ilustrasi Pilkada Langsung |
Menurut Direktur Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin, SH, UU pilkada tersebut akan menimbulkan konflik regulasi terhadap sistem pemerintahan tata negara di Aceh. Pemilihan kepala daerah tidak langsung melalui DPRD yang diatur dalam UU Pilkada akan berbenturan dengan 23 pasal UU-PA
Di antaranya, yaitu pasal 1 angka 7, 9, 12, pasal 23, 24, pasal 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 96, 70, 71, 72, 73, 74 dan 269. Pasal-pasal tersebut adalah yang fundamental mengatur pemilihan langsung gubernur, bupati/walikota serta tugas dan wewenang Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh dalam menyelenggarakan pilkada langsung.
“Untuk menghindari terjadinya konflik regulasi dalam pilkada, Pemerintah Aceh (Gubernur dan DPRA) harus membuat regulasi/qanun pemilihan kepala daerah yang mengatur tentang mekanisme pemilihan, apakah menggunakan UU Pilkada atau menggunakan UU-PA, jika tidak nanti akan terjadi konflik regulasi seperti dalam rekrutmen Bawaslu Aceh yang terjadi tolak-tarik kewenangan DPRA dengan Bawaslu,” ujar Safaruddin kepada wartawan, Minggu (28/9).
Dijelaskan, Pemerintah Aceh tidak bisa langsung mengklaim bahwa pilkada di Aceh tetap mengacu pada UU-PA sebelum ada regulasi yang tegas untuk memisahkan kewenangan tersebut secara teknis.
Pasal 65 itu dapat diajukan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK), apakah calon independen masih berlaku atau tidak di Aceh, karena kalau merujuk pada putusan MK No 35/PUU-VII/2010 tentang pasal 256, dalam pertimbangannya MK menegaskan kekhususan Aceh mengacu pada pasal 3 UU No. 44 tahun 1999, yaitu penyelenggaraan kehidupan beragama penyelenggaraan kehidupan adat istiadat, penyelenggaraan pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.
MK juga menegaskan, antara UU 32 tahun 2004 dengan UU-PA tidak dapat diposisikan dalam hubungan hukum umum dan khusus (vide putusan MK No 5/PUU?-V/2007), dan kekhususan Aceh tidak masuk dalam ranah politik. “Jadi keberadaan pasal 65 UU-PA dapat saja diajukan ke MK untuk mendapatkan kepastian hukumnya,” ungkap Safaruddin yang juga Ketua Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Provinsi Aceh.
Tidak Miliki Kewenangan
Dengan adanya UU Pilkada secara otomatis KPU dan jajarannya di seluruh Indonesia tidak lagi memiliki kewenangan untuk melaksanakan pilkada termasuk KIP Aceh. “KPU/KIP hanya memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pemilu dan pilpres, sedangkan pilkada menjadi kewenangan DPRD,” katanya.
Oleh karena itu, YARA meminta gubernur dan DPRA agar segera menyusun Qanun Pilkada dan menetapkan pilkada di Aceh mengikuti sistem yang mana, UU-PA atau UU Pilkada sehingga tidak terjadi benturan hukum dan konflik regulasi seperti yang pernah terjadi beberapa kali, sehingga mengganggu proses penyelenggaraan pemerintahan di Aceh.
Seperti diketahui, dengan disahkan Revisi UU Pilkada, kepada daerah di Indonesia ke depan tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, tapi melalui DPRD. Namun, Aceh bersama tiga provinsi lainnya, DKI Jakarta, Papua, dan Yogyakarta memiliki aturan sendiri untuk menggelar pilkada langsung oleh rakyat dengan undang-undang yang lebih khusus.
DKI Jakarta diatur UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Jakarta, Provinsi Aceh diatur UU Nomor 11 Tahun 2006, Provinsi Yogyakarta dengan UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sedangkan Papua diatur UU Nomor 35 Tahun 2008. []
analisa
EmoticonEmoticon