Puisi-puisi di Cangkir Tua

Aliya Nurlela
AcehXPress.coMATAKU menatap lekat cangkir-cangkir gemuk itu. Semakin nyata, apa yang tergores di badan montok cangkir itu adalah untaian kalimat puitis. Kugosok-gosok mata ini dan menajamkan penglihatan, tapi tulisan itu tak berubah, tetap seperti semula. Aih, aku makin penasaran. Mataku beralih pada cangkir kembar di sampingnya. Tak jauh beda, di sana juga ada sederet kalimat puitis. Aku yakin itu puisi. Meskipun aku bukan seorang penyair dan kurang suka puisi, tapi rangkaian kata di cangkir itu seolah bicara, “aku puisi.”

            Aku ragu untuk memegang telinganya. Tanganku gemetar. Cangkir itu cangkir tua, sudah kuno, terletak di dalam lemari rahasia. Aku takut ada makhluk gaib yang menjadi penghuninya.

            Sewaktu aku kecil, bersama kakak sering sekali main petak umpet di dekat lemari ini. Tapi tak pernah tahu kalau di balik dinding berwarna cokelat itu terdapat lemari rahasia. Tidak seperti lemari lainnya yang sengaja ditata membelakangi dinding. Lemari ini sangat berbeda, justru menghadap dinding, bahkan seperti masuk dalam perut tembok. Warna lemari pun disamarkan dengan cat berwarna cokelat agar semakin menyerupai dinding.

            Aku pernah melihat ibu menyelinap ke balik dinding itu dan tanpa sengaja aku membuntutinya dari belakang. Sekalian bersembunyi dari kejaran kakak, pikirku. Tapi ibu buru-buru menghentikan langkahnya dan menyuruhku pergi. Menurutnya, aku tak boleh bermain-main petak umpet di sekitar dinding itu, ada hantu. Hiiih! Aku yang masih kecil pun ketakutan dan mengingat baik-baik pesan ibu. Tak sedikit pun aku berani mendekati dinding itu. Aku takut hantu, apalagi kalau hantu itu sampai mencekik leherku. Ahhh....

***

            “Aku tak mau mati dicekik hantu,” igauku suatu malam. Aku terbangun karena igauanku sendiri. Keringat dingin bercucuran di sekujur tubuh. Tidurku gelisah sekali.

Ucapan ibu masih begitu membekas dan karena itulah aku takut kegelapan. Aku juga takut tidur sendirian di kamar. Sepertinya dinding kamar menyeringai dan kulihat makhluk-makluk menakutkan di sana. Aku benci malam! Aku benci kegelapan! Aku benci dinding!

            Blamm!!

Sebuah benda kulempar ke arah dinding.

***

            Aku mengendap-endap ke arah dinding misterius itu. Rumah sedang sepi. Ibu pun tidak ada di rumah. Meski rasa takut menjalari sekujur tubuh dan membangkitkan bulu kudukku, tapi rasa penasaran mendorongku untuk mengintip lemari dan dinding misterius itu. Jika perlu aku harus memusnahkan lemari itu dan tak ada lagi area misterius penuh hantu di rumah ini. Aku tidak ingin berbagi tempat tinggal dengan makhluk lain.

            Suara isak tangis sayup terdengar. Tak jelas betul itu tangisan siapa. Tapi indera pendengaranku menangkap suara itu ke luar dari balik lemari yang menghadap dinding. Keheningan dalam rumah makin memperjelas suara tangis. Tangis lirih seorang perempuan. Aku meloncat dengan muka pucat pasi. Hantu! Itu hantu yang menangis di balik lemari. Aku berlari menjauh, tubuhku menggigil ketakutan.

            Malam itu, aku kembali tak bisa tidur. Masih terngiang suara tangis hantu di balik dinding misterius.

Ini benar-benar malam yang mencekam. Bulu kudukku meriding dan kakiku seperti kaku di tempat tidur.

            Siang harinya, aku mendengar suara tawa dari balik dinding itu. Suara seorang perempuan. Renyah sekali tawa itu, membuat jantungku berdegup ketika menyadari kalau suara itu milik makhluk lain yang tidak terlihat. Hiih, rumah yang seram, dihuni bermacam hantu. Ada hantu yang suka menangis, ada juga hantu yang suka tertawa. Aku bergidik takut.

