Perlawanan Cadas

ilustrasi
oleh: Andi Saputra

Ketika Sekolah, Rumah Sakit dan tempat ibadah kami pun ikut diendapkan datar memeluk bumi, kami hanya dapat berdoa bersama tengadah tangan yang hantarkan jenazah. Di bawah terik mentari, kami hanya bisa berlari membelah kepulan asap hitam. Dalam dekap sejuk malam, kami bentengi diri dengan secarik kain di tenda pengungsian. Kami yang dibesarkan ditengah serakan cadas di tanah ini, hanya memiliki sebuah mimpi, mimpi tentang perlawanan.
Kesucian tanah kami kembali ternodai seperti yang pernah terjadi pada kakakku Syifa pada 2008 silam. Padahal ketika itu usianya baru 14 tahun.
Tengah malam nahas itu, tiba-tiba puluhan serdadu mendobrak pintu dan menghancurkan seisi rumahku, mereka mencari bang Mahmoud yang dituduh sebagai kepala kelompok pengganggu agresi dan pencaplokan wilayah yang tengah gencar dilakukan mereka.
“Bagaimana puteraku bisa diam saja. Kemarin ujung Kampung kami yang kalian gusur. Bisa jadi besok atau lusa, rumah ini pun kalian luluh lantakkan!” teriak ummi.
“Gedebugh!” popor senapan dihantamkan ke tengkuk ummi. Dia terjerembab. Serdadu lain menarik jilbab dan menjambak rambut ummi. Ummi mencoba bangkit sambil menjerit kesakitan. Meski lututku gemetaran, sesuatu dalam hatiku semakin membuncah hendak meluap laksana lava gunung berapi. Aku tak tahan. Kemudian berlari dan memeluk ummi.
“Kami benar-benar tidak tahu dimana bang Mahmoud kini berada,” teriakku.
Karena aku, kak Syifa dan ummi terus menjawab “tidak tahu,” “Baiklah,” ujar serdadu yang menginterogasi kami sambil menyeret kak Syifa masuk ke kamar. Meski terus dipukuli dan ditendang, ummiku terus saja menjerit dan meminta agar kak Syifa dikeluarkan dari kamarnya itu. Aku dan ummi yang terus mendesak, kemudian dikepung dengan suara kokang senapan. Kami terdiam.
Tiba-tiba, “Dor!” suasana menjadi hening. Krasak-krusuk empat serdadu dari dalam kamar terdengar lebih jelas, “ghas, ghus, uk, uk,” seperti suara binatang yang sedang merebut dan meributkan sesuatu. Sesekali kegaduhan itu diselingi lolongan panjang yang mengaduh dan meringis. Mereka keluar tergesa-gesa sambil memapah serdadu tua yang lehernya tertusuk pulpen merah jambu milik kak Syifa. Serdadu tua itu kesakitan. Tangisnya seperti gadis kecil yang kehilangan ibu.
Melihat kak Syifa terbujur penuh senyum, hatiku terenyuh. Tubuhnya dipenuhi luka, ludah dan kencing. Ludah dan kencing yang begitu membekas. Seolah memahat kata dalam hati, “Demi Allah, aku akan membalasnya!” Bekas yang takkan pernah bisa kulupakan hingga aku mati nanti.
Setelah menjadi orang yang dicari oleh serdadu, bang Mahmoud tak pernah pulang, bahkan walau sekadar untuk melihat pemakaman kak Syifa. Dia menghilang seperti angin, tak berjejak.
***
Enam tahun berlalu, bang Mahmoud tak juga pulang. Orang-orang di Kampungku menyebut bang Mahmoud dan kak Syifa sebagai pahlawan. Perdamaian yang dimediasi dunia internasional itu pun akhirnya diperkokoh dengan pagar pemisah oleh para serdadu yang terus membangun pemukiman baru untuk warganya.
Kita memiliki urusan sendiri, biarkan saja para perompak itu dengan urusannya, begitulah nasihat ummiku suatu hari.
***
Selesai salat jumat bulan lalu, aku tak langsung pulang ke rumah. Kuajak beberapa teman untuk menikmati pemandangan taman dan kebun yang sedang berbunga di balik pagar. Banyak kupu-kupu di sana.
Benar saja, setiba kami di dekat pagar, kulihat sekawanan kupu-kupu berterbangan kesana kemari dikejar beberapa anak kecil seusiaku. Mereka terbahak. Berlarian dan memecah kelompok. Menyergap dan kemudian menari-nari di tengah warna-warni sekawanan kupu-kupu itu.
Kami mendekat. Menguak cengkeram kawat pagar yang sempit. Berharap kupu-kupu mau terbang dan menginap di Kampung kami walau untuk satu malam.
“Hei! lihat gadis kecil itu sepertinya melarang kita menguak pagar. Tapi ia juga mengajak kita bermain dengan kupu-kupu,” teriakku setelah melihat seorang gadis kecil melompat-lompat dan melambai-lambaikan tangannya ke arahku.
Kami berbaris dan bersiap untuk menyergap. Di balik pagar, ku lihat gadis kecil itu juga melakukan hal sama. Setelah berbaris, mereka mengejar kupu-kupu ke arah kami. Saat kupu-kupu mendekat, kami berlompatan dan menggoyang-goyang pagar berusaha memberi rasa takut pada sekawanan kupu-kupu itu. Kupu-kupu yang terlihat kebingungan, menikung dan berbalik kembali ke arah perkebunan. Kami pun ikut terbahak. Sorak sorai karena keriangan.
