CERPEN: Kolom Pekerjaan

Karya: Aliya Nurlela

Terulang kembali sesuatu yang membuatku bingung dan seolah tak ada ujung. Lagi-lagi aku harus berhadapan dengan kolom-kolom, lembar-lembar, pertanyaan-pertanyaan tentang pekerjaan. Di mana ada yang harus diurus dan dilengkapi, kolom pekerjaan selalu hadir menari-nari. Ketika mengurus KTP, mendaftarkan anak sekolah, dan mengurus tetek-bengek lainnya. Tak tanggung-tanggung, mengurus masuknya anak pada tahun ajaran baru kemarin, ada kolom yang menurutku menggelikan; Berapa penghasilan orangtua pada tiap bulan? Penghasilan ayah berapa dan ibu berapa? Ada juga kolom pertanyaan yang harus diisi, apakah rumahnya berlantai keramik, semen saja, atau tanah? Aku terbahak hingga ke luar air mata sebelum mengisinya.

Bagaimana aku tidak tertawa? Jelas-jelas aku menyekolahkan anak di sana, agar anak kesayanganku itu mendapat pendidikan yang baik. Termasuk bisa bersosialisasi di luar lingkungan sekolah. Tapi dengan kolom-kolom pertanyaan di atas, keningku jadi mengerut. Andai kutulis tak punya rumah, karena memang keadaannya demikian--sebab  aku masih menyewa sebuah rumah di pinggiran Kota Tangerang--yang ditempati bersama istri dan anak tunggalku. Lalu, apakah hak anakku mendapat pendidikan yang layak akan terabaikan? Apakah lantas akan dibuat kelas-kelas tertentu? Kelas yang dibentuk berdasarkan lantai rumah dan jumlah pendapatan bulanan. Bagi orang sepertiku hal ini memang menggelikan dan tak masuk akal.

Entah mengapa, prasangkaku justru melesat pada “tarikan-tarikan” yang akan dihadapi semua murid di kemudian hari. Dari pengalaman para wali murid sebelumnya, ada kasak-kusuk, katanya, jangan sampai mengosongkan kolom pekerjaan dan pendapatan bulanan. Isi saja, meskipun sedikit dibumbui “kira-kira sekian penghasilan saya.” Kata mereka pula, kolom tersebut masih berkaitan erat dengan kolom berikutnya yang akan disodorkan setiap semester, yaitu kolom sumbangan untuk sekolah. Di antaranya untuk membeli bangku dan lainnya. Meskipun tercatat sekolah negeri, bukan berarti bebas dari tarikan sumbangan untuk membeli keperluan sekolah.

Kolom sumbangan itu, bukan kosong tanpa angka. Hingga wali murid bisa menuliskan angka yang dimampuinya. Kolom sumbangan sudah terisi dan terketik rapi. Angka paling rendah Rp150.000 dan terus meningkat dengan kelipatan lima puluh ribu. Nah, di sini persoalan akan muncul. Bagi wali murid yang sebelumnya telah mengisi kolom penghasilan dengan angka di atas UMR, tentu tak akan dibenarkan jika memilih angka sumbangan Rp150.000,- atau Rp200.000,- Wali murid bersangkutan akan diarahkan menandai pada angka sumbangan dua ratus ribu rupiah ke atas. Mengosongkan kolom pekerjaan dan pendapatan di lembar sebelumnya, bukan berarti akan bebas dari tarikan sumbangan. Justru langsung ditetapkan harus menyumbang dengan angka tertinggi. Mungkin sebagai ganti dari pengosongan kolom yang seharusnya diisi.

