Karya: Miftahul Jannah
Sore yang indah di kaki langit berwarna jingga, senja memerah menandakan sinar mentari akan tergantikan oleh indahnya bulan. Sore itu di bawah pohon akasia seperti biasa seorang gadis duduk termenung, tatapan matanya kosong, entah apa yang dipikirkannya. Dia gadis tercantik yang pernah aku liat, gadis cantik bermata coklat. seorang gadis yang ku beri nama Askia Aurora.
Askia
Aurora adalah salah satu pasienku di Panti Rehabilitasi ini, Panti tempat
penampungan para pecandu drugs, setiap kali ketika aku menatap matanya ada
keteduhan di sana. Keteduhan yang belum pernah aku dapatkan dari tatapan
manapun. Ada keanehan dalam tatapan itu, teduh tapi menyakitkan. Sepertinya dia
menyimpan banyak duka, mungkin duka itulah yang telah mengantarkannya ke Panti
ini, tapi ini hanya dugaanku saja.
Sore
itu adalah sore terakhir dia di Panti ini, aku mencoba mendekatinya berbicara
dan menatap matanya, aku mencoba pancingkan berjuta tanya tentang hidupnya,
hidup seorang pecandu drugs. Saat itu aku menjadi pria terhebat, memang aku tak
pernah jatuh cinta, tapi kali ini cinta itu benar-benar menjadi milikku,
mengapa tidak?! Dari kisah hidupnya aku belajar tentang cinta, cinta sejati
adalah cinta tak bersyarat, cinta sejati tak pernah mengikat, tapi membuat kita
mengikatkan diri pada cinta itu.
Bermula
dari dari sebuah perkenalan yang ia ceritakan padaku.
“Tiga tahun yang lalu ketika aku baru masuk ke sebuah SMA favorit
di kotaku, aku menjadi gadis yang sangat beruntung, aku lulus SMP dengan nilai
yang memuaskan, dan aku dipilih menjadi salah satu penghuni kelas Akselerasi di
SMA itu, tapi semua itu nggak berlangsung lama karena perkenalan itu,
perkenalan yang menjadikan aku seorang pencandu drugs, perkenalan yang akhirnya
menorehkan aib di keluargaku. Aku memang lulus SMA dengan nilai yang lumayan,
walaupun nggak sebagus dengan nilai
kelulusan waktu aku masih SMP dulu, tetapi semua itu nggak ada artinya, aku
dibenci oleh semua anggota keluargaku tak terkecuali kedua orang tuaku, ini
semua gara-gara Irfan, Irfan Pramana”, begitulah Askia bercerita.
Dalam hitungan
detik tubuhku terhuyung aku tersentak kaget, nama yang dia sebutkan adalah
namaku, tapi apa hubunganku dengan semua ini, apa salahku, sehingga dia menjadi
pencandu seperti ini. Apa yang telah aku lakukan padanya? Sebelum sempat aku
menjawab pertanyaanku sendiri, sebuah suara memanggilku “Irfan” dia memanggil
namaku dengan begitu lembut, aku menoleh dan menatapnya, selalu dan selalu ada
keteduhan di sana.
“Apa salahku
Askia? Apa yang telah aku lakukan padamu, sehingga aku menjadi penyebab semua
ini?” . Dia tak menjawab apa-apa, Askia hanya menoleh kearahku, tapi akhirnya
dia berkata, “ Irfan kamu gak salah, salahku karena aku telah mengenalmu
diam-diam, aku mencintaimu tanpa menggunakan akal, aku hanya mengandalakan
nafsuku tanpa berfikir karena apa aku mencintaimu, tapi sekarang aku sadar,
cinta memang tak harus memiliki, seharusnya aku tak berharap kamu mengenal dan
membalas cintaku, cukup bagiku mencintamu saja, cinta sejati seharusnya tak
bersyarat, tapi saat itu aku salah memaknai cinta, sehingga aku menjadi gila
karena cinta dan drugs menjadi tempat pelarianku, maafkan aku”. Setelah berkata
demikian dia pamit padaku, dia menjabat erat tanganku dan berkata sekarang kamu
sahabatku Irfan.
***
Kejadian
setahun tahun yang lalu masih teringat jelas dalam memoriku, kejadian yang
menjadikan aku jatuh cinta padanya, jatuh cinta pada pada seorang gadis yang
bernama Askia Aurora. Hari ini aku menerima sebuah kiriman darinya, sebuah
diary berbentuk hati dan aku belum tahu apa isinya. Perlahan aku membuka diary
itu membaca tiap lembaran dengan air mata. Kisah yang tertulis di sini kisah
tentang diriku yang tak pernah mengenalnya, kisah tentang diriku yang tak
pernah membalas senyuman dan cintanya, kisah tentang diriku yang jauh lebih tua
darinya. Tapi ada yang yang lebih menarik lagi dari semua itu, itu adalah
tentang dirinya setelah dia kembali dari Panti.
