Partai Haram Bang Lem

ilustrasi
Karya: Nazri Z. Syah Nazar

RASA-RASANYA seperti tidak percaya. Sangat aku kenal sosok Bang Lem yang idealis, semenjak kami masih berjuang di bangku kuliah dulu. Begitu aktif dengan berbagai kegiatan organisasi mahasiswa. Mulai dari BEM, ikatan mahasiswa daerah asalnya, hingga tidak pernah absen setiap aksi kemanusiaan. Suaranya selalu bergema nyaring di barisan paling depan. Apalagi saat memegang kendali sebagai orator.

“Negeri ini butuh revolusi! Benah segala aspek! Bersihkan korupsi!” begitu kata-kata yang aku ingat, saat pertama kali bertemu dengannya.

Sangat hebat. Semenjak itu pula aku langsung bersahabat dekat dengannya. Dia benar-benar sosok yang begitu peduli terhadap negeri ini. Jiwa nasionalismenya begitu kokoh untuk disandingkan dengan para aktivis manapun. Aku sangat yakin akan hal itu, di saat pertama kali bertemu dengannya. Ya, ketika aku masih berstatus mahasiswa tentunya.

Beberapa bulan lalu, semua tentangnya berubah. Aku cukup merasakan kejanggalan itu. Entah mengapa, aku memang benar-benar tidak yakin dirinya bisa begitu mudah dibohongi. Salah satu partai politik yang cukup terkenal rakus dan tamak, memintanya untuk mengisi kadidat mereka di Pemilu April lalu.

“Man, kau tahu apa? Aku diminta untuk naik jadi Caleg oleh partai Haram. Katanya, mereka ingin membahas lebih lanjut nanti malam di hotel,” ucap Bang Lem padaku saat pertama kali partai itu menghubunginya.

“Wah, Abang terima tawaran itu? Hati-hati, Bang. Mereka sangat haus dengan uang. Bisa-bisa Abang cuma dijadiin tumbal oleh mereka,” kataku tanpa mengurangi rasa segan.
“Maksudmu bagaimana? Sejauh ini, belum aku katakan iya atau tidak. Maka kau juga harus ikut bersamaku nanti malam. Setidaknya, ada kau jika nanti mereka macam-macam,” Bang Lem langsung ingin aku mengerti, mengapa ia mengabarkan itu padaku.

“Ya sudah, kalau begitu. Biar aku yang menjadi supir Abang. Terpenting, Abang harus hati-hati saja kalau sudah menyangkut masalah politik. Ini sudah tidak sama dengan seperti masa-masa di kampus dulu. Kita bisa berteriak anti ini, kemudian itu, dan semua masih bisa kita kuatkan dengan idealis. Kalau sekarang, kadang uang bisa bikin kita silap mata, Bang,” ujarku panjang lebar. Sedikitnya bisa mengingatkan Bang Lem yang hampir meninjak usia 40 tahun itu.

“Ah, kau! Seperti baru kenal saja kita. Idealis itu tetap tumbuh hingga sekarang. Aku masih cukup benci dengan koruptor, apalagi hukum yang mudah dibeli pakai kredit. Keinginanku untuk membenah negara ini juga masih kuat berdiri,” balas Bang Lem yang mengingatkanku ke masa-masa menjadi aktivis mahasiswa dulu.

Di depan kantor DPRD, aku dan ratusan massa dari berbagai universitas melakukan aksi mogok makan. Bang Lem sendiri yang memimpin kami waktu itu. Lidahnya pula yang tidak berhenti-henti berorasi, dari pagi hingga menjelang magrib. Ya, waktu itu kami menuntut agar koruptor disamakan hukumannya dengan teroris, yaitu eksekusi mati.
***

Seperti yang dijanjikan oleh partai yang mengundang Bang Lem, kami pun sudah ditunggu di salah satu ruangan. Dingin, sepi, dan yang menunggu kami hanya satu orang. Benar-benar tidak aku sangka, untuk membujuk Bang Lem saja mereka menghabis biaya yang pasti sangat mahal untuk satu ruangan di hotel ini.

“Selamat datang Pak Salem, saya Mahmud dari partai Haram,” sapa utusan partai memperkenalkan diri, begitu kami masuk ke ruangan mewah itu.

Bang Lem awalnya tidak menjawab apa-apa, selain senyum sambil menoleh ke arahku. Ya, aku pun hampir garuk-garuk kepala sebab tidak paham. Benar-benar pertemuan yang menurutku sama sekali tidak penting.

