Oleh :
Datuk Haris Molana
Berbicara
polemik di Negeri ini, tidak akan pernah habisnya kalau dibicarakan. Rasanya semua masalah ada. Salah satu yang sangat ironis dan memilukan
hati tatkala kita melihat seorang manusia dengan tubuh ringkih, amat sangat
kurus, tinggal tulang terbalut kulit akibat mengalami penderitaan gizi buruk.
Tiada lagi
keceriaan di wajahnya, terbaring lemah dengan berbagai penyakit yang menerpa
organ tubuhnya. Lidahnya hanya kelu, ketika segala harapan ingin dia ungkapkan
tentang apa yang sedang ia alami. Namun, Hati kita tambah miris, Ketika
mendengar orang berkomentar saling menyalahkan, bukan mencari solusi masalah
yang dihadapi bangsa ini.
Gizi buruk
Kasus
gizi buruk yang kita saksikan di berbagai wilayah negeri ini seharusnya mampu
membangunkan kita untuk melihat lebih jelas dan lebih jernih. Bahwa manusia
sebagai sumber daya untuk masa depan ternyata mempunyai masalah yang sangat
besar. Disini, semua kita harus bertanggungjawab, mari kita cari solusi, bukan
mempersoalkan siapa yang salah. Gizi buruk adalah suatu keadaan akhir
(terminal) dari suatu proses panjang yang dimulai dari janin di dalam kandungan
ibunya.
Mempersoalkan
keadaan hilir, tanpa mencari solusi keadaan hulunya akan membuat kita saling
melontarkan kesalahan kepada pihak diluar kita. Menurut Standard Pelayanan
Minimal, cakupan deteksi dini tumbuh kembang anak Balita dan pra sekolah adalah
jumlah anak usia 0 – 4 tahun dan 5 – 6 tahun di suatu wilayah kerja yang
dideteksi di puskesmas, rumah sakit, balai pengobatan, rumah bersalin maupun
praktek swasta paling sedikit dua kali. Bila tidak sesuai dengan standar,
seluruh rumah sakit dan sarana pelayanan kesehatan swasta harus melaporkannya
ke Puskesmas setempat dan Dinas Kesehatan.
Siapa Salah
dan Siapa bertanggungjawab?
Kesalahan
yang paling mudah ditujukan tentunya
adalah pemerintah dengan segala perangkatnya. Karena pemerintah disini memiliki andil yang besar
membuat generasi bangsa ini mengalami gizi buruk. Menurut Penulis, jikalau
pemerintah bisa memberikan lapangan pekerjaan yang layak, serta juga pemerintah bisa memberi jangkauan terhadap harga-harga
kebutuhan sehari-hari, Pastinya gizi buruk dapat di atasi.
Namun, menyalahkan
orang lain memang merupakan cara yang paling gampang. Padahal, seharusnya
kita introspeksi mengapa semua ini dapat terjadi dan apa solusi kita agar
memperbaiki segalanya sebelum terlambat. Faktanya, penulis melihat seringkali kondisi gizi buruk diakibatkan oleh
kesalahan gaya hidup dan juga minimnya informasi.
Melihat
program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh berbagai departemen/kementerian di
Indonesia, misalkan Kementerian Kesehatan telah membuat program pemberian
makanan tambahan kepada bayi dan Balita yang mengalami gizi kurang dan gizi
buruk. Belum lagi program berbagai kementerian yang berkaitan dengan
pengentasan kemiskinan, seperti Kementerian Sosial dengan berbagai bantuan
sosial, keluarga harapan. Namun Penulis disini melihat, dengan adanya berbagai
program tersebut, malah menambahkan catatan penderita gizi buruk. Potret Eva
Azria (12) seorang bocah penderita gizi buruk asal Kota Lhokseumawe, Aceh yang
sedang menjadi isu hangat beberapa saat ini baik dimedia cetak maupun
elektronik lainnya pada saat rong-rongan
kemiskinan sedang melanda.
