ilustrasi |
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh Barat T Helmi di Meulaboh, Senin, mengatakan delapan kapal nelayan yang ditangkap tim terpadu tersebut berkapasitas di atas 5 gros ton (GT).
"Kapal nelayan tersebut ditangkap karena menggunakan mata jaring di bawah satu inci. Dalam aturan, itu tidak boleh karena dapat merusak kelestarian sumber perikanan. Yang ditangkap tidak mesti pukat harimau," tegas T Helmi.
Pernyataan tersebut ditegaskan T Helmi usai pertemuan dengan nelayan yang melakukan audiensi ke DPRK Aceh Barat. Dalam pertemuan itu, beberapa nelayan mengaku peraturan tersebut belum mereka ketahui.
Dalam pertemuan tersebut, kata dia, pemerintah daerah bersama nelayan sepakat mengikuti aturan terkait pelarangan penggunaan alat tangkap mata jaring di bawah satu inci. Penggunaan alat tangkap dengan mata jaring hanya diperbolehkan kepada kapal nelayan dengan kapasitas di bawah 5 GT.
Dengan adanya kesepakatan tersebut, kata dia, tim terpadu dari unsur Polri, TNI AL, pemangku adat laut serta serta instansi DKP, tidak menyerahkan para pelaku untuk ditahan, namun hanya mendapat pembinaan.
"Nelayan yang ditangkap tidak diserahkan ke polisi. Tindakan kepada nelayan tersebut berupa pembinaan. Saat delapan kapal nelayan tersebut ditangkap, tidak ada ikan. Kami tidak tahu, apakah ikannya sudah diturunkan atau tidak," kata T Helmi.
Lebih lanjut dikatakan, alat tangkap yang digunakan para nelayan Aceh Barat tersebut sejenis jaring trawl. Hanya saja tidak menggunakan tali penguat serta besi pemberat bahkan cenderung seperti pukat tarik.
Meskipun demikian, ungkap Helmi, tim terpadu tetap menyita semua alat tangkap tidak ramah lingkungan tersebut. Kemudian memotongnya agar tidak digunakan.
"Dalam aturan tidak mesti trawl atau bukan, tapi alat tangkap yang merusak kelestarian lingkungan dan sumber perikanan itu tidak boleh digunakan," tegas T Helmi. [ant]
EmoticonEmoticon