Agustus, 2013
Hari ini aku
kembali ke rumah, tetapi nggak ada seorang pun keluarga yang menerimaku,
kecuali hanya satu, ibu,,,
Teriris hatiku dengan kenyataan ini, ternyata ibu masih
menerimaku. Menerima seorang anak yang telah banyak menyakitinya, aku
menyakitinya dari pagi sampai malam dari ujung kaki sampai ujung rambut, tetapi
cinta itu tak pernah lekang darinya.
Ibu ... Maafkan aku
Sore itu
ketika kakiku melangkah memasuki halaman rumah orang tuaku, hanya tatapan sinis
yang aku terima, aku hina dimata mereka, aku lebih hina dari sampah. “ untuk
apa kamu kembali? Apa kamu mau menorehkan aib lagi di muka kami? Apa kamu belum
puas dengan apa yang kamu lakukan?!” Abangku berkata padaku dengan nada marah
dan sinis. “aku ingin kembali menata hidupku, aku ingin melanjutkan mimpiku,
aku ingin kembali kepada bapak dan ibu, aku ingin kembali menjadi anak mereka
dan aku ingin kembali menjadi seorang adik, adik yang abang sayangi, apa itu
salah?”. Setelah aku berkata demikian abangku lansung pergi aku tahu ia marah. Tetapi aku tetap memandangnya
berharap ada maaf untukku, perlahan aku mendekati bapak, aku menjabat
tangannya, aku mencium kakinya, tetapi bapak menghardik dan memukulku, kata-kata
terakhir yang keluar dari mulutnya, “Pergi dari rumahku!”.
Saat itu
harapanku hanya satu, ibu. Wanita tua yang berdiri jauh dariku datang
menghampiriku, menghapus air mataku dan membelai aku dengan kasih sayangnya.
Untuk sesaat aku hanyut dalam buaiannya sambil menangis dibahunya. “Ibu aku
datang memohon ampunan darimu maafkan aku karena aku pernah mengecewakan ibu,
maafkan aku Bu,” aku berkata pada ibu. “ Anakku ibu memaafkanmu, ibu
mencintaimu ibu menyayangimu, kamu harus membuktikan kata-katamu tadi, jadilah
anak yang baik yang berbakti dan tahu diri, tahu bahwa kamu adalah perempuan.
Anakku kamu harus tahu cinta ibu padamu tak akan pernah habis, takkan lekang
oleh waktu, inilah cinta yang sebenarnya, cinta ibu tak pernah bersyarat ibu
akan selalu menerimamu kapanpun”. Aku tak dapat lagi membendung air mataku,
sesaat aku terdiam, dalam hati aku berkata “ aku telah memahami cinta tak bersyarat
itu ibu, tetapi pada hakikatnya aku tak pernah tahu bagaimana aku harus
membalas cinta ibu, karena aku pernah mengecewakan ibu, sekarang aku mencintai
ibu, bapak, abang dan irfan tanpa syarat apapun”.
***
Aku
tak sanggup lagi membaca diary Askia, terlalu mellow dan terlalu sedih. Walaupun sedih banyak hal yang
telah aku pelajari lewat tulisan tangan seorang gadis bermata coklat. Sekarang
aku tak dapat memungkiri semua ini, aku turut andil dalam semua kisah yang ada
dalam diary ini, karena aku adalah Irfan Pramana. Aku menutup buku itu aku
berharap ada sesuatu yang bisa aku banggakan setelah ini. Ketika aku hendak
menyimpan diary itu ada sesuatu yang terjatuh, selembar kertas yang diatasnya
bertuliskan namaku.
“ Dear Irfan
Pramana ”
“ Irfan
diary ini aku titipkan padamu, aku pergi Irfan untuk mengejar mimpiku, untuk
membahagiakan orang tuaku, aku akan buktikan aku bisa, bisa menghapus semua
kesalahan yang telah aku lakukan, aku akan mengembalikan harga diri yang pernah
aku buang dulu, aku akan buktikan pada bapak, ibu, abang dan padamu Irfan aku
adalah askia Aurora. Jika aku kembali aku akan mengambil kembali diary itu.
Terima kasih kamu telah merawatku ketika di Panti itu.
Setelah lima tahun berlalu baru sekarang aku dapat
meneruskan ke Perguruan Tinggi. Setelah mendapatkan maaf dari Bapak dan
Abangku, sekarang aku akan buktikan bahwa aku telah berubah”.
Aku melipat kertas itu dan ku
letakkan kembali ke tempat semula. Aku menyelipkan kembali kertas itu ke dalam
diary berbentuk hati.
Kini
aku membayangkan keteduhan itu keteduhan dalam tatapannya, tatapan yang
menjadikan aku tahu banyak hal, tetapi keteduhan itu sudah pergi bersama dengan
jiwa yang teguh. Askia aku menunggumu di sini, cinta memang tak harus memiliki.
Terimakasih engkau telah mengajarkan tentang cinta tak bersyarat itu, cinta
yang mengajarkan aku tentang kedewasaan. Kamu memang seorang gadis yang sangat istimewa,
gadis cantik bermata coklat. []
Miftahul Jannah merupakan Penulis lepas, alumni Politeknik Negeri Lhokseumawe 2014.
EmoticonEmoticon