Kita ketahui
bersama, program pemerintah seperti Posyandu yang sejak tahun 1985
digelar di seluruh wilayah republik ini merupakan satu-satunya wadah tempat
masyarakat bisa mengambil manfaat sebaik-baiknya, ternyata tidak disikapi
secara cermat oleh masyarakat, sehingga sampai kini kebanyakan posyandu
dianggap hanya tanggung jawab insan kesehatan di lapangan. Padahal, Posyandu yang telah direvitalisasi dan dimodifikasi,
merupakan unit strategis dalam menemukan kasus gizi kurang secara dini untuk
dapat diantisipasi agar tidak menjadi gizi buruk. Apakah petugas kesehatan
harus ‘door to door’ untuk mencari kasus kurang gizi?
Penanganan gizi buruk di rumah sakit bukan satu-satunya jalan keluar dalam mencegah dan menangani kejadian gizi buruk ini. Apakah ada
jaminan anak yang sudah keluar dari perawatan rumah sakit, tidak akan jatuh ke
kondisi gizi buruk lagi? Tentu saja tidak dapat
dipastikan, kecuali ketersediaan pangan di rumah tangga cukup, dan pengetahuan
orang tua tentang masalah gizi memadai.
Tak hanya
mereka yang ada basic kesehatan, non kesehatan pun semestinya harus bertanggung
jawab seperti halnya unsur masyarakat dan organisasi
setempat, dengan meningkatkan kesadaran pentingnya penimbangan bulanan untuk
mendeteksi kemungkinan adanya gangguan pertumbuhan yang akan menjadi tanda awal
terjadinya masalah gizi.
Bila hal ini dapat dilasanakan
dengan baik, maka gangguan pertumbuhan dapat diatasi lebih dini dan masalah
gizi buruk tidak akan muncul. Harus disadari bahwa anak merupakan calon generasi penerus bangsa, yang
akan menjadi pemimpin-pemimpin bangsa di masa depan. Mungkin karena ketiadaan pangan
di rumah tangga, yang apabila dikaji penyebabnya akan sangat banyak dan tidak
berkaitan dengan sektor kesehatan. Pengerahan sumberdaya sektor kesehatan saja,
hanya akan menjadikan upaya penanggulangan masalah seperti pemadam kebakaran,
bukan mempersiapkan agar tidak terjadi kebakaran.
Memaknai reformasi kesehatan
Rancangan
reformasi kesehatan apa pun akan terpental jika masyarakat abai terhadap
tanggung jawab pribadi atas kesehatan masing-masing. Berdasarkan data pengguna
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), pola penyakit yang menghabiskan dana
pemerintah untuk pengobatan adalah kanker, stroke, dan jantung koroner, terkait
kebiasaan merokok aktif atau pasif. Anak-anak dengan gizi buruk tinggal di
rumah yang dipenuhi kepulan asap rokok.
Reformasi kesehatan yang menempatkan
puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan masyarakat tidak membiarkannya hanya
sebagai tempat pengobatan Pusiing, Keseleo, dan Masuk angin. Lantas
timbul pertanyaan dibenak penulis, apa langkah nyata yang bisa
kita lakukan untuk mereka yang mengalami gizi buruk? Di negeri ini, paradoksnya
memang luar biasa. Sementara di satu sisi banyak anak yang gizi buruk, tapi
tidak sedikit anak yang kelebihan gizi sehingga mengalami obesitas.
Ibu-ibu yang tergolong mampu merasa bangga mengenalkan
anak atau cucunya yang kelebihan gizi. Mereka tidak tahu bahwa anak yang
obesitas terancam hidupnya oleh penyakit degeneratif. Nah, timbul pertanyaan
terkahir dari penulis sebagai kesimpulan. Apa yang akan kita lakukan? Diketahui
bersama ternyata sosialisasi dan promosi kesehatan tidak semudah yang
difikirkan oleh orang-orang yang selama ini jadi pemimpin. Serta yang terakhir kompetensi petugas puskesmas harus bisa diandalkan, tentu
dengan disertai sistem kompensasi layak
berbasis kinerja yang berhasil dicapai.[]
*) penulis adalah, Mahasiswa Hukum pidana Universitas
Malikussaleh (UNIMAL), alumni Basri Daham Journalism Institute
(BJI)/ AJI Lhokseumawe, saat ini aktif di KSM Creative Minority
EmoticonEmoticon