CERPEN: Bell’s Palsy

Aliya Nurlela
Oleh: Aliya Nurlela

SAKIT telah membuatnya tak sabar untuk segera menemui dokter. Wajah sembabnya yang sedari tadi menahan sakit di wajah, masih terlihat jelas. Tak ada lagi gurat kecantikan di sana. Hanya ada sebongkah tanya yang belum terjawab, menyiratkan pucat di garis  muka halusnya.
“Dok, wajah saya tiba-tiba kaku,” ucapnya pada seorang dokter di ruang periksa.
“Sakit apa?” tanya dokter menatapnya lekat. Wanita itu mengernyitkan alis.
“Maksud dokter?”
“Anda sakit apa?” tanya dokter lagi mempertegas pertanyaannya.
“Saya ke sini justru ingin mendapatkan jawaban dari dokter, sebenarnya saya ini sakit apa?” tanyanya tak mau kalah.
“Lho, bagaimana saya memberikan obat kalau Anda sendiri tidak tahu sakit apa yang Anda derita?!” Suara dokter itu sedikit meninggi.
“Bukankah seharusnya saya yang bertanya pada Anda sebagai  dokter yang mengerti penyakit?! Bukankah seharusnya yang dokter tanyakan pada saya, apa yang Anda rasakan, dan dokterlah yang menyimpulkan?!” Suara wanita itu ikut meninggi.
“Anda malah mengajari dokter!” Dokter itu tak terima.
Wanita yang ada di hadapannya berjingkat dari tempat duduk.
“Kalau begini caranya, penyakit saya bisa semakin menjadi-jadi! Saya urung berobat pada Anda,” ujarnya memutuskan sambil meninggalkan ruangan tanpa basa-basi lagi. Dokter menatapnya heran.
Kakinya dilangkahkan setengah tergesa-gesa, tangan kirinya masih menahan muka sebelah kiri yang sakit. Mau mengaduh, ia malu pada deretan pasien lain yang dilewati.
Sampailah ia di ruang praktik dokter berikutnya.
“Dok, muka saya sakit dan kaku,” keluhnya, tak menunggu ditanya.
“Sudah berapa lama?” tanya dokter berkacamata itu.
“Dua hari.”
“Sebelumnya, apakah Anda biasa mandi di malam hari?” tanya dokter menyelidik.
“Tidak.”
“Atau berkendara tanpa memakai helm?”
“Tidak.”
“Atau sering berada di ruangan ber-AC?”
“Tidak.”
“Atau tidur di lantai?”
“Tidak.”
“Atau sering keluar malam hari?”
“Tidak.”
“Atau kontak langsung dengan kipas angin?”
“Tidak!!” Wanita itu setengah membentak. Dokter yang sedari tadi bertanya hanya terpaku, menahan rasa kaget.
“Semua yang dokter tanyakan tidak ada yang cocok! Kalau begini caranya, sakit saya akan semakin menjadi-jadi. Saya batal berobat,” gerutunya sambil bergegas meninggalkan ruangan, dan meninggalkan dokter berkacamata itu yang tiba-tiba meletakkan kacamatanya di atas meja.
Rasa sakit di mukanya semakin mendera. Tak henti-henti wanita itu mengusap bagian yang  sakit. Agar rasa sakit itu sedikit melesap. Namun sayang, rasa sakit itu semakin menjadi. Otot-otot halus di mukanya seperti ditarik ke kanan-kiri. Sakit benar-benar menguntitnya.
“Penyakit yang Anda derita tidak ada obatnya,” ujar dokter lain yang ia datangi.
“Apa?! Mana ada penyakit tidak ada obatnya?!” Wanita itu tidak terima jawaban dokter.
“Maksud saya, tidak ada obat yang bisa Anda konsumsi, hanya cukup melakukan terapi rutin saja,” jawab dokter itu santai.
“Pernyataan Anda membuat pasien prustasi!” ujarnya, dan lagi-lagi meninggalkan ruangan dokter. Dokter itu menggeleng dan mengantarnya dengan tatapan heran.
Sampailah ia di rumah seorang tabib yang meracik obat-obatan herbal. Kabarnya obat-obatan hasil racikan si tabib bisa menyembuhkan berbagai penyakit.
