Bangunan penyelamat dari Tsunami (escape building) di Gampong (Desa) Lambung, Banda Aceh. |
Tak terlihat panik di raut mereka. Maklum, itu hanya sebuah simulasi yang digelar Pemerintah Aceh pada penghujung Oktober 2014 lalu. Dipusatkan di Desa Blang Oi, agenda itu untuk menguji kesiapan masyarakat dan pemerintah dalam mengantisipasi bencana. "Untuk mengevaluasi prosedur operasi standar yang digunakan sekaligus untuk melakukan ujicoba peralatan sistem peringatan dini sirine tsunami," ujar Kepala Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) Said Rasul.
Selain sirine tsunami, escape building atau bangunan penyelamat yang dibangun pascatsunami 10 tahun lalu, selalu menjadi acuan dalam setiap simulasi. Juga jalur-jalur penyelamatan yang memang sudah tertata rapi. Di Kecamatan Meuraxa yang luluh lantak dulunya, ada empat escape building yang dibangun untuk tempat perlindungan bila tsunami datang lagi.
Pekan lalu kepada Tempo, Dirhamsyah mantan Kepala Tsunami and Disaster Mitigation Researc Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) mengatakan gedung tersebut dibangun dengan ketahanan gempa 10 skala Richter. "Juga desainnya mengikuti gelombang tsunami sepuluh tahun lalu," ujar Ketua Program Pascasarjana Kebencanaan Unsyiah itu.
Menurut Dirhamsyah, Banda Aceh sudah seharusnya mempunyai bangunan yang tahan gempa, juga Aceh umumnya. Banda Aceh adalah daerah yang rawan gempa bumi dan tsunami karena letaknya berdekatan dengan daerah subduksi, yaitu sekitar 200 - 250 kilometer, yang mempunyai aktivitas seismik yang cukup tinggi. Selain gempa yang bersumber dari laut, wilayah kota Banda Aceh juga rawan terhadap gempa dari darat karena letaknya yang berada di jalur patahan Sumatera.
Ada tiga escape building yang masing-masing berada di Desa Lambung, Deah Glumpang dan Deah Teungoh. Sementara satu lagi berada di Gampong Pie, yang difungsikan lebih, sebagai kantor Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC). Di kantor itulah, kerap digelar seminar-seminar kebencanaan dan riset tsunami lainnya yang melibatkan para pakar dari berbagai negara.
Bangunan riset itu didanai oleh Badan Rekontruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias, dengan anggaran sekitar Rp 15 miliar. Sementara yang lainnya adalah bantuan pemerintah Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA), yang masing-masingnya bernilai Rp 10,5 miliar. "Secara teori, itu bangunan terkokoh yang dibangun setelah bencana," kata Muzailin Affan, mantan Local Advisor JICA, Selasa pekan lalu.
Muzailin terlibat aktif mengawal pembangunan escape building itu. Konsep awal bangunan tersebut dibuat oleh Japan International Cooperation System (JICS) Study Team dalam project Urgent Rehabilitation and Reconstruction Plan (URRP) untuk Kota Banda Aceh pada Maret 2005 sampai dengan Maret 2006. "Kami menyebutnya gedung community building sebagai escape building. Kecamatan Meuraxa juga sebagai daerah model untuk manajemen bencana," kata Dosen Teknik Arsitektur Unsyiah itu.
Mereka tak hanya membangun escape building, tapi juga escape road dan formulasi kegiatan Community Empowerment Program (CEP) sebagai konsep untuk pemeliharaan terhadap community building tersebut.
Muzailin memaparkan, konsultan bangunan escape building ini dibuat oleh Nippon Koei, Co. Ltd sebagai JICS Study Team. "Tiap-tiap escape building dibangun dengan luas 1.400 meter persegi."
Bangunan itu kuat dengan 54 pilar yang mempunyai diameter masing-masing 70 sentimeter. Tinggi gedungnya sekitar 18 meter dengan 4 lantai. Lantai akhir dibiarkan terbuka dan tersedia helipad untuk pendaratan helikopter. Dalam simulasi besar-besaran yang digelar November 2008 lalu, helikopter dapat mendarat mulus di sana.
Lantai dua mempunyai tinggi sekitar 10 meter, mengikuti tinggi gelombang tsunami Desember 2004 lalu di lokasi gedung tersebut. Sementara lantai satu dibiarkan kosong tanpa partisi, asumsinya untuk menghindari terjangan air tsunami, jika datang di kemudian hari.
Gedung itu sanggup menampung evakuasi sebanyak 500 orang tersebut, dirancang dapat menahan gempa dengan kekuatan 10 skala Richter. Tangga menuju ke lantai atas dibuat dua buah. Satu tangga utama dengan ukuran sekitar dua meter dan satu lagi dengan lebar 1 meter. Gedung juga dilengkapi dengan peralatan dan fasilitas untuk evakuasi.
Sehari-hari gedung tersebut juga berfungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat sekitar yang juga dibina untuk membentuk masyarakat yang siap dan siaga dalam menghadapi bencana yang mugkin terjadi di masa yang akan datang, sehingga dapat mengurangi resiko dan korban jiwa.
Di gedung tersebut, ada lapangan bulutangkis, ada beberapa ruangan yang dapat difungsikan desa. "Kami harapkan dapat digunakan masyarakat untuk kepentingan desa, sambil merawat gedung sendiri," kata Muzailin.
Selain escape building, ada beberapa bangunan lain di Banda Aceh yang punya kekuatan sama terhadap gempa dan tsunami. "Museum tsunami juga punya ketahanan yang sama, juga bebeberapa gedung pemerintah yang dibangun belakangan," kata Dirmamsyah.
Bangunan Hermes Palace Hotel juga punya ketahanan terhadap gempa dalam sekala besar. Manager Hermes Palace Hotel Oktowandi kepada Tempo pekan lalu, mengungkapkan desain hotel tahan gempa 10 skala Richter. Hermes Palace terletak di Jalan P Nyak Makam Banda Aceh, yang dibangun pada 2005 silam. Hotel tersebut adalah satu-satunya hotel bintang empat di Aceh.
Warga Desa Lambung, Masyithah menyakini bangunan itu tahan gempa. Beberapa kali simulasi tsunami di Banda Aceh telah membuatnya paham terhadap jalur menyelamatkan diri dan kemana harus berlari. "Saya tak perlu lari jauh jika gempa dan sirene berbunyi, ke sana saja," kata dia. [tempo]
EmoticonEmoticon