Dilema Profesi Wartawan di Kalangan Kawan dan Birokrat

AcehXPress.coBerburu berita atau apalah istilahnya tentu selalu bersinggungan dengan beragam individu maupun institusi tertentu. Mulai dari masyarakat umum sampai kepada masyarakat kalangan khusus. Tentunya yang berhubungan dengan data yang hendak dijadikan berita.

Setiap individu "pemburu" bahan tersebut, pastinya bekerja dengan gaya dan metode tertentu yang dirasa pas dengan karakter masing-masing. Namun, sebagai bagian dari pers (jurnalis atau wartawan), setiap individu (sebisanya) bersikap saling toleran dan berpihak pada hati nurani dalam tenggang "rasa" terhadap sesama pemburu berita.

Kenapa saya mengemukakan hal diatas? karena yang saya temukan di beberapa tempat yang saya singgahi (mungkin belum semua terjelajahi) dalam perjalanan memburu dan mengumpulkan bahan berita, sering  kali saya mendapati kurang harmonisnya hubungan dan antar sesama insan pers. Kecendrungan membentuk "gank" tertentu, saling menyimpan informasi (tidak mau berbagi), jumawa dan senioritas yang berlebihan, saling cari keuntungan dengan menggunting dalam lipatan, mencari keuntungan dengan mengorbankan kawan, membuat saya merasa resah dan "gatal".

Padahal kita (wartawan/jurnalis) punya profesi sama, mungkin untuk beberapa kasus yang berkaitan dengan perburuan bahan berita tertentu, kita bekerja sendiri-sendiri (single fighter), namun hendaknya kita harus tetap saling menjaga keharmonisan hubungan pertemanan sesama (sekali lagi) insan pers. Jangan sampai diadu domba, dimanfaatkan, oleh sumber berita (yang merasa terpojok oleh media) untuk "memelintir" sesama kita.

Ini saya saksikan dan alami selama sepekan terakhir ini di tempat berbeda dan kasus yang hampir serupa. Saya rasakan ketidakramahan dari individu anggota pejabat pemerintahan tertentu, saya nikmati pelototan dan interogasi dari anggota keamanan di daerah itu, saya sukai ketika memakan intimidasi dari tuan-tuan pemerintah yang menunjukkan taringnya yang menggelikan, dan saya harus sempoyongan dengan gagah keluar dari “kandang macan” tempat saya dianggap “bukan orang”. Namun saya dapati, ketika kawan-kawan media malah acuh tak acuh dan memenggal nyalinya sendiri untuk menunduk pada para penguasa yang sudah jelas tak patut mendapat penghormatan lagi. Nah, dimana saya harus berdiri? Kemana saya akan membawakan kebersamaan dan pembenaran untuk menyampaikan informasi kepada publik?

Melihat kondisi seperti ini, saya menjadi beropini sendiri dengan hati saya, mungkin beberapa kawan jurnalis muda lain berpikiran sama. “Wajar kalau wartawan saling perang dingin, berkelompok dengan picik, karena tidak paham arti respect for profesionality yang kini didengungkan oleh masyarakat pers profesional". Dan (mungkin) para narasumber atau orang yang berkaitan dengan bahan berita, menjadi senang karena berhasil "mengkotak-kotakkan" insan pers untuk dimanfaatkan demi kepentingan tertentu. Dan efeknya, ini menjadikan kita (wartawan) kerdil di mata mayarakat/publik, karena kita tidak memenuhi keinginan publik untuk mendapatkan informasi yang layak dan berguna.

Secara pribadi, hal ini perlu mendapatkan perhatian serius kita semua. Karena kita "pelihat, perasa, penyaksi, penjaga, dan penyampai" yang bersandar pada dinding junalistik yang menjadi pangkat kita. Ingat petuah senior-senior saya untuk mengingatkan, bukan menasehati kita hidup karena kawan, mati pun karena kawan, senang karena kawan, susah pun karena kawan, karena itu pandai-pandailah berkawan, atau kalau tidak bisa tak usahlah berkawan. Yang terakhir ini jangan dianggap serius. Hehe..[]

Oleh:
CEO & Founder AcehXPress.com

Related Posts


EmoticonEmoticon

:)
:(
=(
^_^
:D
=D
=)D
|o|
@@,
;)
:-bd
:-d
:p
:ng
:lv