Karya: Andi Saputra
Hawa sejuk bersama desir angin selepas
hujan seakan menikam belulangku. Tapi demi kekasih rahasia baruku, ku tetap
tegar susuri sepinya malam mencari rezeki. Untuk mendapatkannya utuh, rasanya,
apapun siap kulakukan.
Seperti telah memiliki dua tangan, aku
benar-benar merasa telah sempurna sebagai seorang lelaki. Dibunuh pun aku
takkan pernah merelakan salah satunya pergi dan menghilang. Aku yakin pada
hatiku sendiri, cinta di dalamnya tidak hanya untuk satu hati. Karena itu,
untuk sementara waktu aku harus merahasiakannya dari isteriku bernama Fitri yang
sedang sakit-sakitan. Hingga waktunya tiba, dia pasti akan mengerti kenapa aku
mencintai selain dirinya.
Malam itu aku benar-benar harus menjelma
bak Rama yang menjaga Shinta. Fitri tak boleh curiga padaku. Dia harus tetap
yakin kalau cintaku takkan pernah terbagi, meski kutahu saat itu, sudah tak mungkin
lagi kutahan hatiku untuk tidak mencintai selain dirinya.
Setibanya aku di rumah, Fitri yang belum
tidur membukakan pintu untukku. Setelah menuangkan segelas air hangat, dia
memeluk erat tubuhku, hatiku tergetar, tubuhku pun ikut lemas karena merasa
bersalah padanya. Tiba-tiba aku teringat pada peristiwa pada tanggal 23 Desember
2013 di rumah Pahlawanan Nasional Cut Mutia. Hari itu, setelah membaca sejarah
singkat tentang Cut Mutia bersama suaminya ketika berperang melawan penjajah
Belanda, otakku seperti terbius. Seiring detak jarum jam yang bergerak maju, hayalku pun kian
meninggi. Cut Mutia yang perempuan saja
setianya bisa seperti itu, aku tidak boleh kalah dari perempuan! Tekatku
dalam hati.
Entah kenapa, kalau di depan Fitri, tanpa
sengaja aku sering melakukan hal konyol seperti mengupil dan buang angin.
Bahkan beberapa kali aku malah tergesa-gesa dan ceroboh, sudah bensin motor sering kritis di tengah
jalan, dompet sering tertinggal pula. Di depannya, tingkahku benar-benar
seperti akting Mr. Bean. Dan yang paling kusesalkan adalah penegasanku padanya bahwa
cintaku hanya untuk dirinya dihadapan beberapa temanku dan seorang sepupunya di
rumah Cut Mutia itu. Aku menyesal karena tidak mungkin mengatakan padanya, “Dulu,
aku mengatakannya tanpa sengaja,” seperti alasanku pada setiap tindakan ceroboh
dan konyol lainnya, “Tidak sengaja.”
Tapi, kalau kupikir-pikir, aku bingung
juga. Bagaimana pula aku tidak ceroboh ketika di rumah Cut Mutia, saat kutanya
sambil bercanda, “Apakah alasan kau mau menikah denganku karena aku PNS? He.
He.”
“Tidak, Bang. Sungguh. Aku mencintaimu
apa adanya sejak kau masih berjualan di kios pak Sulaiman,” ujarnya setengah
berbisik dengan mata berkaca-kaca. Sebelum yang lain melihatnya bersedih,
dengan gerakan cepat kusapu airmatanya sambil berbisik, “Iya, abang tahu. Abang
cuma bercanda,” disambut tertawaan khasnya. “Abang selalu buat jantung adek kayak
mau copot,” ujarnya sembari memukul-mukul bahuku.
Hari itu, kuakui telah berbuat salah
besar padanya. Apa urusan pertanyaan seperti itu kutanyakan padanya, walau
sekadar untuk bercanda. Padahal, kami serombongan ke rumah Cut Mutia untuk
melakukan pengambilan photo aku dan Fitri selepas ijab Kabul di KUA Lhoksukon. Aku
makin merasa bersalah ketika mendapat jawaban yang masih sama dengan jawabannya
dua tahun lalu di rumah sepupunya yang sedang mengadakan kenduri pesta
perkawinan.
