Pemimpin Cengeng di Negeri "Surga" BBM


ilustrasi
Oleh: Fetra Hariandja

AcehXPress.coDALAM dua pekan terakhir bangsa Indonesia dihadapkan dengan pembatasan kuota bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Artinya, sebagian pemilik kendaraan akan mengalami kesulitan mencari BBM jenis premium dan solar di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) pada waktu tertentu. 

Kebijakan pengendalian BBM bersubsidi mutlak diterapkan karena persediaan premium dan solar sangat terbatas. Hingga Juli 2014, persediaan premium tinggal 42 persen dan solar bersubsidi tinggal 40 persen dari kuota tahun ini. Untuk premium diperkirakan habis pada 19 Desember dan solar bersubsidi pada 30 November 2014.

Pembatasan penjualan premium dan solar terpaksa dipilih pemerintah. Sebab jika dibiarkan mengalir seperti biasa, dipastikan Indonesia akan kehabisan dua jenis BBM tersebut pada akhir tahun. Sementara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hanya menyetujui kuota BBM bersubsidi untuk 2014 adalah 46 juta kiloliter, turun dari 48 juta kiloliter di tahun sebelumnya.

Langkah pemerintah memberikan subsidi terhadap dua komoditi BBM tersebut patut diapresiasi. Namun, berbeda pada aplikasinya. Premium dan solar justru dimanfaatkan bagi masyarakat menengah ke atas, khususnya yang memiliki kendaraan roda empat. Tentu kenyataan ini sangat bertolak belakang dengan target pemerintah terkait subsidi.

Idealnya, para pemilik kendaraan roda empat dan dua tidak patut lagi menggunakan premium serta solar. Mereka mampu membeli kendaraan dengan harga ratusan juta Rupiah, namun tetap mengambil jatah atau hak orang tidak mampu. Dengan kata lain, harga seluruh jenis bahan bakar sebaiknya mengikuti pasar dunia.

Selama ini pemerintah tidak berani membeberkan harga sesungguhnya premium dan solar di Indonesia bila tanpa subsidi. Berdasarkan harga minyak mentah dunia, seharusnya seluruh harga premium dengan pertamax hanya Rp300 per liter. Sementara harga rata-rata pertamax di SPBU di kisaran Rp9.200.

Sesuai kebijakan hingga hari ini, pemerintah menjual premium dengan harga Rp6.500 per liter. Sama artinya, para pemilik kendaraan pribadi menikmati subsidi pemerintah sebesar Rp2.700 per liter. Data pemerintah, sekira 70 persen BBM bersubsidi dinikmati kalangan menengah ke atas. Sungguh memilukan bagi masyarakat tidak mampu di negeri ini.

Padahal, subsidi Rp2.700 bisa dialokasikan guna mengangkat derajat ekonomi kaum tidak mampu. Dana tersebut bisa dialokasikan untuk sekolah dan kesehatan bagi masyarakat yang benar-benar masuk kategori tidak mampu.

Lantas apa yang membuat ragu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menunda kenaikan harga premium dan solar hingga tahun depan? Kemudian apa yang menjadi motif presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) yang mengusulkan pemerintah segera menaikkan harga premium dan solar?

Setali tiga uang alias sama saja keduanya. Baik SBY maupun Jokowi sama-sama mencari momentum atau lebih tepat bermain aman. Lagi-lagi citra yang menjadi motivasi keduanya hingga terjadi silang perdapat.

Saat ini bangsa Indonesia harus memiliki presiden dengan nyali besar demi kesejahteraan masyarakat menengah ke bawah. Bumi Pertiwi tidak membutuhkan presiden yang mengedepankan citra yang justru membuat kaum kaya tersenyum atau bahkan terbahak-bahak di atas derita kaum miskin. []


okezone


EmoticonEmoticon