Aku sendiri, tentu memilih angka sumbangan yang kuinginkan saja. Tidak angka paling rendah, juga tidak paling tinggi. Bisa disebut, angka tengah-tengah, yang rata-rata menjadi pilihan orangtua murid. Padahal, kalau ada kolom kosong tersisa di sana yang bisa diisi sendiri, aku sudah berniat menyumbang di atas angka yang paling tinggi. Bukan sombong atau ingin pamer di depan wali murid lainnya, tapi kebetulan saja aku baru mendapat rezeki dari hasil usahaku. Tapi niat itu terpatahkan, karena angka-angka itu sudah menyeringai lebih dulu, seakan menarikku untuk memilih salah satu dari mereka. Terpaksa kupilih dengan mengucap basmallah terlebih dulu, angka 500 ribu rupiah. Sedangkan uang 700 ribu yang rencana kusumbangkan, harus kembali ke saku celana. Biarlah, sepulang dari mengantarkan kolom pengisian sumbangan itu, kusempatkan mampir di musala sebentar. Masukkan ke kotak infaq atau diserahkan pada muazin yang biasa azan di sana.

Hari itu aku harus pergi ke kelurahan. Semua warga disodori lembaran yang harus diisi, untuk menegaskan bahwa mereka benar-benar penduduk di daerah itu. Aku telah menerima selembar kertas yang berisi kolom-kolom lagi. Tak ketinggalan, kolom pekerjaan pun menuntut harus diisi. Kolom itu kubiarkan kosong, lalu ditumpuk bersama kertas milik warga lainnya, tapi seorang petugas langsung memanggilku.

“Pak Hamzah!” suaranya lantang. Membuat semua orang yang hadir, mengalihkan pandangan spontan ke arahku. Aku menjadi salah tingkah.

“Kolom pekerjaan masih kosong. Pekerjaan Bapak, apa? Biar saya tuliskan.” Lagi-lagi suara petugas itu masih dengan volume yang sama. Tentu saja, aku masih menjadi pusat perhatian. Suasana hening. Semua orang seperti menanti satu kata terucap dari mulutku. Apakah kata itu berupa profesi dokter, sopir, guru, nelayan, tukang kebun dan lainnya. Aku yakin semua penasaran menunggu jawabanku. Maklum penampilanku cukup perlente. Rambut berminyak, rapi dan harum. Sandal yang kupakai adalah sandal kulit asli. Kemeja bermerk, celana bermerk, bahkan jam tangan pun keluaran Swiss. Aku datang ke kelurahan juga tidak jalan kaki, tapi meluncur mulus di atas mobil sedan kesayanganku.

“Wiraswasta.” Akhirnya nama pekerjaan itulah yang kupilih. Lega rasanya, sudah bisa menyebutkan satu nama pekerjaan. Tapi aneh, semua mata masih menatap penasaran ke arahku. Seolah-olah jawabanku tak memuaskan mereka. Termasuk beberapa pasang mata milik tukang becak dan pedagang kaki lima yang biasa mangkal tak jauh dari rumahku. Sebab mereka tahu betul kegiatanku sehari-hari, yaitu di rumah. Tak pernah terlihat menenteng tas ke kantor atau sibuk masuk-keluar rumah mengurus sesuatu. Pintu rumahku setiap pagi selalu terbuka dan aku duduk di ruangan pribadiku yang terlihat jelas dari luar.

“Wiraswasta dalam bidang apa, Pak?” Pertanyaan tak kuduga meluncur dari mulut petugas itu. Aku yang tadi sudah merasa lega, jadi serba salah. Apalagi yang harus kujawab? Kalau tahu seperti ini, lebih baik kuisi saja kolom itu dari tadi. Ini sama halnya ditelanjangi  depan orang banyak. Jelas-jelas aku phobia mengisi kolom pekerjaan, eh sekarang malah disuruh menjelaskan.

Aku berdehem sedikit, untuk mencairkan kegugupan. Tapi jawaban yang tepat, belum juga muncul di benakku. Apakah pantas jika kujawab, “pengelola usaha online?” Wah, bisa-bisa muncul pertanyaan baru lagi dari petugas itu. Bagaimana bentuk usahanya? Cara kerjanya, dll. Apakah itu tidak lebih rumit lagi? Sebab citra usaha online di daerahku belum terlalu bagus. Sebagian pihak masih memandang sebelah mata. Sudah menjadi kesepahaman umum, kalau yang namanya “bekerja” itu adalah berangkat pagi-pulang sore. Meskipun tak terlihat membawa hasil, yang penting keluar setiap hari. Itu sudah dianggap bekerja. Sementara yang duduk di rumah, depan komputer, cenderung dianggap bukan bekerja. Bahkan mendapat julukan sedikit ekstrem; “pengangguran.” Meskipun penghasilan yang didapat lebih tinggi dari pekerja kantoran.