***

            Rumah ini memang jarang sekali dibacakan ayat-ayat Alquran. Dulu, sewaktu kami masih kecil, ketika aku dan kakak masih rutin belajar mengaji di TPA, Alquran rutin sekali dibaca, terutama selepas salat magrib. Aku dan kakak berlomba melantunkannya dan mempraktikan apa yang didapat dari ustaz. Tapi tak sekalipun kulihat ibu membacanya, apalagi nenek. Mungkin saja mereka membacanya di kamar secara diam-diam atau saat aku pergi sekolah. Kalau di depanku tidak pernah, bahkan menyuruhku membacanya saja tidak.

            Aku jadi teringat kata ustaz, rumah yang tidak dibacakan Alquran di dalamnya, sama seperti kuburan. Ya, ustaz benar, aku merasakan aura itu setelah lama tidak membacanya. Hatiku jadi tergerak menemui ustaz saja dan meminta petunjuknya. Apakah keluargaku harus pindah dari rumah berhantu itu atau mengusir hantu itu ke luar dari rumah? Lalu bagaimana cara mengusirnya? Kukira ustaz punya bacaan-bacaan khusus pengusir hantu.

            Sore yang sepi tanpa seorang pun tahu, aku sudah pulang dari rumah ustaz. Menurut ustaz bukan penghuninya yang harus pergi dari rumah tapi justru hantu itulah yang harus keluar. Tak lupa ustaz membekaliku dengan sejumlah wejangan dan ayat-ayat Alquran yang harus rutin diamalkan. Kata ustaz, kuncinya aku tidak boleh takut. Manusia lebih mulia dibanding hantu (setan). Aku disarankan membuktikan ucapan ibu tentang adanya hantu di sekitar dinding itu. Bahkan aku didorong melongok ke balik dinding, tempat lemari itu diletakkan. Awalnya, aku merasa berat dengan saran ustaz. Mana mungkin aku yang penakut, tiba-tiba harus membuktikan keberadaan hantu? Darah di tubuhku serasa berhenti mengalir. Mukaku pucat pasi. Timbul bayangan ketakutan akan sesuatu yang belum terjadi. Phobia hantu!

            Sepanjang perjalanan pulang dari rumah ustaz itu, logikaku seperti ikut bermain. Aku mulai penasaran dengan saran ustaz itu. Tampaknya sedikit demi sedikit aku mencerna dan meredam rasa takut yang menyelinap. Ustaz bilang, “Allah selalu bersama orang-orang beriman.” Keyakinanku makin bulat, aku percaya Allah selalu mengawasi dan menjadi penolong. Aku harus berani menghadapi hantu sendirian dan berharap pertolongan-Nya. Jika tidak, selamanya akan kesulitan tidur di malam hari dan membenci dinding.

***

            Tersenyumlah dari bilik-bilik rindu
            Aku lelaki setia yang menjagamu...


            Sebuah puisi pendek kutemukan di cangkir itu. Seperti goresan ujung pisau yang sengaja diukir membentuk tulisan. Jika mata didekatkan, tulisan itu akan terbaca jelas.

            Bertukar rindu di laung kasih
            Temaram, menyulam haru
            Kutunggu di Tenda Kalbu

            Satu puisi lagi kutemukan di cangkir lainnya.

            Dalam pustakamu, ribuan tafsir hilir mudik menemukan biduknya    
            Laksana lautan tinta dan cinta kita
            Kamulah kata...

            Tiga puisi dalam cangkir yang berbeda telah kubaca. Rasa takutku sudah berkurang, berubah penasaran. Lemari misterius itu menyimpan puluhan cangkir tua berisi puisi cinta dan kerinduan.

Aku tak tahu siapa orangnya yang telaten menuliskan puisi-puisi itu dan untuk apa? Kenapa pula nenek dan ibu merahasiakannya dariku? Mereka selalu bilang ada hantu, tapi mengapa ibu tidak dilarang nenek saat mendekati dinding dan lemari berhantu itu? Aku yakin penulis puisi-puisi ini bukan hantu, tapi seseorang yang sangat menjunjung cinta dan memendam rindu. Dia pasti seorang yang puitis dan romantis. Tapi siapakah dia?

            Saat aku masih terdiam dengan sejuta tanya di benak, langkah kaki ibu mengagetkanku dan betapa murkanya dia ketika mendapatiku ada di balik lemari.