“Sudah, langsung saja. Saya tidak suka terlalu formal begini,” Bang Lem angkat suara.
Mahmud si utusan partai itu pun tanpa berlama-lama lagi, langsung ke topik pembahasan. Panjang lebar dia menjelaskan, tetap saja aku bisa menangkap keganjalan di dalamnya. Kata ‘rupiah’ berulang-ulangkali disebutnya. Tentu saja aku paham, nominalnya juga tidak ada yang di bawah ratusan juta. Miliar, triliun, oh, aku tidak pernah berniat angka segitu mengisi rekeningku.

Begitu juga dengan Bang Lem. Aku tahu dia pasti lebih paham maksud dari semua perbincangan. Mukanya tampak memerah, dengan senyum yang menurutku terkesan dipaksa. Tapi anehnya, Bang Lem setuju menjadi bagian dari mereka. Tangan mereka berjabat, nama Bang Lem didaftarkan sebagai Caleg dari kader partai Haram. Setengah tidak percaya, aku pun ingin memaki Bang Lem di situ juga. Namun aku tunggu hingga masuk dalam mobil.

“Bang, maksud Abang apa?” tanyaku bernada kecewa.

“Maksud apa? Bukankah ini salah satu manfaat dari kita aktif di organisasi semasa kuliah dulu? Tenang saja, kita sama-sama di sini. Kita akan sama-sama membangun bangsa ini untuk yang lebih baik. Biarpun atasnamaku, tetapi kau tetap akan berjuang di dalamnya,” sahutnya tenang, dan tentu saja hampir membuatku terasa dilempari bara api.

“Tidak! Sama sekali aku tidak tertarik! Yang ingin aku perjuangkan sekarang ini, melepaskan Abang dari jeratan mereka!” ucapku yang sudah mulai emosi.

“Man! Jangan berpikir aku tergiur dengan jumlah uang yang disebut tadi. Demi Tuhan! Aku menganggap ini kesempantan kita untuk membenah bangsa ini,” Bang Lem mengutarakan isi hatinya.

Sebenarnya pun, aku tahu dia niatnya tulus untuk memperjuangkan nasib negeri ini. Namun yang membuatku tidak habis pikir, mengapa Bang Lem percaya pada partai yang jelas-jelas tidak pernah berpihak pada kemauannya itu. Maka demi menjaga hubungan kami yang seperti saudara kandung, aku pun enggan memperpanjang persoalaan ini.
***

Tidak lama setelah itu, nama dan foto-foto Bang Lem terpajang di seluruh pelosok. Mulai kota hingga desa, hampir tidak ada tiang listrik yang memamerkan senyum khasnya. Begitu juga dengan baliho raksasa iklan rokok, semua sudah terganti dengan wajah Bang Lem dan lambang partai Haram. Entah berapa biaya yang dikeluarkan, sampai-sampai setiap surat kabar nasional dan radio pun ikut mengkampanyekan dia. Jelasnya aku tahu, tanah dan sawah warisannya juga sudah dijual untuk kepentingan tersebut.

Dalam kehidupan rumah tangga, Bang Lem dulunya begitu super menjadi suami. Setiap akhir pekan, seolah dia dan istrinya adalah pengantin baru. Pasti selalu saja ada tempat yang mereka kunjungi berdua. Namun semenjak memasuki masa kampanye, ibarat padi siap panen yang mendadak diterjang banjir bandang. Istrinya berkali-kali mengeluh soal ekonomi. Meskipun keluarga Bang Lem belum dikaruniai anak, kebutuhan mereka seakan dikuras oleh pesta Pemilu. Habis. Malah pernah saat aku datang ke rumahnya, tidak aku temukan sebutir beras pun.

“Bang, bagaimana keadaan Abang?” tanyaku suatu kali.

“Aku benar-benar sudah berharap. Semua harta sudah aku taruhkan ke sana,” jawabnya dengan suara datar.

“Lalu?” sambungku.

“Sudah, jangan tanyakan lagi. Kita doakan saja,” sahut istri Bang Lem yang sudah sangat mengerti dengan keadaan rumah tangga dan suaminya.

Aku kembali memilih diam. Menunggu-nunggu hingga hari penyoblosan tiba. Tepat 9 April lalu. Jujur, aku memang ikut memilih Bang Lem dan partai Haram. Namun nahas, dari perolehan suara sementara saja, Bang Lem dan partainya tidak menyentuh angka 2 persen pun. Semenjak itu pula, aku kehilangan kerabat seperjuangan terbaikku. Rumahnya kosong, tapi terus saja dikunjungi penagih utang. Sempat aku datangi kantor partainya, tetapi keadaan tidak jauh beda. Nihil. []

Penulis adalah Redaktur AcehXPress.com


Related Posts


EmoticonEmoticon

:)
:(
=(
^_^
:D
=D
=)D
|o|
@@,
;)
:-bd
:-d
:p
:ng
:lv