AcehXPress.com | Sering kita melihat karya-karya tangan orang dimuat dalam media-media, lokal maupun nasional. Bahwa kita membacanya karena keingintahuan atau manfaat lain, tidak dinafikan.
Dari membaca, kita setidaknya dapat manfaat untuk perjalanan hidup yang lebih baik. Itu sebabnya kita mau membaca buku, majalah, koran atau apa pun, semua karena penting bagi peradaban manusia.
Setiap hari orang yang berpikir maju akan meluangkan waktunya untuk membaca. Seseorang yang gemar membaca tidak ingin hatinya ketinggalan akan informasi terbaru. Bagi seseorang itu membaca merupakan sebuah penghargaan simbolik bagi dirinya. Tanpa membaca rasanya seperti ada yang kurang. Misalnya mengikuti berita terbaru, kita rela merogoh kocek membeli buku atau langganan koran.
Salah satu di antara mendapatkan informasi masih ada media tv. Namun membaca sebenarnya lebih asyik, mudah, murah sehingga kita memilih untuk berlangganan. Penulis sekaliber top dunia sekalipun tetap membaca. Di mana dan kapan pun membaca. Dengan demikian tidak heran kalau para penulis biasanya mempunyai lemari besar tempat buku-bukunya disimpan, menjadi perpustakaan mini pribadi.
Minat Baca
Keprihatinan bersama bangsa ini adalah masih minimnya minat baca. Kalangan pelajar, dari tingkat dasar sampai menengah atas, bahkan kalangan akademik atau mahasiswa masih sangat kurang minatnya untuk membaca. Padahal, mereka ini sudah langsung bergelut di dunia pendidikan. Artinya minat baca masyarakat Indonesia secara umum masih tergolong kecil. Ironis.
Seharusnya psikologi membaca harus sudah tertanam dalam relung jiwa masyarakat kita sebagai warga negara yang berkembang. Di negara berkembang sepatutnya budaya membaca itu sangat kental bukan sebaliknya. Alasannya sangat rasional bahwa bangsa ini sesegera mungkin harus ke luar dari keterpurukan. Sebagaimana kita lihat sekarang betapa keterpurukan terus menggelinjang-gelinjang menertawakan kemiskinan. Dalam hal ini kita tidak hanya melihat negara maju sebagai negara maju, melainkan perlu kontemplasi mendalam kenapa mereka maju sementara kita terus berkembang.
Menumbuhkan minat baca adalah pekerjaan rumah pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, seperti diuraikan dalam UUD kita. Pemerintah tidak boleh lelah melancarkan kampanye, "Ayo Membaca", setiap hari di mana pun, termasuk daerah tertinggal. Karena modal membaca adalah mendasar bagi perkembangan pemikiran manusia. Jadi, minat baca seyogianya terus disosialisasikan. Lokasi yang paling strategis masih tetap institusi pendidikan.
Untuk itu pembangunan perpustakaan di sekolah-sekolah haruslah sepenuhnya mendapat dukungan dari segenap lapisan masyarakat. Sehingga minat baca pun dapat ditingkatkan secara berkesinambungan. Di sini institusi pendidikan, sekolah-sekolah, ditugaskan supaya konsisten tanpa kenal lelah menularkan minat baca, bahwa minat baca harus digalakkan sejak kanak-kanak, kemudian guru, dan warga ikut menularkan minat baca sampai pedesaan.
Banyak membaca biasanya mampu menulis, salah satu keuntungan dari membaca. Dengan kita semakin banyak membaca, maka semakin mudah pulalah untuk menuangkan ide-ide dalam pikiran menjadi sebuah tulisan. Dengan menulis, eksistensi seseorang akan kian kokoh, mendapat tempat spesial diranah ilmu pengetahuan. Dan lewat tulisan kita akan dibawa ke dunia yang lebih jauh, lebih luas dan dikenal banyak orang.
