SBY |
sebulan lagi, mantan petinggi militer itu bakal menyerahkan tongkat kekuasaannya yang telah ia genggam 10 tahun terakhir kepada Presiden terpilih, Joko Widodo, 20 Oktober 2014 mendatang.
Namun, sepertinya akhir episode kekuasaannya selama memimpin republik ini tak berjalan mulus, setelah ia dianggap sebagian masyarakat menjadi orang yang paling bertanggung jawab atas disahkannya RUU Pilkada oleh DPR. RUU ini sendiri adalah inisiatif pemerintah yang disampaikan melalui Menteri Dalam Negeri.
Awalnya pemerintah mengajukan konsep, pemilihan bupati/ wali kota dikembalikan ke DPRD, sementara pemilihan gubernur tetap secara langsung. Belakangan konsepnya berubah, gubernur dipilih DPRD sementara bupati/ wali kota dipilih langsung.
Namun, pasca-Pemilihan Presiden yang dimenangi Joko Widodo, mayoritas parlemen yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih mengusung konsep semua pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD. Minoritas, dalam hal ini PDIP, Hanura dan PKB, tetap dalam status quo, semua kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat.
Setelah kecaman publik menolak pemilihan dikembalikan ke DPRD meluas, SBY mengeluarkan pernyataan melalui YouTube menyatakan tetap mendukung pemilihan langsung. Demokrat pun berayun, jadi ikut mendukung pemilihan langsung namun dengan sepuluh syarat yang harus diakomodasi dalam RUU Pilkada.
Namun, dalam sidang pembahasan yang berlangsung Jumat dinihari, 26 September 2014, para 'prajurit' SBY yang berada di DPR (anggota Fraksi Demokrat) melakukan aksi walk outsaat pengambilan keputusan RUU Pilkada dengan alasan 10 syarat yang mereka ajukan tak digubris PDIP dan kawan-kawan. Dengan aksi tersebut, para anggota yang menghendaki pilkada secara langsung oleh rakyat, otomatis berkurang, dan tentu saja kalah suara saat voting (pemungutan suara) digelar.
Dan, alih-alih mengecam kubu Koalisi Merah Putih yang sukses mengegolkan aspirasinya, publik di dunia maya malah justru gencar mengkritik sang presiden. SBY dinilai bermuka dua.
Para netizen menyuarakan kekecewaannya dengan hashtag #ShameOnYouSBY. Bahkan, karena nyaringnya protes, hashtag yang
sempat dikicaukan sekira 297.000 akun itu berhasil menjadi salah satu perbincangan terpopuler di dunia selama 48 jam.
Namun, hashtag tersebut tiba-tiba raib secara misterius. Banyak pihak pun mensinyalir jika penghapusan itu sengaja dilakukan oleh Twitter. Namun jagat maya tak kalah cerdas.
sempat dikicaukan sekira 297.000 akun itu berhasil menjadi salah satu perbincangan terpopuler di dunia selama 48 jam.
Namun, hashtag tersebut tiba-tiba raib secara misterius. Banyak pihak pun mensinyalir jika penghapusan itu sengaja dilakukan oleh Twitter. Namun jagat maya tak kalah cerdas.
Kini muncul hashtag baru yang merupakan pelesetan dari hashtag sebelumnya,#ShamedByYou.
"Patah tumbuh hilang berganti" #ShameOnYouSBY berganti jadi #ShamedByYou," kicau Putut Widjanarko dalam akun Twitter-nya.
"SBY singkatan dari #ShamedByYou :)," tulis akun @idetopia.
Kendati tidak seramai hastag sebelumnya, namun banyak pihak menganggap jika hastagbaru yang akan kembali menyerang SBY ini akan kembali populer dan menjadi perbincangan dunia.
"Patah tumbuh hilang berganti" #ShameOnYouSBY berganti jadi #ShamedByYou," kicau Putut Widjanarko dalam akun Twitter-nya.
"SBY singkatan dari #ShamedByYou :)," tulis akun @idetopia.
Kendati tidak seramai hastag sebelumnya, namun banyak pihak menganggap jika hastagbaru yang akan kembali menyerang SBY ini akan kembali populer dan menjadi perbincangan dunia.
