Wajah Pendidikan Aceh

Oleh: Rahmadi M. Ali

Kata orang Tanah Rencong merupakan “Tanah Surga”, tanah yang kaya akan sumber daya alam, kaya dengan hasil cipta karya manusia, daerah modal bahkan diabad kejayaan Aceh masa Kerajaan Kesultanan Iskandar Muda, menurut sejarah, negeri Jiran seperti Malaysia juga menuntut ilmu pengetahuan Agama dan umum serta ilmu budaya ke Aceh. Daerah Aceh juga dikenal dengan sebutan “Serambi Mekkah”.

Dahulunya, Aceh merupakan sentral pendidikan di Asia Tenggara, seiring waktu dan dinamika bangsa yang terjadi, keadaan berbalik 180 derajat. Apa jadinya Aceh hari ini, hanya tinggal kenangan yang hanya didengar dari cerita nenek moyang, bahkan hampir tidak meninggalkan bukti sejarah yang dapat dilihat oleh anak cucu di era ini. Apa yang dibanggakan dari generasi Aceh, apa kontribusi besar kita untuk bangsa dan Agama, apakah hanya bangga dengan daerah Otonomi Khusus yang diberikan oleh Pusat kepada Aceh, atau bangga karena kita dianggap berani melawan dan melakukan pemberontakan terhadap pemerintah dan semua yang mempermainkan Aceh.

Konflik yang berkepanjangan menambah daftar buruknya pendidikan di Tanah Rencong, diperparah dengan musibah gempa dan tsunami seakan dunia pendidikan aceh mati porak poranda. Masyarakat Aceh, Infrastruktur dan fasilitas pendidikan lainnya musnah ditelan oleh gelombang Tsunami yang maha dahsyat pada tanggal 26 Desember 2004 lalu. Aceh menangis yang kedua kalinya setelah konflik antar kelompok yang berkepanjangan.

15 Agustus 2005, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia (RI) membuat kesepakatan perdamaian di Helsinky, Finlandia yang menghasilkan Memorendum of Understanding (MoU), untuk mengakhiri pertikaian yang berkepanjangan di tanah para ulama ini. Diyakini dengan perdamaian ini akan mengembalikan Aceh kepada kondisi dahulu kala sebelum konflik. Walau pada kenyataannya tidak seperti yang diharapkan dan dicita-citakan. Dalam tulisan ini penulis melihat kondisi Aceh pasca damai dalam bidang pendidikan atau pembangunan karakter generasi bangsa sangatlah merosot dibandingkan dengan ketika/sebelum konflik. Apa yang salah dengan pendidikan?

Kini usia perdamaian Aceh sudah melebihi 9 tahun, tapi wajah pendidikan tetap gelap gulita, tidak ada bedanya dengan masa konflik, seakan semua pemangku jabatan di Aceh baik itu Pemerintah, LSM, Partai Politik, Ormas maupun lembaga-lembaga lainnya lebih mementingkan permasalahan politik dan bagi-bagi kekuasaan (jabatan) semata. Padahal jelas secara Yuridis Pemerintah Aceh diberikan kekhususan dalam mengurus dan menata pendidikan ditangan Pemerintah Aceh sendiri. Maka lagi-lagi generasi muda Aceh termarjinalkan demi kepentingan partai dan penguasa ditanah mulia ini. Padahal jelas didalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003, pasal 11 ayat 1 disebutkan: “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terlaksananya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa deskriminasi”.

Didalam UU. No 11Tahun 2006, juga disebutkan bahwa tanggungjawab pendidikan tidak hanya dibebankan kepada Pemerintah Daerah tetapi juga tanggungjawab bersama termasuk kelompok perempuan didalamnya. Namun kenyataannya standar mutu pendidikan sekolah dan Perguruan Tinggi di Aceh masih sangat rendah dan belum mencapai standar kompetensi pendidikan.

Tahun 2014 lalu, ketidaklulusan Ujian Akhir Nasional (UAN) Aceh menempati urutan pertama, ini merupakan tanggungjawab bersama yang harus diselesaikan karena mengingat anggaran daerah yang dianggarkan dalam pelaksanaan kegiatan dibidang pendidikan sangatlah banyak. Walaupun memang UAN tidaklah menjadi ukuran keberhasilan pendidikan karakter setiap peserta didik.

