, hirakki perundang-undangannya masih di bawah undang-undang. Kata dia, jika isi Qanun memang masih memberikan sanksi hukuman badan bagi pelan-ggar, tentu kata dia, hal tersebut bertentangan dengan unda-ng-undang.
Karena itu, Mualimin mengatakan, mendukung langkah Kemen-dagri agar Qanun dievaluasi. "Kemenkum HAM akan mengkaji isi per isi Qanun tersebut sebagai rekomendasi evaluasi Kemend-gri," ujar dia. [rol]
"Kemendagri yang memang berhak untuk mengavaluasi," kata dia saat dihubungi, Selasa (30/9). Meski begitu, diutarakan dia, Kemenkum HAM akan mengkaji isi dari 'kitab' peraturan di daerah bersyariah tersebut.
Mualimin mengungkapkan, sampai sekarang memang belum ada pembahasan di Kemenkum HAM soal Qanun itu. Sebab, informasi disahkannya Qanun sebagai produk hukum lokal tersebut juga belum dilaporkan. Bahkan, Kemendagri sendiri belum memberikan kabar wacana evaluasi tersebut.
Kata dia, jika mengacu pada aturan pokok dan tugas, lewat kajian Kemenkumham-lah evaluasi tersebut baru bisa dilakukan oleh Kemendagri. "Sampai sekarang belum ada kajian itu. Tapi akan dilakukan. Kemendgri juga harus terlibat," ujar dia.
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mensahkan Qanun sebagai acuan berhukum secara lokal. Aturan setingkat perda itu, mendapat penolakan dari banyak kalangan. Terutama soal aturan perbuatan pidana atau Qanun Jinayah. Beberapa pasal dalam aturan pidana Islam itu, masih memberikan sanksi badan bagi pelanggar.
Bahkan, isi Qanun tak memberikan perbedaan bagi kelompok muslim lainnya. Itu artinya, semua penduduk di daerah otonom khusus itu, wajib tunduk terhadap Qanun tanpa memandang agama dan jenis kelamin. Karena itu, Senin (29/9), Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan akan mengevaluasi keberlakukan aturan lokal itu.
Mualimin menerangkan, Qanun itu sebenarnya setingkat dengan peraturan daerah. Itu artinya, hirakki perundang-undangannya masih di bawah undang-undang. Kata dia, jika isi Qanun memang masih memberikan sanksi hukuman badan bagi pelan-ggar, tentu kata dia, hal tersebut bertentangan dengan unda-ng-undang.
Karena itu, Mualimin mengatakan, mendukung langkah Kemen-dagri agar Qanun dievaluasi. "Kemenkum HAM akan mengkaji isi per isi Qanun tersebut sebagai rekomendasi evaluasi Kemend-gri," ujar dia. [rol]
EmoticonEmoticon