Semua itu akan kita capai berkat minat baca. Membaca berarti membuka jendela dunia. Ya, benar dengan membaca banyak, tentu akan tahu banyak hal. Dengan demikian semakin cerdaslah kita untuk melihat fenomena dan mengatasinya bila kelak kembali terjadi. Kita pun dibimbing menjadi pribadi-pribadi yang arif dan bijaksana, dan terpenting bermanfaat bagi orang lain.
Bermanfaat bagi orang lain, bukan sekadar jasa yang kita berikan lalu berharap ada balasan. Lebih dari itu, bahwa jika kita bermanfaat bagi orang lain adalah ibadah. Sesuatu yang tidak mudah kita dapatkan mengingat ibadah itu berarti beramal dan menjalin hubungan dengan sang Khalik. Jadi, dengan membaca dan menulis kita mendapat faedah berlipat ganda.
Menjadi Kritis
Setiap orang pasti ingin hidupnya lebih baik. Maka tak heran kalau keinginan itu hendak disanggupi lewat pendidikan, menyekolahkan anaknya setinggi-tingginya. Bukan mitos kalau berpendidikan tinggi itu bisa membuat hidup kita menjadi lebih baik. Memang setiap masa manusia tidak pernah mau berhenti belajar untuk pemenuhan hidupnya. Ini sudah menjadi kebudayaan bagi umat manusia di mana pun. Umpamanya dapat dilihat pada Suku Batak di mana kegigihan orang tua untuk menyekolahkan anaknya setinggi-tingginya, walaupun orang tua makan tak makan. Sebuah perjuangan yang diyakini akan merubah nasib menjadi lebih baik. Artinya pendidikan sudah menjadi semacam pengaduan yang rasional dalam menambah kualitas hidup.
Namun menjadi lebih baik lagi apabila orientasi kebudayaan lama itu kita kritisi. Bahwa pendidikan itu dapat merubah nasib adalah benar. Tetapi bukan sekadar mengikuti sistem dalam pendidikan yang berlaku, bukan hanya sekadar menyelesaikan studi dan memperoleh gelar. Sebagaimana praksisnya selama ini kita lihat bahwa bersekolah dan mengikuti perkuliahan, lalu mendapat ijazah, bekerja, selesai.
Metode ini tidak mengajarkan pendidikan yang sebenarnya, tetapi berorientasi penuh pada pekerjaan. Jadi, pendidikan selama ini berarti sarat mekanisme. Lumrahnya metode pendidikan yang demikian tidak memiliki minat baca yang kuat, apalagi untuk menulis. Makanya kampus-kampus hari ini tidak dapat kita samakan dengan kampus zaman dulu yang dikenal dengan mutunya. Seperti, di era 60-an, 70-an mahasiswa Malaysia belajar di Indonesia. Sekarang, dosen yang mengajar mahasiswa Malaysia waktu dulu pergi berguru ke Malaysia. Di mana jati diri kita?
Itu sebabnya minat baca dan kemampuan menulis itu sendiri akan membawa kita untuk berpikir kritis. Tidak menangkap begitu saja apa yang diajarkan oleh guru, dosen, atau pengajar apa pun namanya. Dengan demikian kita tahu mana yang masih relevan dan menjadi kebutuhan. Sehingga setiap kita yang ingin maju atau merubah nasib tidak berpikir hanya mendapat gelar lalu mendapat pekerjaan yang proporsional.
Sebenarnya kebanyakan pengangguran yang terjadi di Indonesia tidak lepas dari sistem pendidikan kita yang masih memakai metode mekanis. Padahal, lapangan pekerjaan tidak memadai. Lama-lama persekolahan atau perkuliahan akan menjadi blunder tersendiri bagi masyarakat. Bagaimana jadinya jika kita terus menjadi bangsa yang tertinggal dari bangsa-bangsa lain? Tidak ada pilihan, selain akan tetap menjadi budak di negeri sendiri.
Seharusnya kita malu menjadi pengekspor terbesar TKI, bukan malah bangga meskipun katanya menambah devisa bagi negara. Menjual "kebodohan" pada zaman secanggih ini sama sekali tidak relevan. Karena itu kita harus mampu berdiri sendiri tanpa tergantung pada negara lain.
