Aktivis perempuan dari JMSPS saat menggelar konferensi pers. |
Menurut Azrina, dalam Qanun Jinayat Pasal 53 tentang pokok-pokok syariat Islam menyebutkan bahwa syarat menjadi pemimpin di Aceh harus mampu membaca Al Quran, mampu khutbah Jumat dan khutbah shalat Id, bisa memimpin shalat berjamah.
“Artinya ke depan tidak akan ada lagi pemimpin di Aceh yang berasal dari perempuan, sudah tutup buku karena perempuan tidak bisa menjadi imam shalat bagi kaum laki-laki, kecuali imam bagi perempuan sendiri," jelas Azrina, pada konferensi pers yang digelar oleh sejumlah LSM di Aceh yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil di Yellow Café di Banda Aceh, Selasa (30/9/2014) petang.
"Ini merupakan kemunduran hak politik bagi perempuan di Aceh, karena agama dijadikan legitimasi," lanjut Azriana.
Sementara itu, menurut Azrina, dalam Qanun Jinayat juga masih mengenal zina dengan anak. Padahal, menurut dia, korelasi anak dengan orang dewasa itu sangat jelas berbeda. Seharusnya, kata dia, di dalam Qanun tidak disebutkan zina terhadap anak, tetapi perkosaan terhadap anak.
“Kita khawatir pasal di dalam Qanun Jinayat ini akan menyebabkan anak-anak dan perempuan di Aceh akan berhadapan dengan hukum cambuk," paparnya.
Padahal, Negara Republik Indonesia memiliki undang-undang perlindungan terhadap anak. Bahkan, menurut Azrina, di Aceh juga ada Qanun perlindungan terhadap anak.
"Saya khawatir posisi anak-anak di Aceh ke depan ketika mengalami kasus pelecehan seksual yang tidak setara dengan zina yang dilakukan orang dewasa, akan di hukum cambuk," katanya.
Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariat (JMSPS) dan sejumlah SM di Aceh rencananya akan menjumpai Gubernur dan Mendagri untuk meminta agar pengesahan Qanun Jinayat ditunda. []
kompas
EmoticonEmoticon