![]() |
ilustrasi Demo |
Misalnya, tentang larangan mempromosikan termasuk menceritakan kembali pengakuan sesorang yang telah melakukan jarimah (pelanggaran syariat Islam) secara lisan atau tulisan melalui media cetak, elektronik atau media lainnya sebagaimana disebut dalam poin 35 pada ketentuan umum.
Dalam Pasal 6 (ayat 2) disebutkan ancaman hukumannya adalah satu setengah kali cambuk dari jumlah hukuman cambuk yang diterima pelaku jarimah.
Ketua Balai Syura Urueng Inong Aceh, Soraya Kamaruzzaman menilai, klausul ini berpotensi menimpa wartawan atau siapa saja yang menulis kronologi kasus yang melibatkan seorang pelaku pelanggar syariat Islam.
“Ini masih perlu dikritisi lagi,” katanya kepada Okezone, Kamis (25/9/2014).
Selanjutnya tentang sanksi cambuk terhadap anak-anak yang sudah berusia 12 hingga 18 tahun seperti dalam Pasal 65. Jika melakukan pelanggaran maka ancaman hukumannya cambuk satu per tiga kali dari yang diancam terhadap orang dewasa.
“Cambuk terhadap anak-anak ini juga perlu dipertanyakan lagi,” sebutnya.
Azriana, aktivis perempuan dari Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariah (JMSPS) juga mempertanyakan klausul tentang perzinaan dengan anak-anak seperti di Pasal 35 yang ancamannya 100 kali cambuk atau denda 1.000 gram emas.
Pasalnya dalam pasal ini anak-anak berpotensi dijadikan pelaku dan ikut dicambuk jika melakukan hubungan seksual dengan orang dewasa. “Seharusnya di sini anak-anak di tempatkan posisinya sebagai korban, ini harus masuk dalam pemerkosaan,” sebutnya.
Selanjutnya pada Pasal 53 terkait seseorang terduga pemerkosaan bisa membela diri dengan bersumpah lima kali di depan hakim, dinilai bisa menjadi celah bagi pelaku untuk bebas. Azrina juga menilai ancaman cambuk 100 kali untuk pemerkosaan seperti halnya zina, terlalu ringan.
“Harusnya untuk pemerkosaan hukumannya lebih berat lagi,” ujarnya.
Sementara Direktur Koalisi NGO Hak Asasis Manusia Aceh, Zulfikar Muhammad, mengkritisi pasal yang mengatur sanksi zina, yang hanya menyamaratakan hukuman terhadap pelaku yang belum menikah dan sudah menikah. Seharusnya, lanjut dia, ada pengecualian di situ.
“Kalau pelaku sudah menikah, menurut Islam, hukumannya lebih berat. Tapi di sini tidak diatur. Ini yang perlu dipertanyakan dari mana sumber hukum ini,” sebutnya.
Zulfikar mengatakan dirinya tak mempersalahkan penerapan hukuman cambuk di Aceh, meski sebagian besar aktivis HAM dunia mengecam. “Asal dijalankan sesuai prinsip Islam, jelas sumbernya dalam Islam bukan hanya tafsir sebagian orang, dan menjunjung nilai keadilan, tidak masalah,” pungkasnya. []
okezone
EmoticonEmoticon