RASA-RASANYA seperti tidak percaya. Sangat aku kenal
sosok Bang Lem yang idealis, semenjak kami masih berjuang di bangku kuliah
dulu. Begitu aktif dengan berbagai kegiatan organisasi mahasiswa. Mulai dari
BEM, ikatan mahasiswa daerah asalnya, hingga tidak pernah absen setiap aksi
kemanusiaan. Suaranya selalu bergema nyaring di barisan paling depan. Apalagi
saat memegang kendali sebagai orator.
“Negeri ini
butuh revolusi! Benah segala aspek! Bersihkan korupsi!” begitu kata-kata yang
aku ingat, saat pertama kali bertemu dengannya.
Sangat hebat. Semenjak
itu pula aku langsung bersahabat dekat dengannya. Dia benar-benar sosok yang
begitu peduli terhadap negeri ini. Jiwa nasionalismenya begitu kokoh untuk
disandingkan dengan para aktivis manapun. Aku sangat yakin akan hal itu, di saat
pertama kali bertemu dengannya. Ya, ketika aku masih berstatus mahasiswa tentunya.
Beberapa bulan
lalu, semua tentangnya berubah. Aku cukup merasakan kejanggalan itu. Entah
mengapa, aku memang benar-benar tidak yakin dirinya bisa begitu mudah
dibohongi. Salah satu partai politik yang cukup terkenal rakus dan tamak,
memintanya untuk mengisi kadidat mereka di Pemilu April lalu.
“Man, kau tahu
apa? Aku diminta untuk naik jadi Caleg oleh partai Haram. Katanya, mereka ingin
membahas lebih lanjut nanti malam di hotel,” ucap Bang Lem padaku saat pertama
kali partai itu menghubunginya.
“Wah, Abang
terima tawaran itu? Hati-hati, Bang. Mereka sangat haus dengan uang. Bisa-bisa
Abang cuma dijadiin tumbal oleh mereka,” kataku tanpa mengurangi rasa segan.
“Maksudmu bagaimana? Sejauh ini, belum aku katakan iya atau tidak. Maka kau juga harus ikut bersamaku nanti malam. Setidaknya, ada kau jika nanti mereka macam-macam,” Bang Lem langsung ingin aku mengerti, mengapa ia mengabarkan itu padaku.
“Maksudmu bagaimana? Sejauh ini, belum aku katakan iya atau tidak. Maka kau juga harus ikut bersamaku nanti malam. Setidaknya, ada kau jika nanti mereka macam-macam,” Bang Lem langsung ingin aku mengerti, mengapa ia mengabarkan itu padaku.
“Ya sudah, kalau
begitu. Biar aku yang menjadi supir Abang. Terpenting, Abang harus hati-hati
saja kalau sudah menyangkut masalah politik. Ini sudah tidak sama dengan
seperti masa-masa di kampus dulu. Kita bisa berteriak anti ini, kemudian itu,
dan semua masih bisa kita kuatkan dengan idealis. Kalau sekarang, kadang uang
bisa bikin kita silap mata, Bang,” ujarku panjang lebar. Sedikitnya bisa
mengingatkan Bang Lem yang hampir meninjak usia 40 tahun itu.
“Ah, kau! Seperti
baru kenal saja kita. Idealis itu tetap tumbuh hingga sekarang. Aku masih cukup
benci dengan koruptor, apalagi hukum yang mudah dibeli pakai kredit.
Keinginanku untuk membenah negara ini juga masih kuat berdiri,” balas Bang Lem
yang mengingatkanku ke masa-masa menjadi aktivis mahasiswa dulu.
Di depan kantor
DPRD, aku dan ratusan massa dari berbagai universitas melakukan aksi mogok
makan. Bang Lem sendiri yang memimpin kami waktu itu. Lidahnya pula yang tidak
berhenti-henti berorasi, dari pagi hingga menjelang magrib. Ya, waktu itu kami
menuntut agar koruptor disamakan hukumannya dengan teroris, yaitu eksekusi
mati.
***
Seperti yang
dijanjikan oleh partai yang mengundang Bang Lem, kami pun sudah ditunggu di
salah satu ruangan. Dingin, sepi, dan yang menunggu kami hanya satu orang. Benar-benar
tidak aku sangka, untuk membujuk Bang Lem saja mereka menghabis biaya yang
pasti sangat mahal untuk satu ruangan di hotel ini.
“Selamat datang
Pak Salem, saya Mahmud dari partai Haram,” sapa utusan partai memperkenalkan
diri, begitu kami masuk ke ruangan mewah itu.
Bang Lem awalnya
tidak menjawab apa-apa, selain senyum sambil menoleh ke arahku. Ya, aku pun
hampir garuk-garuk kepala sebab tidak paham. Benar-benar pertemuan yang
menurutku sama sekali tidak penting.
