Bencana Lalulintas di Kutaraja

Oleh: Yuli Rahmad
Suatu sore sepulang kerja, saya ditelepon seorang kawan di Ketapang. Hari itu Senin. Jam di tangan menunjukkan pukul 17.10 WIB. Dengan sedikit khawatir karena buru-buru, saya mempercepat laju kendaraan dari Jeulingke menuju Ketapang. Sebelum tepat tiba di persimpangan ‘lampu merah’ di Jambotape, saya melihat ruas jalan Tgk Daud Beureuh padat dengan mobil dan motor. Suara klakson yang saling sahut-sahutan memaksa saya memilih ruas jalan Beurawe-Simpang Surabaya.
Apesnya, pilihan saya tak lebih baik. Mobil dan motor yang menyemut di ruas jalan tersebut tak kalah panjang. Mulai dari depan Hermes Mall hingga ke persimpangan ‘lampu merah’ di arus jalan yang sama. Dan tak ada yang mau bersabar. Tak ada yang mau mengalah. Semuanya merasa terburu-buru dengan kepentingannya sendiri. Seperti saya yang keburu ditunggu seorang teman di bilangan Ketapang. Semuanya kehilangan kontrol di hari itu. Sampai-sampai, sebuah New Honda CRV berplat putih disenggol oleh Yamaha Vixion yang dikendarai seorang pelajar. Sial memang nasib pelajar itu. Pulang ke rumah tak juga cepat, malah dituntut membayar biaya perbaikan mobil.
Esok sorenya masih dalam tema sepulang kerja, saya menyempatkan diri singgah ke rumah saudara di Meuraxa. Tanpa berpikir panjang, kali ini dari arah Jeulingke, saya memilih ruas Jalan Daud Beureueh. Seperti ketakutan yang sudah terbayangkan, kemacetan kembali terjadi. Tapi kali ini saya tidak berada dalam keadaan terburu-buru. Mau tidak mau, saya harus menikmati kemacetan di Kutaraja yang berasa bak Kota Jakarta.
Fenomena kemacetan ala Banda Aceh memang bukan hal baru. Pasca tsunami, jumlah kendaraan kian bertambah. Berdasarkan observasi saya, paling sedikit setiap kepala keluarga memiliki dua kendaraan roda dua. Satu dipakai oleh orangtuanya. Satu lagi dipakai anak-anaknya baik karena kepentingan sekolah, kampus, maupun bekerja.
Sementara itu masih berdasarkan observasi, secara umum kepemilikan kendaraan di Aceh memang meningkat tajam. Data yang dirilis oleh Ditjen Perhubungan Darat Provinsi Aceh menyebutkan, peningkatan jumlah kendaraan bermotor dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2012 terjadi pada tiap moda kendaraan dengan total prosentase peningkatan sebesar 12%. Dimana jumlah terbesar pada moda sepeda motor dengan prosentase peningkatan sebesar 13.11%. (Ditjen Perhubungan Darat Provinsi Aceh, 2013)
Kalau diambil salah satu sampelnya, jumlah mobil penumpang pada 2009 yakni 89.914 unit. Dahsyatnya menjadi 116. 389 unit pada 2012. Yang lebih dahsyat, jumlah kendaraan roda dua pada 2009 sebanyak 1.568.661 unit meningkat drastic mencapai 2.424.563. Di dua jenis kendaraan ini saja, pada 2012 Aceh menyumbang 3.993.224 unit kendaraan yang melintasi berbagai ruas jalan. Sungguh luar biasa. Hampir menyaingi jumlah populasi masyarakat Aceh.
Sebagai daerah ibukota, sebaran kendaraan yang melintasi ruas jalan di Banda Aceh cukup banyak. Sumbangan sebaran kendaraan tersebut tak hanya milik warga pribumi Banda Aceh. Sebaran kendaraan tersebut turut disumbang oleh kepemilikan kendaraan milik warga Aceh Besar. Namun di Banda Aceh saja berdasarkan data Susenas 2011, 91,60 persen warga Banda Aceh memiliki kendaraan roda dua. Dan 21,40 persen diantaranya juga memiliki kendaraan roda empat. Di Aceh Besar sendiri, sumbangan kendaraan bermotor pada 2012 mencapai 51.260 unit. Data itu dirilis oleh BPS Aceh Besar.
Belum lagi setiap tahunnya, ruas jalan Kota Banda Aceh disesaki oleh kendaraan bermotor para mahasiswa yang datang dari berbagai daerah. Di Banda Aceh sedikitnya memiliki enam perguruan tinggi ternama baik negeri maupun swasta. Diantaranya Unsyiah, UIN Arraniry, Universitas Serambi Mekkah, Unmuha, Poltek Aceh, dan Unida. Belum lagi sumbangan kendaraan para mahasiswa diploma, khususnya di bidang medis. Jumlah mereka tak sedikit. Hampir rata-rata mahasiswa memiliki kendaraan.
Sungguh saya melihat ini sebagai sebuah bencana lalulintas. Bila dibiarkan, Kutaraja bisa menjadi seperti Jakarta. Sumpek. Jalan-jalan penuh dengan kemacetan. Penuh dengan polusi. Orang-orang akan malas berwisata ke Aceh. Takkan ada gunanya slogan ‘Visit Banda Aceh’ maupun ‘Visit Aceh’. Banda Aceh akan menjadi kota kecil yang semrawut.
Untuk itu, saya kira sudah sepantasnya Pemko Banda Aceh mengambil beberapa kebijakan solutif yang tidak sekedar mengedepankan pencitraan. Beberapa kebijakan itu diantaranya yakni pembatasan kepemilikan kendaraan bermotor dan masa berlaku penggunaan kendaraan. Kebijakan ini tentu saja akan mengundang pertentangan. Pasalnya perkembangan dunia motor dan automotif cukup pesat di Banda Aceh. Jumlah gerai distributor automotif menyebar di berbagai ruas kota.
Di lain hal peraturan ini tak bisa serta-merta diterapkan tanpa adanya upaya penyediaan moda transportasi umum yang memadai. Pada faktanya saat ini, moda transportasi umum di Banda Aceh jauh dari cukup dan baik. Jumlahnya pun terbatas. Damri Banda Aceh alakadar. Tak ber-AC dan beberapa busa di kursinya sudah ‘digigit tikus’. Harusnya Banda Aceh punya bus umum dalam kota yang standar. Yang membuat penggunanya nyaman.
Di lain hal, kita juga berharap Banda Aceh memiliki beberapa ruas jalan alternatif lainnya yang dapat digunakan sebagai landasan moda transportasi lain. Bilalah tak mungkin berharap dibangun Mass Rapid Transit (MRT) bawah tanah di Banda Aceh, mungkin tak salah berharap Banda Aceh mampu membangun Monorail. Dua moda itu akan membantu masyarakat untuk meninggalkan kecanduan membeli kendaraan.
Suatu kali, saya bertanya pada seorang teman. Mengapa kamu membeli kendaraan? Lalu dia menjawab. Saya takkan membeli kendaraan kalau Illiza Sa’adudin Djamal mau menyediakan transportasi umum yang baik. [tgj]
*Penulis merupakan jurnalis di Banda Aceh

Related Posts