Tanyaku waktu itu, “Apakah alasan kau
mencintaiku karena sekarang aku sudah punya kios sendiri?”
“Tidak, Bang. Aku mencintaimu apa
adanya. Bahkan saat kau masih berjualan di kios pak Sulaiman. Kau selalu buatku
tertawa dan bahagia. Karena kau polos, aku pun tidak perlu curiga kalau sikapmu
itu cuma sandiwara,” ujarnya setengah berbisik dengan mata berbinar.
Karena kalau kupikir-pikir lagi, apa
yang dikatakan Fitri itu benar sekali. Aku tidak pernah memberinya hadiah,
bahkan sepeser uang pun. Dia juga tidak pernah memintanya padaku. Dua tahun
kami berhubungan jarak jauh, yang mampu kuberikan hanyalah cinta dan kesetiaan.
Ketika kami beristirahat di warung di depan rumah Cut Mutia, aku berujar penuh
percaya diri, “Biar orang ini tahu, bahwa contoh lain seperti setianya Cut
Mutia pada suaminya adalah cintaku pada Fitri. Cinta yang takkan pernah terbagi
sampai mati,” disambut gelak tawa seluruh teman-temanku yang mengatai itu
sebagai lelucon terbaik bulan itu yang pernah mereka ketahui. Tapi tidak bagi
Fitri, ia terus memandangiku dengan wajah serius dan senyum penuh keyakinan.
***
Setelah melepas pelukannya, dia tak
langsung beranjak dari sampingku. Tubuhnya terus bersandar di atas tubuhku.
Keningnya mengerut menahan rasa sakit. Melihatnya, tubuhku sekan membatu.
Jangankan untuk memapahnya ke kamar, berkata-kata saja aku tak mampu. Bahuku
sembab oleh airmatanya.
“Bang, bawa aku ke kamar.” Pintanya seolah
mengaliri listrik dalam uratku. Aku tergerak. Berjalan perlahan memapahnya ke
kamar. Seolah pikiranku terkepung seribu pertanyaan tentang rasa, cinta dan
setia. Dari arah lain pikiranku juga diserang oleh tanya soal kesempurnaan
sebagai lelaki untuk memiliki lebih dari satu cinta. Jujur, aku benar-benar
bingung.
Setelah membantunya berbaring, “Bang,
aku tak bisa tidur. Pinggangku teramat sakit. Bagaimana kalau uang yang abang
dapatkan malam ini kupakai untuk berobat?” Mendengar pertanyaan isteriku itu,
sejenak membuatku tercenung dan semakin bingung. Aku tak tahu harus menjawab
apa. Aku hanya bisa mengangguk merelakan uang yang sebenarnya untuk calon kekasih
baruku itu dipakai Fitri.
“Apakah kau masih mencintaiku seperti
dulu? Padahal kau tahu, meskipun PNS, sisa gajiku bahkan tak cukup untuk biaya
berobatmu,” tanyaku pada Fitri.
“Masih, Bang. Aku mencintaimu apa adanya,
seperti ketika kau masih berjualan di kios pak Sulaiman. Kau adalah lelaki yang
bisa setia untuk adik dan orang tuamu, makanya aku tak percaya kalau kau tak
setia padaku.” Lagi-lagi hatiku tergetar hebat. Jiwaku seolah terguncang oleh
jawabannya yang tidak pernah berubah dalam keadaan yang sesulit apapun. Tapi
aku tetap bingung, Bagaimana aku
menyambut kekasih baruku tanpa sepeser pun uang? Tanyaku dalam hati. Lelah
dan beban pikiran yang kurasa sangat berat membuat kepalaku pusing dan segera
ingin diistirahatkan. Tak lama setelah memajam mata, akupun tertidur bersama
hatiku yang mulai terbelah dua.
