Karya: Mega Yudia
AcehXPress.com | TETES-tetes embun memburamkan kaca di jendela kamarku. Pagi teduh telah mendarat tepat di kedua kelopak mataku. Lingkaran 10 cm di kejauhan mulai mengepakkan cahaya dan memecah kelabu di wajah langit dengan semburat warna-warna menggoda. Hari ini, rencanaku akan bergeser 60 derajat sebab aku telah membuat janji dengan seorang pendengar setiaku dalam acara request lagu-lagu di Boss FM. Sebenarnya aku malas meladeni lelaki yang terlalu bernafsu memburu nomor handphone-ku ini. Tapi, karena katanya dia mengenalku dan ada hal penting yang ingin dikatakannya padaku maka tak ada salahnya jika aku memberikannya sedikit ruang untuk masuk.
Siang ini, setelah melakukan semua tugas harianku, aku meninggalkan rumah dengan sepeda motorku. Sisa tugas rumah sudah kuserahkan kepada pembantu dan kukatakan padanya kalau aku akan pulang sore ini sebab aku tidak ada shiff hari ini. Rencananya kami akan bertemu di sebuah kafe tidak lebih tepatnya tempat ngopi. Kopi Cangkir.
Debu vulkanik gunung Sinabung ternyata sudah melanda kota Medan. Dengan segera kusinggahkan diri membeli masker di sebuah apotik terdekat. Aku memang paling anti dengan sakit dan penyakit. Itu sebabnya motto hidupku tak pernah jauh dari "lebih baik miskin tapi sehat daripada kaya tapi sakit-sakitan".
"Mau pesan apa, Mbak?" Seorang pelayan telah berdiri di dekat mejaku.
"Cappucino satu, ya."
"Itu saja, Mbak?"
Aku mengangguk pelan.
"Baik. Tunggu sebentar ya, Mbak. Terima kasih."
Lima menit kemudian, cappucino hangat telah tersaji di hadapanku. Kerongkonganku terasa nikmat setelah meneguk sekali minuman itu. Setidaknya rasa kering di mulutku telah terbayar lantaran debu di jalanan tadi.
Lama sekali orang yang kutunggu itu datang. Inilah pekerjaan yang sangat membosankan. Menunggu. Akh, rasanya lebih baik aku siaran, menyapa para pendengarku dan memutar lagu request-an mereka ketimbang menunggu sesorang yang tak jelas kehadiran dan tujuannya.
"Maaf, sudah lama menunggu ya?"
Kualihkan pandanganku dari handphone. Sontak aku terkejut melihat siapa yang berdiri di hadapanku saat ini dalam balutan jaket biru tua. Reza Andinata. Dia terlihat lebih tampan tanpa kacamata tebal yang sering dipakainya dulu saat SMA.
Sekejap kejadian dua tahun yang lalu berputar di kepalaku. Piringan hitam yang memuat memori itu masih belum punah rupanya. Aku mendesah dalam hati.
Amarah perlahan bangkit dari jiwaku yang paling dalam. Kenapa aku bertemu dia lagi? Padahal aku sudah bertekad untuk membawanya jauh dalam kenangan itu. Lelaki yang hanya bisa berkutat dengan pelajaran di balik kacamata tebalnya.
Aku telah bersiap-siap untuk melangkah pergi tapi dia dengan cepat memegang tanganku. Aku ingin berteriak agar lelaki itu mau melepaskan tanganku. Tapi, aku sadar kalau aku hanya akan mengundang pandangan aneh dan bahan tertawaan para pengunjung.
"Melisa, tunggu! Aku hanya ingin menjelaskan sesuatu padamu."
"Apa? Apa lagi yang perlu dijelaskan? Semua sudah berakhir."
Aku mencoba menahan emosiku dan mengikuti kemauannya untuk duduk kembali di kursiku.
"Waktu itu aku benar-benar takut, Sa. Di pikiranku hanya ada keinginan untuk lari. Aku tidak punya keahlian apa pun untuk melindungimu. Aku memang bodoh, Sa. Aku memang lelaki tidak berguna. Aku minta maaf."
"Nggak ada yang perlu dimaafkan." Aku bersikap acuh tak acuh. "Masa lalu hanya akan menjadi masa lalu."