***
Respons SBY
Menanggapi respons negatif masyarakat perihal peran dirinya terkait disahkannya RUU Pilkada oleh DPR, SBY kembali angkat bicara dan mencurahkan isi hatinya (curhat) di media sosial Youtube. SBY sepertinya sadar, media sosial merupakan wadah ampuh untuk memberikan pernyataan untuk meredam pikiran negatif sebagian rakyatnya.
Dalam keterangannya yang direkam di New York, Amerika Serikat, Ketua Umum Partai Demokrat itu menolak jika disebut tengah bersandiwara hingga opsi pilkada tidak langsung disahkan. Ia justru menyatakan sangat kecewa terhadap keputusan tersebut.
"Dengan sangat jernih, Partai Demokrat dan saya pribadi, mengusulkan agar opsi pilkada langsung, tetapi dengan catatan perbaikan-perbaikan besar itu diterima. Kenyataannya, itu ditolak. Saya kecewa. Dan karena hanya ada dua opsi, Demokrat sangat berat untuk memilih mana opsi yang tidak menjanjikan," ujar SBY.
Menurutnya, ada dua hal yang menjadi dasar kekecewaan dirinya dan Partai Demokrat. Pertama, opsi yang diusulkan Partai Demokrat, yaitu pilkada langsung dengan catatan 10 perbaikan besar ditolak oleh semua fraksi. Kedua, persyaratan yang diajukan di tingkat Panitia Kerja (Panja), juga tidak tembus.
Artinya, dia berkeyakinan jika DPR hanya berkeinginan dengan dua opsi, yakni opsi pilkada langsung yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan sejumlah partai pendukung, serta opsi pilkada oleh DPRD yang diusung solid Koalisi Merah Putih.
"Sepuluh tahun saya memimpin negeri ini, sepuluh tahun itu pula saya mengetahui keinginan masyarakat, banyak sekali ekses, banyak sekali penyimpangan, banyak sekali hal-hal yang tidak benar," klaim SBY.
Ia menyampaikan, aksi walk out Partai Demokrat merupakan sebagai bentuk luapan kekecewaan lantaran 10 butir perbaikan RUU Pilkada yang diabaikan banyak pihak. Kendati demikian, SBY memastikan jika mayoritas rakyat Indonesia masih menghendaki pilkada digelar secara langsung.
"Presiden mendapatkan kekuasaan dari mana? Dari Rakyat. Anggota DPR dapat kekuasaan dari mana? Dari rakyat. Artinya yang berdaulat adalah rakyat. Maka dari itu, dalam menyusun apakah Undang-undang dasar, apakah undang-undang, bahwa yang harus kita dengarkan dan rujuk ialah kehendak rakyat."
Dalam kesempatan curhatnya yang ke sekian kalinya itu, ia juga menegaskan jika Partai Demokrat akan melakukan gugatan UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK) atau Mahkamah Agung (MA) dalam waktu dekat.
"Saya berpikir karena ini prinsip demokrasi, kedaulatan rakyat, karena ini sistem, ini koreksi besar terhadap apa yang terjadi 10 tahun ini, saya sendiri memilih pilkada tetap dengan sistem langsung. Partai Demokrat berencana menyiapkan akan melakukan gugatan hukum. Sedang kami pertimbangkan yang mana yang paling tepat, apakah Mahkamah
Konstitusi atau Mahkamah Agung," kata dia.
"Saya kecewa, dan akan ambil langkah-langkah politik. Untuk rakyat Indonesia ketahui, kami konsisten, serius, tidak main-main. Sistem yang kita pilih adalah pilkada langsung dengan sejumlah perbaikan. Kami akan berjuang secara politik melalui koridor konstitusi yang kita miliki dengan harapan mudah-mudahan ada solusi yang baik."
Dalam keterangannya yang direkam di New York, Amerika Serikat, Ketua Umum Partai Demokrat itu menolak jika disebut tengah bersandiwara hingga opsi pilkada tidak langsung disahkan. Ia justru menyatakan sangat kecewa terhadap keputusan tersebut.
