Rasa prihatin saat
membaca berita bertajuk ‘Pelamar Polisi Pakai Ijazah Palsu’ yang dimuat di
Serambi Indonesia versi online, Kamis (13/3/2014) silam. Begitu juga yang
terasa ketika menyimak kabar ‘Bawaslu Proses Laporan Dugaan Caleg Berijazah
Palsu’ pada bulan September tahun lalu. Kedua itu perkara terjadi, jelas-jelas
dilatarbelakangi masalah pendidikan dan ijazah.
Sebenarnya, seberapa
pentingkah ijazah di negeri ini? Apakah ijazah adalah bukti mutlak kemampuan
seseorang? Lantas, di mana kelak tempat para pemegang ijazah di perusahaan?
Sudah cukup tangguhkah mereka dalam bekerja? Dan terpenting dipertanyakan, apa
yang diperoleh sebagian sarjana selain kebanggaan?
Sampai dengan hari ini,
kota besar seperti Jakarta selalu kedatangan para pencari pekerjaan. Mulai yang
bergelar sarjana, hingga tanpa ijazah sekalipun memburu lowongan. Bahkan tidak
akan ketinggalan, situs-situs penyedia iklan lowongan kerja juga kerap menjadi
tujuan rutin setiap waktu.
Mirisnya, tidak perlu
juga ditutupi, sedikit perusahaan atau pembuka lowongan yang mau memperkerjakan
orang yang tidak memiliki ijazah. Pendidikan dan ijazah pula yang selalu
menggawangi setiap syarat untuk melamar. Hal tersebut tentu saja menjadi
alasan, mengapa selembar kertas bernama ijazah itu begitu dibutuhkan di negeri
ini.
Mengenai kemampuan
individu, sebuah perusahaan biasanya akan menilai di saat tes atau interview
pelamar. Jika saja kemampuan seseorang sebenarnya setara profesional, namun
tidak memiliki bukti tertulis seperti ijazah, maka akan kecil kemungkinan bisa
lolos di tahap administrasi yang kerap menggerbangi sebuah penerimaan pekerja
baru.
Secara sepintas, sistem
penerimaan pekerja yang diawali dengan nilai studi pelamar memang ada baiknya.
Setidaknya para penjaga gawang perusahaan bisa sedikit menerawang kemampuan
calon pekerja dari angka di lembaran ijazah. Namun sangat disayangkan, pada
waktu yang sama pula telah terabaikan tekad, kemampuan nyata, dan cita-cita
seorang anak bangsa. Padahal, tekad dan kemampuan adalah aset yang jauh lebih
berharga.
Paling menyedihkan
lagi, di setiap dibuka lowongan sekaliber PNS, BUMN, Polri/TNI, atau kesempatan
berkerja apa saja yang berupah mapan, selalu diwarnai dengan kecurangan seperti
sogok-menyogok dan prahara pemalsuan ijazah. Apakah bisa dimaklumi dengan
mengingat penyakit negeri kita sendiri? Saat semua perkara mulus pakai uang
tunai.
Sarjana Aspal
Mengingat ijazah ‘asli
tapi palsu’ (Aspal), di Indonesia memang bukanlah persoalan baru. Acapkali
terjadi, dan bahkan sudah menjadi rahasia umum mengenai cara mendapatkannya.
Bila dipandang dari segi budaya, pemilik gelar sarjana memang terkesan hebat.
Bukan hanya lebih mudah dalam memperoleh pekerjaan, tetapi juga seolah menjadi
pengaruh besar terhadap derajat seseorang.
Dalam hal ini, penghargaan
‘lebih’ bagi pemegang ijazah sarjana seakan-akan begitu disanjung baik dalam
keluarga maupun sesama rekan karib. Akan tetapi, sangat jarang dipersoalkan
mengenai pertanggungjawabannya terhadap titel yang diperoleh.
Di Aceh misalnya,
sungguh sangat banyak sekali kampus yang bergelut di bidang komputer dan
perangkatnya. Namun tidak sedikit pula, alumnus dari lembaga pendidikan terkait
yang tidak mampu mengoperasikan komputer dan perangkatnya dengan benar.