Disiplin Membaca
Di Jepang, ke mana dan di mana saja warganya selalu membaca buku. Dan membaca buku bukan hanya bagi kalangan tertentu. Baik tukang becak, pedagang, pelancong semua selalu membawa buku dan membacanya. Pada waktu lengah disempatkan untuk membaca. Kita memang belum bisa meneladani Jepang, namun setidaknya bisa kita lihat sebagai cermin kehidupan berbangsa yang mapan.
Keinginan untuk menyejahterakan rakyat seperti amanat UUD 1945 hanya dapat teraplikasi melalui pendidikan. Untuk itu akses memperoleh ilmu pengetahuan seyogianya harus dibuka lebar-lebar karena kita ingin menjadi bangsa yang besar. Memperhatikan dan memberikan solusi yang tepat sasar demi menggugah minat baca, hal itu pun menjadi kinerja yang vital disanggupi pemerintah.
Maka, di sinilah perlu kita lahirkan disiplin membaca. Mengubah paradigma lama yang hanya memanfaatkan institusi pendidikan sebagai ajang memperoleh gelar demi pekerjaan menjadi intelektual-intelektual yang siap membuka lapangan pekerjaan. Disiplin membaca menjadi program pokok dalam setiap institusi pendidikan sehingga nantinya para subjek terdidik mampu menganalisa sendiri masalah yang dihadapinya.
Dengan disiplin membaca juga, maka semakin tinggi pulalah keinginan kita untuk menulis sebagai refleksi terhadap masalah yang dihadapi. Kedisiplinan membaca pun kian meningkatkan animo masyarakat untuk berpikir maju tidak lagi dibodoh-bodohi. Alhasil dengan sendirinya kemiskinan yang sudah mengakar dapat teratasi. Itulah yang kita harapkan ke depan dan kita bisa menjadi bangsa yang benar-benar merdeka dari keterpurukan, kebodohan, dan kemiskinan. Sekali lagi, membaca dan menulis itu ibadah. []
Oleh:
CEO & Founder AcehXPress.com
Dari membaca, kita setidaknya dapat manfaat untuk perjalanan hidup yang lebih baik. Itu sebabnya kita mau membaca buku, majalah, koran atau apa pun, semua karena penting bagi peradaban manusia.
Setiap hari orang yang berpikir maju akan meluangkan waktunya untuk membaca. Seseorang yang gemar membaca tidak ingin hatinya ketinggalan akan informasi terbaru. Bagi seseorang itu membaca merupakan sebuah penghargaan simbolik bagi dirinya. Tanpa membaca rasanya seperti ada yang kurang. Misalnya mengikuti berita terbaru, kita rela merogoh kocek membeli buku atau langganan koran.
Salah satu di antara mendapatkan informasi masih ada media tv. Namun membaca sebenarnya lebih asyik, mudah, murah sehingga kita memilih untuk berlangganan. Penulis sekaliber top dunia sekalipun tetap membaca. Di mana dan kapan pun membaca. Dengan demikian tidak heran kalau para penulis biasanya mempunyai lemari besar tempat buku-bukunya disimpan, menjadi perpustakaan mini pribadi.
Minat Baca
Keprihatinan bersama bangsa ini adalah masih minimnya minat baca. Kalangan pelajar, dari tingkat dasar sampai menengah atas, bahkan kalangan akademik atau mahasiswa masih sangat kurang minatnya untuk membaca. Padahal, mereka ini sudah langsung bergelut di dunia pendidikan. Artinya minat baca masyarakat Indonesia secara umum masih tergolong kecil. Ironis.
Seharusnya psikologi membaca harus sudah tertanam dalam relung jiwa masyarakat kita sebagai warga negara yang berkembang. Di negara berkembang sepatutnya budaya membaca itu sangat kental bukan sebaliknya. Alasannya sangat rasional bahwa bangsa ini sesegera mungkin harus ke luar dari keterpurukan. Sebagaimana kita lihat sekarang betapa keterpurukan terus menggelinjang-gelinjang menertawakan kemiskinan. Dalam hal ini kita tidak hanya melihat negara maju sebagai negara maju, melainkan perlu kontemplasi mendalam kenapa mereka maju sementara kita terus berkembang.