***
“Bang!
Bangun. Bangun, Bang. Hikss… Hikss,” Fitri membuatku terkejut dan panik.
“Katamu
tadi, kita akan ke tukang urut besok pagi?” tanyaku setelah memerhatikan jam di
Hpku yang menunjukkan pukul 2 malam.
“Aku cuma mau bilang kalau aku mau pergi
berobat sama ibu. Aku benar-benar sudah tak tahan lagi, Bang. Hikss… Hikss…”
Dengan langkah cepat, aku bergegas ke
ruang tengah untuk menghidupkan motor.
“Cepat
ambil tas perbekalan. Kami akan berobat ke rumah Bu Martini di Meunasah Rambot.
Apa kamu enggak ikut?” mendengar kata-kata ibu mertuaku, jantungku berdetak
lebih kencang. Aku berlari ke kamar untuk mengganti pakaian. Seperti yang telah
dijanjikan Bu Martini padaku, kekasih baruku akan tiba di sana antara akhir
September dan minggu pertama oktober. Ke
rumah bu Martini, pas kali, pikirku.
Setelah memakaikan jaket pada Fitri, dengan
sangat hati-hati, aku memboncengnya ke rumah bu Martini. Agar tidak terjatuh,
dia memelukku dengan sangat erat. Kepalanya disandarkan ke bahuku. Sepanjang
jalan dia terus merintih dan memanggilku, “Abang… sakit… sakit…”
Setiba di sana, seolah tahu niatku yang
lain, Fitri tak mau aku berpisah darinya. Di pembaringan, tangannya genggam
kuat tanganku. Sakitnya memuncak malam itu. Meski telah dua kantung infuse habis, sakitnya tidak juga
berkurang.
Allahu
Akbar… seiring suara azan subuh
mengumandang. Jeritan Fitri terdengar lebih keras. Sesekali ia merintih dan
menyerah lemas. Pahaku yang ditindih kepalanya mulai kesemutan. Setiap kali keringat di dahi dan airmatanya
mengucur, kusapu dengan telapak tanganku sendiri. Aku benar-benar berusaha
meyakinkan dia kalau cintaku hanya untuknya, meski bu Martini pernah berjanji
padaku bahwa kekasih rahasiaku akan tiba di rumahnya itu.
Wajah Fitri semakin pucat. Sejak pukul
dua berada di pembaringan di rumah bu Martini, dia belum juga menunjukkan
perkembangan positif. Malah kondisinya semakin melemah.
“Arghh… Argh…” Fitri terus melawan rasa
sakitnya. Dia tetap tak mau menyerah meski harus mempertaruhkan nyawanya
sendiri. Tak terasa airmataku menitik. Bibirku mulai bergetar seakan hendak
menangis. Subhanallah, isteriku
benar-benar pahlawan, aku membatin.
Shallallahu
‘ala Muhammad…salawat seusai
salat subuh di Mesjid dan Meunasah seolah mengiringi tibanya kekasih baruku.
Hatiku berdegub kencang.
Setelah mendengar kekasih baruku itu
tiba dan menyapa dunia, “Alhamdulillah…” ucapku sambil melafal dalam hati, Allahu akbar…Allahu akbar…Allahu akbar,
sembari kembali menitikkan airmata bahagia. Akhirnya Fitri pun menoleh
kearahku, mengangguk pelan membenarkan cintaku terbagi antara dia dan anak
pertama kami, perempuan. Kaysha Aziza.
Fitri lagi-lagi membuatku ceroboh.
Karena berulangkali didesak olehnya, aku menjawab, “Baiklah, cintaku akan
kubagi rata antara Fitri Wahyuni dan Kaysha Aziza.”
Allahummarzuqna
waladan saliha. Amin...[]
Penulis adalah staf redaksi AcehXPress.com
EmoticonEmoticon