Kerapkali malah, masih
ditemukan mahasiswa semester akhir dari jurusan Sistem Informasi atau Manajemen
Informatika yang tidak paham betul, cara menggunakan program sesederhana dalam
rentetan Microsoft. Lantas, bagaimana dengan mereka yang memperoleh ijazahnya
dangan cara kotor? Sangat memprihatikan tentunya.
Tatkala menyinggung
derajat, bahkan di jenjang pernikahan pun membudayakan pandangan ‘lebih’ kepada
mapelai bertitel sarjana. Sebenarnya, apa yang telah terjadi dengan budaya
kita? Bukankah tidak sangat rasional, jika timbul lelucon saat ingin menunaikan
ibadah (nikah) harus menyiapkan berkas ijazah, surat lamaran dan daftar riwayat
hidup.
Pendidikan (tidak) Penting
Indonesia memiliki lebih
dari setengah jumlah pemuda yang mampu bekerja tanpa modal ijazah. Pernyataan
tersebut bisa ditinjau dari kekreatifan serta pengaruh pendidikan di luar
formal. Misalnya dalam bahasa Inggris, kemampuan setelah mengikuti kursus tentu
lebih bisa diandalkan di medan, daripada mata kuliah bahasa Inggris di kampus. Apakah
ada yang menjamin? Semua pemilik nilai A mata kuliah bahasa Inggris mampu
menembus TOEFL di atas angka 500.
Begitu pula dengan
sejumlah pengarang buku ternama di negeri ini, sangat sedikit dari mereka yang
bergelar sarjana sastra atau bahasa di dalamnya. Bukan hanya itu, jika ditinjau
lebih luas lagi, malah rata-rata orang yang mengubah dunia adalah mereka
penyandang drop out dari bangku kuliah dan putus sekolah.
Pendiri perusahaan
Microsoft, Bill Gates yang drop out di tahun pertama kuliahnya. Benjamin
Franklin tidak lulus sekolah tinggi. Ilmuan terkenal, Thomas Alva Edison drop
out di tahun ketiga bersekolah. Bahkan fisikawan selevel Albert Enstien pun
tercatat beberapa kali gagal di dunia pendidikan formal. Lalu, kenapa ijazah
begitu berpengaruh bagi keyalakan hidup?
Sedikit Pengalaman (saya)
Ketika masih duduk di
bangku kuliah, saya sangat mengemari mata kuliah pemograman yang merupakan mata
kuliah utama di jurusan Sistem Informatika. Sedangkan mata kuliah yang paling
saya benci saat itu adalah kalkulus. Namun anehnya, ketika melihat KHS, mata
kuliah pemograman mendapat C sedangkan kalkulus A. Padahal pada mata kuliah
kalkulus, saya tidak mengikuti ujian.
Tentu saja menjadi
pertanyaan, dari mana nilai tersebut saya peroleh. Terakhir diketahui, sebab
saya tidak pernah absen di mata kuliah kalkulus: kecuali di saat ujian. Jika
diingat-ingat, bahkan hingga sekarang ini masih sangat terkenang, setiap mata
kuliah kalkulus saya selalu menghabiskan waktu dengan mendengar musik dan tidur
di ruangan.
Kejadian serupa juga
pernah terjadi di bangku SMA kelas X. Saya menggemari mata pelajaran sejarah
serta sangat membenci mata pelajaran fisika dan kimia. Nyaris sama, mata
pelajaran sejarah mendapat 80, kimia 60, dan fisika 90. Padahal, untuk mata
pelajaran fisika dan kimia, saya sering bolos ke kantin sekolah. Maka sejak
itulah, timbul pertanyaan, seberapa pentingkah pendidikan formal dan ijazahnya
di negeri yang kita cintai ini? []
Penulis adalah Redaktur AcehXPress.com
Penulis adalah Redaktur AcehXPress.com
EmoticonEmoticon