Menumbuhkan minat baca adalah pekerjaan rumah pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, seperti diuraikan dalam UUD kita. Pemerintah tidak boleh lelah melancarkan kampanye, "Ayo Membaca", setiap hari di mana pun, termasuk daerah tertinggal. Karena modal membaca adalah mendasar bagi perkembangan pemikiran manusia. Jadi, minat baca seyogianya terus disosialisasikan. Lokasi yang paling strategis masih tetap institusi pendidikan.
Untuk itu pembangunan perpustakaan di sekolah-sekolah haruslah sepenuhnya mendapat dukungan dari segenap lapisan masyarakat. Sehingga minat baca pun dapat ditingkatkan secara berkesinambungan. Di sini institusi pendidikan, sekolah-sekolah, ditugaskan supaya konsisten tanpa kenal lelah menularkan minat baca, bahwa minat baca harus digalakkan sejak kanak-kanak, kemudian guru, dan warga ikut menularkan minat baca sampai pedesaan.
Banyak membaca biasanya mampu menulis, salah satu keuntungan dari membaca. Dengan kita semakin banyak membaca, maka semakin mudah pulalah untuk menuangkan ide-ide dalam pikiran menjadi sebuah tulisan. Dengan menulis, eksistensi seseorang akan kian kokoh, mendapat tempat spesial diranah ilmu pengetahuan. Dan lewat tulisan kita akan dibawa ke dunia yang lebih jauh, lebih luas dan dikenal banyak orang.
Semua itu akan kita capai berkat minat baca. Membaca berarti membuka jendela dunia. Ya, benar dengan membaca banyak, tentu akan tahu banyak hal. Dengan demikian semakin cerdaslah kita untuk melihat fenomena dan mengatasinya bila kelak kembali terjadi. Kita pun dibimbing menjadi pribadi-pribadi yang arif dan bijaksana, dan terpenting bermanfaat bagi orang lain.
Bermanfaat bagi orang lain, bukan sekadar jasa yang kita berikan lalu berharap ada balasan. Lebih dari itu, bahwa jika kita bermanfaat bagi orang lain adalah ibadah. Sesuatu yang tidak mudah kita dapatkan mengingat ibadah itu berarti beramal dan menjalin hubungan dengan sang Khalik. Jadi, dengan membaca dan menulis kita mendapat faedah berlipat ganda.
Menjadi Kritis
Setiap orang pasti ingin hidupnya lebih baik. Maka tak heran kalau keinginan itu hendak disanggupi lewat pendidikan, menyekolahkan anaknya setinggi-tingginya. Bukan mitos kalau berpendidikan tinggi itu bisa membuat hidup kita menjadi lebih baik. Memang setiap masa manusia tidak pernah mau berhenti belajar untuk pemenuhan hidupnya. Ini sudah menjadi kebudayaan bagi umat manusia di mana pun. Umpamanya dapat dilihat pada Suku Batak di mana kegigihan orang tua untuk menyekolahkan anaknya setinggi-tingginya, walaupun orang tua makan tak makan. Sebuah perjuangan yang diyakini akan merubah nasib menjadi lebih baik. Artinya pendidikan sudah menjadi semacam pengaduan yang rasional dalam menambah kualitas hidup.
Namun menjadi lebih baik lagi apabila orientasi kebudayaan lama itu kita kritisi. Bahwa pendidikan itu dapat merubah nasib adalah benar. Tetapi bukan sekadar mengikuti sistem dalam pendidikan yang berlaku, bukan hanya sekadar menyelesaikan studi dan memperoleh gelar. Sebagaimana praksisnya selama ini kita lihat bahwa bersekolah dan mengikuti perkuliahan, lalu mendapat ijazah, bekerja, selesai.