Pengertian pendidikan memang sangat beragam. Tetapi yang jelas tujuan utama pendidikan adalah transformasi ilmu, kecakapan, dan nilai. Pengertian pendidikan yang dijelaskan Hamka Abdul Aziz (2011:72), bahwa pendidikan adalah proses transformasi dialogis antara peserta didik dengan pendidik dalam semua potensi kemanusiaannya sehingga menumbuhkan kesadaran, sikap dan tindakan kritisnya. Lepas dari beragam pengertian, makna pendidikan adalah proses humanisasi (pemanusiaan) manusia.

Dari defenisi diatas, maka dapatlah diukur bagaimana wajah pendidikan di tanah rencong ini, keberhasilan pendidikan dapat diukur dengan moralitas atau akhlak para peserta didik. Secara normatif, Islam sendiri melihat keberhasilan seorang manusia dilihat dari akhlak dan amalnya. Alasannya sangat sederhana, karena akhlak adalah simbol utama kemanusiaan. Ini pula yang menjadi modal utama manusia dalam menjalin komunikasi sosial dan alat kontrol atas capaian intelektual seseorang sehingga pengetahuannya tidak disalahgunakan.

Apa yang salah dengan pendidikan?

Jika melihat kondisi siswa maupun mahasiswa khususnya di Nanggroe Aceh Darussalam (Aceh), sungguh sangat miris dan membuat hati ingin menangis. Beberapa waktu yang lalu, menyebar sebuah video di youtube tingkah laku dua orang siswa sebuah sekolah di Aceh yang tanpa rasa malu memamerkan goyangan yang tidak senonoh ditonton oleh ribuan orang. Tanpa tahu diri mereka mempraktekkan hal-hal yang merusak citra Aceh sebagai daerah serambi mekkah dan merusak wajah pendidikan Aceh dimata dunia.

Lain halnya dengan mahasiswa, tidak lagi peduli dengan alam sekitarnya, tidak peka dengan keadaan sosial masyarakat disekelilingnya, mahasiswa zaman pasca reformasi hanya disibukkan dengan tugas kuliah, hanya menargetkan nilai coumlaude ketika wisuda sarjana, hanya mengandalkan selembar ijizah dan gelar sarjana semata, mereka menganggap bahwa nilai dan selembar ijazah tersebut yang diharapkan oleh ummat dan bangsa ini. Pertanyaannya adalah apakah layak mereka disebut mahasiswa? Jawabnya, Tidak ! mereka tak lebih dari tukang kuliah (tukul)

Lain lagi dengan mahasiswa yang hanya menyibukkan diri dengan kegiatan pacaran, malam mingguan dan ada juga yang asyik melalaikan diri dengan dunia malam, seperti investigasi sebuah media belum lama ini di Kota Lhokseumawe yang notabene pelakunya adalah mahasiswa. Ini menandakan ada yang salah dengan pendidikan kita, kalau hal seperti dibiarkan terus terjadi, lantas mau jadi apa generasi pemimpin bangsa masa mendatang.

Sekiranya moralitas dan karakter peserta didik gagal dibentuk, itu artinya proses pendidikan gagal total. Sebab keselarasan dan harmonika sosial serta dinamika pembangunan tidak akan berjalan baik, bahkan berpotensi gagal karena dikendalikan oleh individu-individu cerdas tapi egois dan hedonis-materialis. Inilah yang sedang menimpa Indonesia saat ini dan menjadi dalih Kemendikbud untuk memprogramkan pendidikan karakter di sekolah (Johansyah, Lintas Gayo).

Jika melihat sebagaian kecil indikator diatas, maka sangat mudah disimpulkan bahwa Aceh masih sangat jauh dari capaian terhadap keberhasilan pendidikan, jangan saling menyalahkan antara pemerintah, akademisi, para pendidik serta rakyat, yang perlu dilakukan adalah sama-sama menyukseskan program pendidikan karakter bagi generasi penerus bangsa ini. Para pendidik juga jangan hanya memikirkan administrasi sertifikasi saja dalam mengajar, namun juga terus menerus mengasah kemampuan peserta didik. Kegagalan siswa dalam belajar tidak hanya kesalahan pada diri anak didik tetapi juga harus ada introspeksi dari pendidik untuk mencari cara bagaimana memahami siswa dalam belajar. Semoga akan lahir generasi emas yang akan membangun Aceh pada masa mendatang. Aminn!


Penulis merupakan Sekretaris Umum Badan Pengelola Latihan (BPL) HMI Cabang Lhokseumawe-Aceh Utara dan Alumni Sekolah Demokrasi Aceh Utara Angkatan-III.


EmoticonEmoticon