Seperti penghasilanku. Mungkin orang-orang yang hadir di kelurahan tak percaya, jika kusebutkan penghasilanku sebulan antara 9 sampai 10 juta rupiah. Bersih! Kadang-kadang bisa mencapai angka belasan atau puluhan. Dari penghasilanku, sudah bisa mengkredit mobil sedan, yang cicilannya lancar kubayar setiap bulan. Jatah belanja bulanan istriku saja paling sedikit lima juta rupiah. Belum jatah pakaian dan make-upnya. Soal ekonomi, mungkin istriku menjadi wanita terbahagia se-kelurahan. Ingin beli ini-itu, tinggal ambil tanpa melihat harga. Meskipun harga kebutuhan pokok sering melonjak, istriku masih bisa membeli kalung emas yang  melingkar cantik di leher mulusnya. Memang aku belum memiliki rumah pribadi, karena aku masih mencari-cari lahan yang cocok untuk tempat tinggalku. Biarlah, uang untuk membeli rumah kusimpan dulu di tabungan sebuah bank. Sewaktu-waktu jika menemukan lahan cocok, akan segera kuambil dan kubelikan. Gampang!

Itu sebabnya hingga kini, aku masih menyewa rumah. Dari dulu, aku selalu bersikeras untuk mandiri. Kutinggalkan kampung halaman di Tasikmalaya dan menjadi “kontraktor” di pinggiran Kota Tangerang. Alhamdulilah, rumah yang kusewa cukup layak. Bahkan menurutku sangat layak, jika dibanding rumah Pak Brata teman anakku yang sudah punya rumah sendiri. Waktu mengisi kolom pendaftaran anaknya, Pak Brata mengisi dengan menyebutkan memiliki rumah sendiri berlantai semen. Sementara kolom yang kuisi, rumah sewaan. Apa yang didapat Pak Brata? Ia menerima tarikan sumbangan meja dan kursi lebih tinggi dari tarikan yang disodorkan padaku. Tentu saja Pak Brata mengeluh. Nyata-nyata rumahku berlantai keramik, tingkat dua, tiga kamar di lantai bawah dan dua kamar di lantai atas. Ada taman kecil di depan rumah, dan pagar besi dengan model terbaru.

Apa pekerjaanku sebenarnya? Aku sendiri kesulitan menjelaskan. Tapi, baiklah. Aku mencoba bercerita di sini. Sudah sekitar 7 tahun, aku melakoni usaha ini. Tepatnya ketika pertamakali menginjakkan kaki di kota ini, dengan membawa  istri dan anak tunggalku. Sulitnya mencari pekerjaan yang cocok dengan minatku, membuatku bingung tiada ujung. Sementara tuntutan pemenuhan kebutuhan tak bisa ditawar. Aku merenung dan berdoa di malam hari. Berharap ada ilham yang turun tiba-tiba. Benar saja, aku seperti ditunjukkan jalan untuk bekerja sesuai minatku. Yaitu pekerjaan yang bisa kucintai. Setelah berpikir, aku ingat akan hobiku menulis. Sejak kuliah, aku sudah terbiasa menulis dan mengirimnya ke media. Tapi sayang tak terkelola dengan baik. Masih angin-anginan.

Ya, aku mulai pasang kuda-kuda. Membuat perencanaan serapi mungkin. Jika ingin berpenghasilan maka harus kugali potensiku itu, dengan menulis kembali, lalu mengirimnya ke banyak media. Kukumpulkan semua data media, terutama media online. Maklum sekarang ini zaman online. Mulailah aku melihat honor tulisan pada setiap media dan kubuat tabel berdasarkan honor terbesar. Alhasil, aku bisa menentukan target penghasilanku per bulan. Awalnya, aku mentarget 1 juta rupiah per bulan. Itu artinya, aku harus siap mengirim ke 4 media yang berhonor dua ratus lima puluh ribu. Untuk jaga-jaga, ada tulisanku yang ditolak, maka kutarget mengirim 6 hingga tujuh tulisan sebulan. Mulailah aku bekerja, melaksanakan target itu.