"Dengan sangat jernih, Partai Demokrat dan saya pribadi, mengusulkan agar opsi pilkada langsung, tetapi dengan catatan perbaikan-perbaikan besar itu diterima. Kenyataannya, itu ditolak. Saya kecewa. Dan karena hanya ada dua opsi, Demokrat sangat berat untuk memilih mana opsi yang tidak menjanjikan," ujar SBY.
Menurutnya, ada dua hal yang menjadi dasar kekecewaan dirinya dan Partai Demokrat. Pertama, opsi yang diusulkan Partai Demokrat, yaitu pilkada langsung dengan catatan 10 perbaikan besar ditolak oleh semua fraksi. Kedua, persyaratan yang diajukan di tingkat Panitia Kerja (Panja), juga tidak tembus.
Artinya, dia berkeyakinan jika DPR hanya berkeinginan dengan dua opsi, yakni opsi pilkada langsung yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan sejumlah partai pendukung, serta opsi pilkada oleh DPRD yang diusung solid Koalisi Merah Putih.
"Sepuluh tahun saya memimpin negeri ini, sepuluh tahun itu pula saya mengetahui keinginan masyarakat, banyak sekali ekses, banyak sekali penyimpangan, banyak sekali hal-hal yang tidak benar," klaim SBY.
Ia menyampaikan, aksi walk out Partai Demokrat merupakan sebagai bentuk luapan kekecewaan lantaran 10 butir perbaikan RUU Pilkada yang diabaikan banyak pihak. Kendati demikian, SBY memastikan jika mayoritas rakyat Indonesia masih menghendaki pilkada digelar secara langsung.
"Presiden mendapatkan kekuasaan dari mana? Dari Rakyat. Anggota DPR dapat kekuasaan dari mana? Dari rakyat. Artinya yang berdaulat adalah rakyat. Maka dari itu, dalam menyusun apakah Undang-undang dasar, apakah undang-undang, bahwa yang harus kita dengarkan dan rujuk ialah kehendak rakyat."
Dalam kesempatan curhatnya yang ke sekian kalinya itu, ia juga menegaskan jika Partai Demokrat akan melakukan gugatan UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK) atau Mahkamah Agung (MA) dalam waktu dekat.
"Saya berpikir karena ini prinsip demokrasi, kedaulatan rakyat, karena ini sistem, ini koreksi besar terhadap apa yang terjadi 10 tahun ini, saya sendiri memilih pilkada tetap dengan sistem langsung. Partai Demokrat berencana menyiapkan akan melakukan gugatan hukum. Sedang kami pertimbangkan yang mana yang paling tepat, apakah Mahkamah
Konstitusi atau Mahkamah Agung," kata dia.
"Saya kecewa, dan akan ambil langkah-langkah politik. Untuk rakyat Indonesia ketahui, kami konsisten, serius, tidak main-main. Sistem yang kita pilih adalah pilkada langsung dengan sejumlah perbaikan. Kami akan berjuang secara politik melalui koridor konstitusi yang kita miliki dengan harapan mudah-mudahan ada solusi yang baik."
***
Mana Sanksi untuk Anak Buah?
Sementara itu, sikap Partai Demokrat yang memilih melakukan aksi walk out dari rapat paripurna DPR saat pengesahaan RUU Pilkada dinilai sebagai drama politik yang sengaja diskenariokan SBY.
Menurut peneliti senior LIPI Ikrar Nusa Bhakti, SBY terlibat pada drama politik yang tak elok. Sebab, jika ingin memperbaiki citra partainya, sudah seharusnya SBY memberikan ganjaran kepada 'anak buahnya' berupa sanksi karena walk out saat sidang pembahasan digelar.
Ikrar pun mengharapkan keberanian SBY untuk segera mengajukan uji materi Undang-undang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai bentuk pembuktian penyesalannya.
Sementara itu, sikap Partai Demokrat yang memilih melakukan aksi walk out dari rapat paripurna DPR saat pengesahaan RUU Pilkada dinilai sebagai drama politik yang sengaja diskenariokan SBY.
Menurut peneliti senior LIPI Ikrar Nusa Bhakti, SBY terlibat pada drama politik yang tak elok. Sebab, jika ingin memperbaiki citra partainya, sudah seharusnya SBY memberikan ganjaran kepada 'anak buahnya' berupa sanksi karena walk out saat sidang pembahasan digelar.
