Laman Dailymail, Minggu 5 Oktober 2014 melansir, jurnalis berusia 43 tahun tersebut diyakini menjadi satu-satunya sandera asal Inggris yang masih tersisa. Dokumen pengadilan itu diperoleh berdasarkan kesaksian seorang warga Belgia, Jejoen Bontinck, yang semula adalah bagian dari ISIS. Namun, dia memilih untuk keluar dari kelompok pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi.
Alhasil dia ikut dibui bersama sandera ISIS lainnya, termasuk Cantlie dan James Foley pada periode antara Agustus dan September 2013. ISIS juga menudingnya melakukan tindakan spionase. Bontinck bisa bebas, karena ayahnya berangkat ke Suriah dan bernegosiasi dengan kelompok itu.
Namun, begitu kembali ke Belgia, Bontinck ditahan oleh polisi karena dianggap bagian dari kelompok ISIS yang merekrut pengikut baru di negara itu. Bontinck menjelaskan "Pinokio" merupakan salah satu penjaga yang menyiksa Cantlie dan Foley.
"Dia berasal dari Inggris dan memiliki kulit gelap. Dia berasal dari Pakistan atau Bengali," kata Bontinck ketika diwawancarai polisi.
Warga Belgia, Jejoen Bontinck, sempat diculik ISIS bersama James Foley dan John Cantlie (Foto: Reuters)
Dia menambahkan, selama ditahan, Cantlie, disiksa dengan berbagai cara, mulai dari menyetrum dengan listrik, memukul dengan benda tumpul, dan membenamkan kepalanya di air atau waterboarding. Belum cukup, Cantlie dibiarkan tidak tidur selama tiga hari berturut-turut.
Selain disiksa oleh "Pinokio", jurnalis asal Surrey itu, juga disiksa oleh anggota ISIS lainnya yang dijuluki "tukang daging" dan asistennya.
Anggota ISIS lainnya yang kerap menyiksa, lanjut Bontinck, disebut Cantlie dan Foley sebagai Abu Horeia atau "bagus sekali". Alasannya, kata Bontinck, usai dia melihat seseorang disiksa, maka dia akan mengatakan "bagus sekali".
Selama ditahan pun, kata Bontinck, para sandera tidak memperoleh makanan yang baik. Mereka disekap dalam sel yang sempit dan diberi air minum kotor.
Kedua jurnalis itu, kata Bontinck, dipindah selama beberap kali dan disiksa. Padahal, di saat bersamaan, mereka hampir tidak diberi makan. Pada akhirnya, kedua jurnalis itu diserahkan ke kelompok ISIS lainnya di kota Raqqa, di mana anggota ISIS yang dijuluki "John The Beatles" bermarkas.
Dia menjelaskan komplek penjara ISIS berada di samping sebuah pengadilan Syariah, di kota Aleppo. Sementara lokasi untuk menahan sandera merupakan ruangan biasa.
"Dindingnya berwarna cokelat pucat, begitu juga lantai dan atapnya. Ada matras, tikar dan beberapa buku. Saya kira panjang ruangan itu sekitar empat meter dan lebarnya delapan meter. Ada listrik dan lampu. Jendela hanya sedikit dibiarkan terbuka," papar Bontinck.
Semua sandera, lanjut Bontinck, harus makan di dalam sel. Selain ke toilet, semua sandera harus ada di dalam sel.
"Namun, dibandingkan tahanan lainnya, kami masih diperlakukan dengan sangat baik," kata dia.
Tukar Alamat
Para sandera menghabiskan waktu dengan bermain tebak-tebakan hewan atau tumbuhan. Sementara, selama disekap, antar para sandera, tumbuh benih persahabatan. Mereka mulai bertukar alamat.
"Pembicaraan kami seputar masa kini dan masa depan. James Foley sebaiknya menikah dan seperti itu. Kami juga membicarakan apa yang ingin saya lakukan dengan hidup saya. Saya katakan saya ingin melakukan sesuatu yang terkait permainan komputer," kata Bontinck bercerita.
Dia mengatakan Foley dulu sempat bekerja sebagai orang yang mengujicoba permainan untuk Sega. Sel di sana, kata dia, semula dijaga oleh pria asal Belanda yang mampu berbicara dalam Bahasa Arab, Abu Hobeida. Pria itu, ujar Bontinck, tinggi dan kurus.
"Saya tidak tahu bagaimana dia bisa meraih posisi penting itu. Dia memiliki dua istri dan tiga anak. Anak tertua berusia tujuh tahun. Mereka juga berada di Suriah," kata dia.
Namun, kini pria itu dilaporkan telah dieksekusi ISIS karena dituduh menjadi mata-mata. Selain napi negara-negara barat, sel itu juga diisi oleh para pejuang Kurdi (PKK). Nasib para pejuang Kurdi ini pun tidak lebih baik.
"Kadang kami mendengar ada sebuah tembakan atau beberapa kali tembakan. Kami menduga ini merupakan eksekusi," kata dia. [viva]
EmoticonEmoticon