Pada bulan itu 3 tulisanku di muat dengan honor yang kudapat seluruhnya Rp800.000,- Alhamdulilah, aku senang sekali. Meskipun belum mencapai target, tapi setidaknya sudah mendekati. Yang penting lagi, aku telah memiliki penghasilan dari pekerjaan yang kucintai. Kalau sudah cinta, berapa pun hasilnya terasa nikmat. Dengan honor pertamaku itu, kuajak anak-istri makan bersama di rumah makan Padang kesukaanku. Mereka pun tersenyum senang.

Sejak itu semangat menulisku semakin menggila. Kubuat target-target yang lebih ekstrem. Mungkin awalnya mustahil. Tapi aku sangat optimis. Niat yang baik, selalu berbuah manis. Dari target 1 juta per bulan, kutingkatkan menjadi 2,3,4 juta dan seterusnya. Dari target 4 tulisan sebulan, kutingkatkan menjadi 8, 12, 16, 20 tulisan dan seterusnya. Hingga, akhirnya aku merasa “gatal” jika tidak menghasilkan tulisan dalam sehari. Alhasil, setiap hari aku mampu membuat dua hingga tiga tulisan berbeda. Mulai puisi, cerpen, resensi buku, ulasan dan lain-lain. Kemampuan menulisku juga semakin terasah. Aku makin tenggelam dalam lautan kata-kata yang kuciptakan sendiri. Perlahan tapi pasti,  namaku sering muncul di banyak media. Honor pun berdatangan memenuhi rekeningku.

Seiring namaku semakin dikenal, banyak media yang mewawancarai terutama melalui email tentang trik dan tips menguasai media dengan tulisan. Anehnya, aku bisa menjelaskan dengan bahasa yang mudah dicerna mereka. Aku sendiri heran. Ternyata satu lagi bakat terpendamku, tergali. Banyak orang mulai menganggapku penulis senior, hingga sedikit disegani oleh media. Tulisanku sudah jarang ditolak. Bahkan setelah lima tahun melakoni usaha ini, tidak pernah ada yang menolak lagi. Justru banyak yang datang padaku, menawarkan untuk menjadi pengasuh salah satu rubrik. Tentu saja tak kusia-siakan. Ini kesempatan, karena masih berkaitan dengan usaha memproduksi tulisan yang kujalani. Hingga, tercatatlah menjadi pengasuh beberapa rubrik di banyak media. Honor pun makin tak terbendung. Hampir setiap hari di rekeningku selalu ada laporan pengiriman baru. Nikmat sekali menjalani pekerjaan ini. Sayang sekali, aku kesulitan menamai jenis pekerjaanku. Meskipun aku bekerja di beberapa media, tapi tak pernah “ngantor.” Bahkan, tak kenal langsung dengan atasan yang setiap bulan menggajiku.

Namun, entah mengapa, hari ini ketika ada pembaharuan Kartu Tanda Penduduk, aku ingin sekali mengisi kolom pekerjaan. Dengan penuh percaya diri, kuisilah kolom itu dengan kata “Penulis.” Ya, aku telah menemukan jenis pekerjaanku. Aku adalah seorang PENULIS. Meskipun Pak Brata dan beberapa tetangga menatapku dengan tatapan aneh penuh tanya, tak masalah lagi bagiku. Yang penting aku senang dan bangga dengan pekerjaanku.

Malang, 17 Juli 2013


*) Aliya Nurlela, Pegiat Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia yang lahir di Ciamis, Jawa Barat. Saat ini berdomisili di dua kota, Malang dan Kediri. Sudah menerbitkan beberapa buku fiksi dan nonfiksi. 


EmoticonEmoticon