“Sudah, langsung
saja. Saya tidak suka terlalu formal begini,” Bang Lem angkat suara.
Mahmud si utusan
partai itu pun tanpa berlama-lama lagi, langsung ke topik pembahasan. Panjang
lebar dia menjelaskan, tetap saja aku bisa menangkap keganjalan di dalamnya.
Kata ‘rupiah’ berulang-ulangkali disebutnya. Tentu saja aku paham, nominalnya
juga tidak ada yang di bawah ratusan juta. Miliar, triliun, oh, aku tidak
pernah berniat angka segitu mengisi rekeningku.
Begitu juga
dengan Bang Lem. Aku tahu dia pasti lebih paham maksud dari semua perbincangan.
Mukanya tampak memerah, dengan senyum yang menurutku terkesan dipaksa. Tapi
anehnya, Bang Lem setuju menjadi bagian dari mereka. Tangan mereka berjabat,
nama Bang Lem didaftarkan sebagai Caleg dari kader partai Haram. Setengah tidak
percaya, aku pun ingin memaki Bang Lem di situ juga. Namun aku tunggu hingga
masuk dalam mobil.
“Bang, maksud
Abang apa?” tanyaku bernada kecewa.
“Maksud apa?
Bukankah ini salah satu manfaat dari kita aktif di organisasi semasa kuliah
dulu? Tenang saja, kita sama-sama di sini. Kita akan sama-sama membangun bangsa
ini untuk yang lebih baik. Biarpun atasnamaku, tetapi kau tetap akan berjuang
di dalamnya,” sahutnya tenang, dan tentu saja hampir membuatku terasa dilempari
bara api.
“Tidak! Sama
sekali aku tidak tertarik! Yang ingin aku perjuangkan sekarang ini, melepaskan
Abang dari jeratan mereka!” ucapku yang sudah mulai emosi.
“Man! Jangan
berpikir aku tergiur dengan jumlah uang yang disebut tadi. Demi Tuhan! Aku
menganggap ini kesempantan kita untuk membenah bangsa ini,” Bang Lem
mengutarakan isi hatinya.
Sebenarnya pun,
aku tahu dia niatnya tulus untuk memperjuangkan nasib negeri ini. Namun yang
membuatku tidak habis pikir, mengapa Bang Lem percaya pada partai yang
jelas-jelas tidak pernah berpihak pada kemauannya itu. Maka demi menjaga
hubungan kami yang seperti saudara kandung, aku pun enggan memperpanjang
persoalaan ini.
***
Tidak lama
setelah itu, nama dan foto-foto Bang Lem terpajang di seluruh pelosok. Mulai
kota hingga desa, hampir tidak ada tiang listrik yang memamerkan senyum
khasnya. Begitu juga dengan baliho raksasa iklan rokok, semua sudah terganti
dengan wajah Bang Lem dan lambang partai Haram. Entah berapa biaya yang
dikeluarkan, sampai-sampai setiap surat kabar nasional dan radio pun ikut mengkampanyekan
dia. Jelasnya aku tahu, tanah dan sawah warisannya juga sudah dijual untuk
kepentingan tersebut.
Dalam kehidupan
rumah tangga, Bang Lem dulunya begitu super menjadi suami. Setiap akhir pekan, seolah
dia dan istrinya adalah pengantin baru. Pasti selalu saja ada tempat yang
mereka kunjungi berdua. Namun semenjak memasuki masa kampanye, ibarat padi siap
panen yang mendadak diterjang banjir bandang. Istrinya berkali-kali mengeluh
soal ekonomi. Meskipun keluarga Bang Lem belum dikaruniai anak, kebutuhan
mereka seakan dikuras oleh pesta Pemilu. Habis. Malah pernah saat aku datang ke
rumahnya, tidak aku temukan sebutir beras pun.
“Bang, bagaimana
keadaan Abang?” tanyaku suatu kali.
“Aku benar-benar
sudah berharap. Semua harta sudah aku taruhkan ke sana,” jawabnya dengan suara
datar.
“Lalu?” sambungku.
“Sudah, jangan
tanyakan lagi. Kita doakan saja,” sahut istri Bang Lem yang sudah sangat
mengerti dengan keadaan rumah tangga dan suaminya.
Aku kembali
memilih diam. Menunggu-nunggu hingga hari penyoblosan tiba. Tepat 9 April lalu.
Jujur, aku memang ikut memilih Bang Lem dan partai Haram. Namun nahas, dari
perolehan suara sementara saja, Bang Lem dan partainya tidak menyentuh angka 2
persen pun. Semenjak itu pula, aku kehilangan kerabat seperjuangan terbaikku.
Rumahnya kosong, tapi terus saja dikunjungi penagih utang. Sempat aku datangi
kantor partainya, tetapi keadaan tidak jauh beda. Nihil. []
Penulis adalah Redaktur AcehXPress.com
EmoticonEmoticon