"Ya, aku tahu. Kamu marah, Sa. Memang aku salah. Sejak kejadian itu, mengapa kamu menghilang? Aku mencarimu tapi baru hari ini aku menemukanmu. Waktu itu, kamu tidak apa-apa kan, Sa? Mereka tidak menyakitimu kan?"
Kenangan dua tahun lalu begitu mencuat dan memancing darahku mendidih. Kini, pagar pembatas yang telah kubangun telah hancur, lebur. Semua amis hidupku kembali menukik hingga ke ubun-ubun.
"Kedatanganku ke sini untuk menebus semua kesalahanku, Sa. Dan, aku juga ingin segera melamarmu menjadi pendamping hidupku. Aku masih mencintaimu, Sa. Dan, aku juga tahu kalau kamu juga masih menyiman perasaan yang sama."
"Cukup!" Teriakanku membuat hampir seluruh pengunjung mengarahkan pandangannya padaku. "Jangan pernah lagi bawa masa lalu itu dalam hidupku.
Jangan pernah lagi menyatakan cinta karena aku kini sudah menikah."
Tarr. Seketika kata-kata itu keluar begitu cepat. Aku tidak tahu apakah perkataanku itu telah menjadi bumerang baginya. Tapi, aku rasa itu tidak sepadan dengan apa yang telah dilakukannya dulu. Dengan segera, kubayar cappucino hangat yang kupesan dan aku segera melangkah pergi meninggalkan dia dengan wajah tertunduk sedih.
"Melisa…!"
Aku tak memedulikan lagi panggilan Reza di belakangku. Kuhidupkan sepeda motorku dan segera aku berlalu dari tempat itu.
Hatiku hancur. Sungguh benar-benar hancur. Kalau saja aku tahu Reza yang akan kutemui hari ini, aku takan pernah datang ke tempat ini. Tapi, akh… Air mataku perlahan mengucur. Kurasakan hangat yang begitu dalam membasahi wajahku.
"Serahkan uang kalian!" Sebuah suara mengejutkan kami. Ternyata dua pria kekar telah berdiri sambil mengarahkan pisau mereka masing-masing ke arah kami.
"Cepat!"
Aku dan Reza mau tak mau harus menyerahkan barang berharga yang kami punya.
"Kau!" Seorang perampok itu menunjuk ke arah Reza. "Ngapain lagi berdiri di situ? Kau mau kutebas lehermu?"
Reza pergi menyelamatkan diri dengan kesempatan itu sementara aku masih gemetaran di tempatku berdiri hingga akhirnya tangan-tangan mereka melakukan hal yang menghancurkan masa depanku. Kedua pria kekar itu telah merampas kesucianku.
Aku putus sekolah. Keinginanku menjadi seorang dokter gagal total. Semua sudah hancur sebab di rahimku telah tertanam benih kedua lelaki keparat itu. Ayah memaksaku menikah dengan laki-laki yang tempramental yang bersedia menerima kehamilanku. Lelaki yang tak lebih baik dari kedua penjahat itu. Sebab baru lima bulan usia pernikahan kami, dia menghilang dan membawa sebagian harta warisan yang diberikan Ayah padaku.
Dengan susah payah, aku membesarkan anakku seorang diri. Membangun usaha makanan dengan sisa uang yang kupunya. Akh, betapa perih bila aku mengingat perjuagan itu.
Mataku berasa pedih. Akh, aku hampir saja menabrak pengendara sepeda motor di depanku. Dalam hati, aku bertekad untuk tidak mengingat lagi hal itu dan pertemuan hari ini. Meski ternyata hingga kini cintaku masih lekat pada lelaki bejaket biru tua yang kutemui hari ini. Reza Andinata. [medanbisnis]
Mega Yudia, Lahir di Rantauprapat, 30 Maret. Kuliah di jurusan Teknik Industri, USU. Hingga saat ini masih menyimpan buku kumpulan cerpen yang ditulis sejak kelas dua SMP. Nekad mengirimkan karyanya pertama kali pada tahun 2010. Karya-karyanya dimuat di Analisa, Waspada dan MedanBisnis.
EmoticonEmoticon