“Dokter bilang, sakit ini tak ada obatnya. Saya datang ke sini karena membaca tulisan di depan rumah Anda, ‘Menyediakan Obat untuk Segala Macam Penyakit.’ Tolong berikan obat itu pada saya karena muka ini sakit sekali.” Tanpa basa-basi wanita itu langsung menyatakan maksudnya.
“Baiklah, saya tumbuk ramuannya dulu,” ujar si tabib sambil masuk ke dalam rumah. Wanita itu cukup sabar menunggunya di ruangan sempit berukuran 2x2 meter yang dipenuhi aroma jamu rebus.
“Ini obatnya. Minum 3 kali sehari. Biaya satu juta,” Tabib itu menyodorkan sebuah bungkusan yang dilapisi plastik bening. Dari luar tampak ramuan bubuk berwarna hijau tua, sedikit mirip kotoran kuda.
“Obat apa mahal sekali?!” Wanita itu membolak-balikkan bungkusan kecil yang telah berpindah ke tangannya. Si tabib terkekeh.
“Ini obat langka. Dokter saja tidak memiliki obatnya, sedangkan saya bisa membuatkan obat untuk penyakit Anda. Bukankah harga yang pantas untuk sesuatu yang langka?” ujarnya enteng.
“Berapa lama saya harus meminumnya?!” tanyanya masih belum yakin.
“Sampai Anda sembuh,” jawab si tabib dengan santai.
“Wah, sampai saya sembuh? Menurut Anda kira-kira berapa lama penyakit ini bisa sembuh setelah mengonsumsi obat ini?”
“Eu...bisa dua atau tiga bulan.”
“Lalu, obat ini kira-kira habis dalam jangka waktu berapa lama?”
“Satu minggu.”
“Lalu setelah habis?!”
“Anda datang lagi ke sini dan membeli ramuan itu lagi untuk satu minggu berikutnya.”
“Apakah tiap minggu saya harus mengeluarkan uang satu juta rupiah?”
“Benar.”
“Itu artinya selama 3 bulan pengobatan di tempat Anda, sekurang-kurangnya saya harus mengeluarkan uang 12 juta rupiah?”
“Benar.”
“Wah, saya batal berobat! Anda hendak menangguk untung dari sakit yang saya derita! Permisi,” ujar wanita itu, tak menunggu jawaban tabib yang bengong, langsung meninggalkan ruangan begitu saja.
Titik-titik keringat menyembul di keningnya, sementara urat di balik telinga kiri seakan tak memberinya kesempatan untuk bernapas lega barang sejenak. Urat itu makin menegang, menciptakan rasa sakit yang tak tertahankan.
“Anda sakit bell’s Palsy,” ujar dokter berikutnya.
“Apa itu sakit bell’s Palsy?” Wanita itu mengerutkan kening.
“Kelumpuhan saraf muka separuh.”
“Berbahayakah itu?!” Kecemasan tampak sekali dari wajahnya yang tidak simetris lagi.
“Cukup berbahaya. Jika tidak ditangani secara cepat dan tepat, akan mengakibatkan cacat permanen.”
Wanita itu tersentak.
“Cacat?! Separah itukah? Tolong berikan saya obat sekarang juga, saya tidak mau muka ini cacat. Dokter lain bilang, tak ada obatnya. Pasti Anda punya obatnya kan?” Ujarnya setengah memaksa dokter.
“Ada jalan lain yang bisa Anda tempuh.”
“Jalan apa, katakan Dok!”
“Operasi plastik.”
“Apa??! Apakah dijamin sembuh lewat operasi?” tanyanya penasaran.
“Fifty-fifty. Bisa ya, bisa tidak. Tapi tak ada salahnya dicoba,” jawab dokter menyarankan.
Wanita itu tercenung sejenak.
“Tidak! Saya tidak mau operasi!” Napasnya mendengus, antara emosi dan takut. Ia membayangkan muka halusnya yang sehari-hari disaput kosmetik, tiba-tiba harus diiris-iris pisau bedah.