Metode ini tidak mengajarkan pendidikan yang sebenarnya, tetapi berorientasi penuh pada pekerjaan. Jadi, pendidikan selama ini berarti sarat mekanisme. Lumrahnya metode pendidikan yang demikian tidak memiliki minat baca yang kuat, apalagi untuk menulis. Makanya kampus-kampus hari ini tidak dapat kita samakan dengan kampus zaman dulu yang dikenal dengan mutunya. Seperti, di era 60-an, 70-an mahasiswa Malaysia belajar di Indonesia. Sekarang, dosen yang mengajar mahasiswa Malaysia waktu dulu pergi berguru ke Malaysia. Di mana jati diri kita?
Itu sebabnya minat baca dan kemampuan menulis itu sendiri akan membawa kita untuk berpikir kritis. Tidak menangkap begitu saja apa yang diajarkan oleh guru, dosen, atau pengajar apa pun namanya. Dengan demikian kita tahu mana yang masih relevan dan menjadi kebutuhan. Sehingga setiap kita yang ingin maju atau merubah nasib tidak berpikir hanya mendapat gelar lalu mendapat pekerjaan yang proporsional.
Sebenarnya kebanyakan pengangguran yang terjadi di Indonesia tidak lepas dari sistem pendidikan kita yang masih memakai metode mekanis. Padahal, lapangan pekerjaan tidak memadai. Lama-lama persekolahan atau perkuliahan akan menjadi blunder tersendiri bagi masyarakat. Bagaimana jadinya jika kita terus menjadi bangsa yang tertinggal dari bangsa-bangsa lain? Tidak ada pilihan, selain akan tetap menjadi budak di negeri sendiri.
Seharusnya kita malu menjadi pengekspor terbesar TKI, bukan malah bangga meskipun katanya menambah devisa bagi negara. Menjual "kebodohan" pada zaman secanggih ini sama sekali tidak relevan. Karena itu kita harus mampu berdiri sendiri tanpa tergantung pada negara lain.
Disiplin Membaca
Di Jepang, ke mana dan di mana saja warganya selalu membaca buku. Dan membaca buku bukan hanya bagi kalangan tertentu. Baik tukang becak, pedagang, pelancong semua selalu membawa buku dan membacanya. Pada waktu lengah disempatkan untuk membaca. Kita memang belum bisa meneladani Jepang, namun setidaknya bisa kita lihat sebagai cermin kehidupan berbangsa yang mapan.
Keinginan untuk menyejahterakan rakyat seperti amanat UUD 1945 hanya dapat teraplikasi melalui pendidikan. Untuk itu akses memperoleh ilmu pengetahuan seyogianya harus dibuka lebar-lebar karena kita ingin menjadi bangsa yang besar. Memperhatikan dan memberikan solusi yang tepat sasar demi menggugah minat baca, hal itu pun menjadi kinerja yang vital disanggupi pemerintah.
Maka, di sinilah perlu kita lahirkan disiplin membaca. Mengubah paradigma lama yang hanya memanfaatkan institusi pendidikan sebagai ajang memperoleh gelar demi pekerjaan menjadi intelektual-intelektual yang siap membuka lapangan pekerjaan. Disiplin membaca menjadi program pokok dalam setiap institusi pendidikan sehingga nantinya para subjek terdidik mampu menganalisa sendiri masalah yang dihadapinya.
Dengan disiplin membaca juga, maka semakin tinggi pulalah keinginan kita untuk menulis sebagai refleksi terhadap masalah yang dihadapi. Kedisiplinan membaca pun kian meningkatkan animo masyarakat untuk berpikir maju tidak lagi dibodoh-bodohi. Alhasil dengan sendirinya kemiskinan yang sudah mengakar dapat teratasi. Itulah yang kita harapkan ke depan dan kita bisa menjadi bangsa yang benar-benar merdeka dari keterpurukan, kebodohan, dan kemiskinan. Sekali lagi, membaca dan menulis itu ibadah. []
Oleh:
CEO & Founder AcehXPress.com
EmoticonEmoticon