ilustrasi |
Ada hal utama yang membuat kedua negara lebih unggul dalam ekspor busana muslim. Keduanya sudah lebih dahulu menjadi negara penerima pesanan desain dan merek dari sejumlah negara pemesan.
Sementara Indonesia, pemain baru yang lebih berupaya bukan menjadi negara eksportir pesanan namun menjadi negara penghasil merek dan desain sendiri.
"Meskipun unggul dibanding Indonesia, jeleknya dari pola yang dilakukan dua negara itu kan keuntungan yang lebih besar didapatkan, ditambah pemilik merek yang notabene belum tentu orang dari negara asalnya," kata Taruna Kusmayadi selaku Ketua Asosiasi Pengusaha dan Perancang Mode Indonesia (APPMI) di Jakarta, kemarin.
"Sementara dua negara ini hanya bisa menyediakan tenaga, konsekuesniya kalau harga ongkos tenaga naik maka bisa aja merek ini pindah ke negara lain."
Agar produk Tanah Air lebih unggul, Taruna menyebut, Indonesia harus bisa membangun merek sendiri dan membesarkannya. Jadi bukan sekadar menjual tenaga.
Namun untuk mencapai target ini, tidak dapat dipungkiri jika para pelaku usaha yang rata-rata berada dalam skala kecil dan menengah, menghadapi kendala seperti salah satunya tidak adanya pusat distribusi.
"Untuk menjembatani pelaku usaha sebaiknya kita punya psat distribusi seperti yang pernah saya temui di Tiongkok. Di sana, seorang desainer bisa dengan mudah membeli keperluan mulai dari renda, label, hingga gantugan bagu dengan harga grosir. Sementara kalau disini produknya rata-rata dijual satuan dengan harga retail kan pengaruh ke ongkos produksi," pungkasnya.
Menurutnya, harga produksi yang mahal tentu dapat berpengaruh pada harga pemasaaran yang lebih mahal. Sementara ekspr dari industri fesyen sebagai ilustradi dari total 220 ribu anggota APPMI nilainya tidak sampai USD 1 miliar sehingga tidak terlalu berpengaruh secara siginifkan terhadap neraca ekspor negara. [dream]
EmoticonEmoticon