Kami berbaris kembali. Menunggu. Tapi sayang, si gadis kecil dan temannya malah dihalau pulang oleh dua serdadu. Tidak hanya itu, dari jauh, serdadu itu juga menyuruh kami pulang dengan menunjuk-nunjuk moncong senapan kepada kami.
Kami pulang. Kecewa pada serdadu yang hanya tahu cara memusuhi kami.
***
“Anakku, kau harus berhati-hati. Di persimpangan jalan menuju ke kota telah didirikan pos pemeriksaan. Mereka mulai membatasi akses bagi warga Kampung. Tadi saja, mereka telah menangkap delapan lelaki dari Kampung kita,”  pesan ummi padaku.
Hampir saja aku terlelap di atas paha ummi, tiba-tiba, “Bum. Bum. Dor, dor, dor,” setelah dua kali ledakan keras, terdengar sahut-sahutan suara senapan yang membahana. Sesaat kemudian, keadaan kembali hening bersama sejuknya angin malam.
Aku dan ummi malam itu berusaha tidur di bawah bayang-bayang ketakutan. Tak lama kemudian, “Assalamu’alaikum, tok. Tok. Tok.”
Wa’alaikum salam,” sahut ummi sambil menggoyang tubuhku agar ikut bersamanya yang bergegas membukakan pintu. Di luar kulihat puluhan orang bertopeng dengan seragam militer lengkap memenuhi jalan dan lorong-lorong rumah. Tanpa bertanya lagi, ummi memeluk si pemberi salam. Mengajaknya masuk. Ketika ummi ke dapur membuatkannya minum, aku ditinggal bersama lelaki bertopeng itu. Hatiku deg-degan melihat matanya yang terus pandangi wajahku.
“Mahmoud buka saja topengmu agar adikmu kenal, he, he.” Aku terkejut mendengar kata-kata ibu. Sontak airmataku mengalir memandang wajah dibalik topeng yang kemudian disingkap itu.
“Bang, Mahmoud,” ujarku sambil memeluknya erat. Dia hanya tersenyum. Matanya tampak sembab. Ibu kembali dengan kopi panas. Membelai kepala abangku itu.
Setelah saling menanya kabar. Bang Mahmoud berkata tak bisa berlama-lama karena harus menyerang pos di pagar blokade.
“Sia-sia belaka berdamai dengan musuh. Mereka selalu mengkhianati perjanjian damai. Dengan seribu satu cara, mereka akan terus berusaha untuk membunuh dan merampas tanah kita. Karena itu lah kita harus terus memberi perlawanan agar dunia tahu, mereka itu orang-orang yang seperti apa,” ujar bang Mahmoud padaku dan ummi.
“Tapi bang. Bagaimana cara melawan bagi anak seusiaku selain dengan berdoa?”
“Mereka lah yang di dalam Al-Quran dikisahkan sebagai bangsa yang pernah terkutuk menjadi monyet (Qirdun). Dan yang paling ditakuti monyet adalah cadas. Lempari mereka dengan rasa takut mereka sendiri. Rasa takut pada keberanian dan kebenaran yang kerasnya seperti cadas!”
Malam itu, bang Mahmoud memperlihatkan pada dunia bagaimana kerasnya kebenaran perlawanan sebongkah cadas. Lewat terowongan bawah tanah, bang Mahmoud dan kawan-kawannya berhasil meluluh lantakkan pos penjagaan serdadu Israel. Tak seorangpun warga sipil Israel yang mereka sakiti, meski untuk mencapai pos serdadu harus melalui beberapa rumah warga sipil Israel.
Keesokannya puluhan tank dan ratusan serdadu berusaha menyisir Kampung kami mencari penyerang pos. Tapi kami tak takut lagi. Kami bersatu padu dalam sebuah barisan cadas yang menghambat pergerakan serdadu yang hendak menangkap para lelaki dewasa di Kampung kami. Setiap kali serdadu-serdadu itu menembaki kami, maka seratusan cadas juga akan selalu terbang menyerang mereka.
“Tanyakan pada angin dimana mereka. Mereka adalah cadas yang datang dan pergi bersama angin! Jangan bunuh warga sipil untuk menutupi kelemahan dan ketakutan kalian!” teriakku pada serdadu yang merampas ikat kepalaku. Secarik kain yang dititip bang Mahmoud padaku.
Luka robek di dahiku karena terkena popor senapan serdadu tidak lagi memberi rasa takut, tapi membakar semangat perlawanan, perlawanan cadas yang kemudian menggelora ke seluruh pelosok tanah suci Palestina.
Innalillahi wa inna ilaihi raji’un, ucap ummi sambil tersenyum setelah mendapat kabar tentang syahidnya abangku di medan juang, Gaza.[]


Penulis adalah Sekretaris Forum Lingkar Pena Cab. Lhoksukon, dan staf redaksi di AcehXPress.com

Related Posts


EmoticonEmoticon

:)
:(
=(
^_^
:D
=D
=)D
|o|
@@,
;)
:-bd
:-d
:p
:ng
:lv