Ikrar pun mengharapkan keberanian SBY untuk segera mengajukan uji materi Undang-undang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai bentuk pembuktian penyesalannya.
"Seharusnya, UU Pilkada itu merupakan kesempatan SBY untuk memperbaiki citranya di mata masyarakat. Kalau hanya kecewa saja, ini menjadi sebuah upaya bagi Partai Demokrat untuk menggali kuburan sendiri," tuturnya.
Kritik pedas terhadap sikap SBY juga disuarakan Pengamat Politik dari Jurusan Politik dan Pemerintah (JPP) UGM, Dr. Mada Sukmajati. Ia menilai, langkah walk out Partai Demokrat dan sikap SBY dalam pembahasan UU Pilkada merupakan blunder bagi akhir pemerintahannya.
Mada bahkan tak segan menyatakan jika revisi UU Pilkada ini sebagai bentuk peninggalan buruk dari hasil pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. “Saya kira ini blunder terbesar, dan justru terjadi di masa akhir pemerintahan beliau,” terangnya.
Sementara itu, Ketua Panja RUU Pilkada DPR, Abdul Hakam Naja, menyatakan, jika proses pengesahan RUU yang telah terjadi merupakan bagian dari proses politik biasa dan pendewasaan ke depan.
Dengan disahkannya RUU Pilkada ini, dirinya meyakinkan jika peta politik ke depan akan seimbang, yakni koalisi pemerintah tetap solid, dan koalisi kontradiktif juga solid.
Kritik pedas terhadap sikap SBY juga disuarakan Pengamat Politik dari Jurusan Politik dan Pemerintah (JPP) UGM, Dr. Mada Sukmajati. Ia menilai, langkah walk out Partai Demokrat dan sikap SBY dalam pembahasan UU Pilkada merupakan blunder bagi akhir pemerintahannya.
Mada bahkan tak segan menyatakan jika revisi UU Pilkada ini sebagai bentuk peninggalan buruk dari hasil pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. “Saya kira ini blunder terbesar, dan justru terjadi di masa akhir pemerintahan beliau,” terangnya.
Sementara itu, Ketua Panja RUU Pilkada DPR, Abdul Hakam Naja, menyatakan, jika proses pengesahan RUU yang telah terjadi merupakan bagian dari proses politik biasa dan pendewasaan ke depan.
Dengan disahkannya RUU Pilkada ini, dirinya meyakinkan jika peta politik ke depan akan seimbang, yakni koalisi pemerintah tetap solid, dan koalisi kontradiktif juga solid.
"Ini kan bagus. Coba kalau penyeimbangnya lemah, berarti pemerintah akan menjadi sangat kuat karena tidak ada penyeimbang, padahal kita perlu checks and balances system," tuturnya kepada VIVAnews.
Terkait dengan 10 syarat dari Partai Demokrat yang tidak bisa diterima di Paripurna, Hakam Naja beranggapan jika usulan itu akan membutuhkan waktu lama.
Terkait dengan 10 syarat dari Partai Demokrat yang tidak bisa diterima di Paripurna, Hakam Naja beranggapan jika usulan itu akan membutuhkan waktu lama.
"Kalau usulan Demokrat itu diterima, maka pembahasan ini harus dikembalikan lagi ke Komisi II, ini kan enggak bisa. 10 usulan dari Demokrat itu sudah pernah dibahas di Komisi, mayoritas 9,5 diterima dan 0,5 tidak bisa diterima," terangnya.
Hakam Naja juga mengatakan, 10 syarat yang diajukan Partai Demokrat baru diajukan secara tertulis setelah SBY berbicara di Youtube. Padahal sebelumnya, pada saat pembahasan di Panja, tidak pernah ada syarat tersebut.
Hakam Naja juga mengatakan, 10 syarat yang diajukan Partai Demokrat baru diajukan secara tertulis setelah SBY berbicara di Youtube. Padahal sebelumnya, pada saat pembahasan di Panja, tidak pernah ada syarat tersebut.
"Peta awalnya, Demokrat, PKB, dan PPP mendukung pilkada tidak langsung, dan fraksi lain menolak. Namun terakhir peta berubah," tuturnya. []
vivanews
EmoticonEmoticon