            “Apa yang kau lakukan?!” Bentak ibu nyaris memukulku.

Oh, tak biasanya ibu bersikap sekasar itu. Aku terdiam tak dapat menjawab. Seperti maling yang tertangkap basah dengan barang bukti di tangan. Sebuah cangkir berukir puisi  bergetar hebat dalam genggaman, dan ibu meraihnya dengan kasar.

Aku berlutut meminta maaf pada ibu karena tidak mengindahkan nasehatnya untuk tidak mendekati lemari berhantu. Mata ibu basah. Ibu menangis sambil memeluk dan menciumiku. Perubahan sikap aneh yang ditunjukan ibu yang belum kumengerti, dan aku hanya bersikap pasrah menerima peluk dan ciumnya. Mukaku ikut basah oleh air mata ibu. Aku menangkap tangisan dari sebuah luka yang dalam, bukan tangisan untuk hantu yang menakutkan atau setan jadi-jadian. Tangis itu tulus. Sebentuk tangis kepedihan atas kehilangan.

            Ibu tak bicara apa-apa. Ia beringsut pergi dan membiarkanku sendiri diselimuti rasa heran. Aku sendiri tak berani tanya pada ibu, hanya terdiam dan segera angkat kaki dari hadapan lemari itu. Sejak itu, aku tidak takut lagi hantu di balik dinding, justru rasa penasaranlah yang menjejali ubun-ubun.

            “Puisi-puisi itu adalah bahasa cinta ayahmu pada ibumu. Sejak usiamu sebulan dalam kandungan, cinta mereka harus terpisah. Orangtua ayahmu berasal dari keluarga ningrat, terpandang dan kaya. Mereka menyesalkan pernikahan ayahmu dan memaksa membawa ayahmu pulang dengan meninggalkan segepok uang di meja. Kakek tersinggung dengan uang itu, juga oleh perlakuan buruk dari pihak orangtua ayahmu, pertengkaran hebat antar orangtua pun terjadi. Kobannya adalah ayah-ibumu. Mereka saling mencintai, tidak ingin berpisah, tapi kedua kakekmu sama-sama keras. Cinta itu terpaksa dipisahkan. Saling berkirim surat pun tidak boleh. Ayah-ibumu pasti sangat tertekan, hingga akhirnya ayahmu  mengirimkan pesan-pesan untuk ibumu melalui puisi di dalam cangkir. Cangkir-cangkir itu dititipkan kepada seorang kurir dan menitipkannya pada nenek setiap belanja ke pasar. Cangkir-cangkir itu disimpan rapi selama bertahun-tahun di dalam lemari itu, hanya ibumu dan nenek saja yang tahu. Selama itu tidak berbentuk surat, kakek tidak pernah curiga. Tapi... sudah beberapa tahun ini ayahmu tidak pernah mengirimkan cangkir-cangkir lagi. Si kurir pun sudah tak pernah datang lagi. Entah di mana keberadaan ayahmu sekarang.” Mata nenek berkaca-kaca. Aku terhenyak mendengar penuturannya.

            “Tapi kakek sekarang sudah meninggal Nek?”

            “Benar. Tapi ayahmu tidak tahu ada di mana sekarang. Itu sebabnya, setiap hari ibumu selalu menyelinap ke balik dinding itu. Memandang cangkir-cangkir, membaca, memeluk dan menciumi. Kadang menangis dan kadang tertawa. Dia sangat mencintai ayahmu...”

            Kini aku mengerti, suara tangis dan tawa di balik dinding itu bukan berasal dari hantu, melainkan tangis dan tawa ibu. Ibu yang tertekan. Ibu yang kesepian. Ibu yang nelangsa kehilangan cintanya. Pantas saja ibu selalu bersikap aneh. Tapi entah kenapa, tiba-tiba aku merindukan sosok ayah. []

Penulis adalah Pendiri Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia.
Lahir di Ciamis, Jawa Barat. Saat ini berdomisili di dua kota, Malang dan Kediri. Sudah menerbitkan beberapa buku fiksi dan nonfiksi. 

Related Posts


EmoticonEmoticon

:)
:(
=(
^_^
:D
=D
=)D
|o|
@@,
;)
:-bd
:-d
:p
:ng
:lv