![]() |
Teuku Mirdhatillah |
Penganugerahan predikat itu diserahkan dalam rangkaian peringatan HUT Indonesia di Jakarta pada 2014 ini. Disana, dia mengikuti serangkaian acara. Mulai dari renungan suci di Taman Makam Pahlawan di Kalibata, hingga silaturrahmi dengan Presiden SBY dan kabinetnya di Gedung Jakarta International Expo.
“Seleksi penyuluh THL-TBPP Teladan yang sangat ketat dan dilalui dengan sangat melelahkan,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Predikat penyuluh THL-TBPP bukanlah seremonial semata. Penghargaan itu diberikan kepada penyuluh berbakat dan berprestasi tinggi dengan loyalitas yang besar terhadap kerja-kerja pendampingan para petani. Di Aceh, Mirdha telah melakoni pekerjaan itu sejak 2009. Dia bekerja di Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BP2KP) Kabupaten Aceh Besar. Dia ditempatkan di UPTB-BPP Kecamatan Kuta Baro.
Sedikitnya saja, alumni Pertanian Unsyiah ini membina dua gampong. “Gampong Cot Preh dan Ujong Blang,” jelas Putra dari pasangan T.M. Yunus Paima Prang dan Sukmiati A Rahman ini.
Di dua gampong tersebut, Mirdha mendampingi masyarakat untuk mengembangkan sejumlah tanaman pangan. Diantaranya padi, ubi kayu, jagung, kedelai, hortikultura, mangga dan pisang. Tidak saja itu, dia juga membina masyarakat untuk mengembangan peternakan tradisional warga. Proses penggemukan sapi, bebek, ayam buras dan kambing juga difasilitasi olehnya.
“Itu sangat menyenangkan,” tukas pria kelahiran Maret 1990 ini bangga.
Diakuinya, di era 2000-an dengan segala perkembangan teknologi dan informasi, pekerjaan di sektor pertanian tidaklah elit bagi kalangan muda. Bahkan banyak pihak mendikte pekerjaan tersebut sebagai profesi rendahan.
Beda halnya dengan Mirdha. Sektor pertanian baginya cukup menjanjikan. Sayangnya selama ini, penggarapannya masih dilakukan secara tradisional. Masyarakat belum mampu mengelolanya dengan pendekatan teknologi.
Lagipula dia melihat, keseriusan warga menggarap pertanian juga minim. Padahal di banyak negara berkembang, sektor pertanian merupakan prioritas utama. Masyarakat mengelola pertanian di lahan yang sangat luas.
“Kita, paling cuma beberapa petak. Cuma buat makan tahun ini,” ujar mahasiswa S2 di bidang Konservasi Sumber Daya Lahan (KSDL) Unsyiah ini sembari tersenyum.
Tak bisa dinafikan, selain hanya mengedepankan konsep tradisional, masyarakat Aceh secara umum katanya tak memiliki modal untuk menggarap lahan pertanian. Akibatnya mereka hanya menggarap di lahan yang terbatas. Namun yang lebih ironis, di beberapa tempat justru ditemukan tak sedikit masyarakat yang tidak memiliki lahan pertanian. Padahal kasus-kasus demikian ditemukan di lumbung-lumbung pertanian seperti di Aceh Barat Daya dan beberapa daerah lainnya.
Sayangnya lagi, persoalan tersebut belum terjawab. Keterbatasan garapan lahan pertanian harusnya direspon oleh pemerintah dengan menggarap lahan-lahan tidur secara Cuma-Cuma. Pemerintah katanya juga bisa membuka lahan-lahan baru di area-area potensial yang tidak mengganggu ekosistem setempat.
“Ini yang belum dilakukan. Bayangkan kalau program tersebut digerakkan dan masyarakat Aceh, semiskin-miskinnya memiliki 1-2 hektar lahan pertanian, saya kira dalam lima tahun atau satu periode pemerintahan, kita sudah makmur. Inilah sebenar-benarnya membuka lapangan pekerjaan,” jelasnya yang juga anggota KNPI Kota Banda Aceh.
Benahi Infrastruktur Pertanian
Kopi hitam di gelas kecil di depan Mirdha tinggal seperempat. Sepertinya tak panas lagi. Kopi tersebut telah dingin akibat percakapan panjang. Lalu, laki-laki berkulit terang ini menyeruput sisa kopi tersebut hingga gelasnya kering. Semenit kemudian, dia meminta pelayan menambah kopi lagi. Tapi kali ini, cukup pancung pesannya dengan nada rendah. Artinya hanya setengah gelas.
Sembari menunggu hidangan kopi pancung, dia menunjuk hamparan lahan pertanian di belakang warung kopi, tempat kami berbincang-bincang.
“Coba liat itu bang. Lahannya bagus, tapi airnya nggak ada. Masyarakat cuma berharap hujan turun dari langit. Harusnya pemerintah membangun irigasi yang memadai dan irigasi yang sudah ada dibersihkan endapannya. Air harus mengalir ke sawah-sawah warga,” tukasnya kesal.
Persoalan infrastruktur pertanian memang hal yang sangat krusial. Akan sangat naïf bila pengembangan pertanian tak dibarengi dengan peningkatan kualitas infrastruktur. Dan faktanya memang demikian. Selama ini, masyarakat dihadapkan dengan kondisi gagal panen. Kondisi itu jelas saja merugikan petani. Ganti-rugi yang diberikan oleh pemerintah tak sebanding dengan prospek keuntungan yang bisa diraih.
Diakuinya, anggaran yang bisa dihabiskan untuk pembangunan infrastruktur pertanian tidaklah kecil. Namun ada banyak jalan menuju Roma. Falsafah itu bukanlah sekedar teori.
“Dulu kalau bicara Thailand, orang-orang cuma ingat soal wisata seks bebas. Tapi sekarang tidak hanya itu. Thailand juga dikenal dengan bisnis pertaniannya,” tandas Mirdha.
“Inilah yang harus kita lakukan. Pemerintah harus memprioritaskan pertanian agar anak-anak muda Aceh nggak menjadi pengangguran,” tutupnya yakin. [tgj]
EmoticonEmoticon