![]() |
ilustrasi |
Damian berargumen bahwa Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan yang secara implisit melarang pernikahan beda agama, seharusnya dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Sebagaimana diketahui, UU Perkawinan menentukan bahwa sahnya sebuah perkawinan apabila dilakukan berdasarkan hukum masing-masing agamanya.
Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan selengkapnya menyatakan bahwa: "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu."
Damian Yuvens menyatakan pasal tersebut menghalangi perkawinan antar warga negara dengan hambatan yang secara internasional sudah dilarang, yaitu agama dan ras.
"Pasal tersebut dianggap dapat menimbulkan pemaksaan untuk menaati peraturan suatu agama tertentu dalam persoalan perkawinan, padahal kebebasan beragama dan perkawinan adalah salah satu hak asasi yang paling esensial," kata Damian seperti dikutip dalam website MK, Kamis (4/9).
Pemohon lain, Anbar Jayadi, mengatakan berlakunya pasal tersebut juga dinilai telah menimbulkan hal-hal negatif sebagai cara untuk menghindari aturan tersebut.
"Mengenyampingkan, hukum nasional dilakukan dengan melangsungkan perkawinan di luar negeri dan dengan melakukan perkawinan secara adat," tukas Anbar di hadapan Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
"Sedangkan mengenyampingkan peraturan agama, telah dilakukan dengan cara menaati dengan paksa aturan agama dari salah satu pasangan atau bahkan berpindah agama sesaat sebelum melangsungkan perkawinan," tambahnya.
Dia juga menyatakan berlakunya pasal tersebut bukannya menyelesaikan masalah perkawinan beda agama, tetapi malah menimbulkan masalah baru. Alih-alih memberi kejelasan mengenai diperbolehkan atau tidaknya perkawinan beda agama, pasal tersebut malah menyerahkan kembali persolan pada masing-masing individu. Ketentuan demikian oleh Pemohon dianggap tidak memenuhi syarat norma hukum bagi berlakunya suatu undang-undang. []
merdeka
EmoticonEmoticon