Dokter hanya menatapnya tanpa beranjak dari kursi yang diduduki. Telunjuknya dijentik-jentikkan ke jidat. Sudah menjadi santapan sehari-hari baginya, melihat tingkah laku aneh para pasien.
Sesampainya di rumah, wanita itu menghempaskan tubuhnya ke kasur. Ditatapnya langit-langit, tak ada keindahan di sana. Seluruh imajinasi yang biasa hadir, tak ada lagi. Bola matanya berputar arah pada bingkai-bingkai foto yang berderet di dinding. Ada wajah cantik yang seolah tersenyum ke arahnya. Ia berjingkat mendekati deretan bingkai foto itu, dipandanginya sejenak, lalu...prang! Suara bingkai foto berjatuhan dan pecah di lantai.
Wanita itu tercenung. Cermin besar yang telah setia menjadi sahabatnya bertahun-tahun, diputar arah menghadap tembok. Ia tak mau lagi bercermin. Ia takut melihat bayangan wajah lain di cermin itu. Wajahnya telah jauh berubah dari wajah aslinya. Sakit yang menimpanya telah mengubah semua itu. Wajahnya sudah lumpuh separuh dan tidak secantik dulu lagi. Ia marah, tapi entah marah pada siapa? Ia tahu, itu bukan salah dokter, tabib, apalagi Tuhan.
Kini hari-harinya dihabiskan di dalam kamar. Ia lebih suka mengurung diri. Ia benci foto, cermin dan kamera. Emosinya tak terkendali jika berhadapan dengan benda-benda itu. Ketiga benda itu menjadi pelampiasan rasa kecewanya.
“Simpanlah. Suatu saat akan berguna. Tidak perlu dibuka sekarang.” Wanita yang telah melahirkannya menyodorkan sebuah bungkusan. Dia menerima bungkusan itu dengan wajah muram, dan meletakkannya di atas meja begitu saja. Kado, bukanlah bingkisan yang indah untuk saat ini.
Dia makin melesap dalam kesedihan. Hari-harinya merupa hitam. Emosinya mudah menggelegak, dan alam di sekelilingnya berubah kelabu. Seperti tak ingat keberadaan Tuhan di lubuk hatinya. Bahwa Tuhan masih membuka pintu kesembuhan, dan tak mengenal kemustahilan.
Hingga suatu hari_setelah enam bulan berlalu_di sela tangis lelahnya, bungkusan di atas meja itu seolah menarik tangannya untuk menjamah. Perlahan, dibukanya bungkusan itu. Tangannya bergetar. Dan...ia terperangah setengah terpekik. Bayangan wajah wanita cantik menatapnya. Saat kepalanya bergerak, bayangan itu pun bergerak. Saat keningnya mengerut, wajah dalam bayangan itu pun mengerut. Siapakah dia?  “Tidak mungkiiiiiiin!” Teriaknya.
Wanita itu berlari ke arah cermin besar yang telah sekian bulan dihadapkan ke tembok, lalu diputar kembali menghadapnya, ia pun terperangah. Di hadapannya berdiri wanita cantik yang menatapnya heran. Tubuh dalam bayangan itu seperti dirinya. Sama persis, tak ada perbedaan sedikit pun. Dia mencubit pipi, bayangan itu pun mengikuti. Pipinya terasa sakit. Itu artinya bukan mimpi.
“Tuhan...ampuni aku yang tak sabar menerima ujianmu. Ternyata Engkau sangat menyayangiku,” isaknya penuh penyesalan.
“Ibuuuu...aku sembuh.” Teriaknya sambil menghambur ke pelukan wanita sabar yang selama ini ikut menjadi korban pelampiasan rasa kecewanya. []

Bell’s Palsy = kelumpuhan syaraf muka separuh.

                                                                                    Pare, 3 Maret 2014


*)Aliya Nurlela, pegiat Forum Aktif  Menulis (FAM) Indonesi lahir di Ciamis dan saat ini berdomisli di dua kota (Malang dan Kediri). Penulis novel “Lukisan Cahaya di Batas Kota Galuh”



EmoticonEmoticon