DPR Terlampau Gaduh, Kapan Kerjanya?

"One of the reasons people hate politics is that truth is rarely a politician's objective. Election and power are."
--Cal Thomas (Jurnalis, 1942-...)



XPresiana DPR gaduh kembali. Kian bising. Setelah pemilihan pimpinan DPR yang berlangsung riuh, pemilihan perangkat kelengkapan lainnya tak kalah ramai—dua buah meja yang tak bersalah digulingkan. Komisi-komisi dikuasai salah satu barisan. Muncullah DPR tandingan.

Dengan pentas politik di parlemen yang riuh rendah seperti itu, mau dibawa kemana institusi DPR? Apa sebenarnya yang dicari para anggota DPR? Saling unjuk gigi untuk menunjukkan siapa yang paling kuat?

Belum lama berselang, mereka dilantik menjadi anggota DPR dengan mengucapkan sumpah. Bunyi sumpah ini begitu mulia: “... akan bekerja dengan sungguh-sungguh ‘demi tegaknya kehidupan demokrasi serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi seseorang dan golongan,” serta “akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan rakyat dan NKRI”.

Esensinya, mereka berada di lembaga DPR adalah untuk mewakili rakyat yang telah memilih mereka di antara sekian calon yang disodorkan oleh partai-partai politik. Ingat: rakyat hanya memilih sebagian dari calon-calon yang sudah disaring oleh partai.

Dua barisan besar politikus yang bersaing, KMP dan KIH, sama-sama mengaku mengusung kepentingan rakyat. Sebagai rakyat, saya bingung, bagaimana mereka bisa berbenturan hingga begitu bising bila sama-sama mengusung kepentingan rakyat? (Maaf atas pertanyaan naif ini, hingga seorang teman bilang, “Ah kamu, seperti nggak ngerti politik saja.”)

Sejauh cernaan saya, kedua barisan ini tidak memiliki ideologi yang jauh berbeda; buktinya, ada yang meloncat ke sana, ada pula yang ke sini. Sepertinya hanya arah angin yang mengubah haluan, persis seperti kata-kata yang diucapkan sejumlah politikus bahwa ‘politik itu dinamis’ (frasa kata yang tak lain eufimisme dari ‘tidak ada musuh atau kawan yang abadi, kepentinganlah yang abadi’).

Berbeda pendapat dan berdebat boleh-boleh saja, dengan argumen yang sehat, tapi tak berarti harus menjadi kisruh berkepanjangan. Lantas kapan kerjanya? Rakyat sudah mengeluarkan banyak uang melalui negara untuk menyelenggarakan pemilihan anggota DPR. Anggaran penyelenggaraan pemilu tahun ini mencapai kira-kira Rp 16 triliun (Antara)—dapatkah Anda membayangkan besarnya angka ini? Sedangkan anggaran untuk pelantikannya (bersama anggota DPD) mencapai Rp 16 miliar. Sangat banyak.

Sayangnya, setelah terpilih dan dilantik, para anggota DPR sibuk menyuarakan perintah (elite) partai dan bertikai dengan begitu bising. Tak bisakah para politikus dari kedua barisan berkomunikasi dengan cara yang lebih baik? Tak mampukah para politikus dari kedua barisan ini menemukan jalan keluar dengan cara yang lebih bermartabat? Bayangkan, alangkah repotnya pemerintahan Jokowi-JK jika harus memilih melakukan rapat kerja dengan salah satu dari dua versi pimpinan dan komisi-komisi DPR.

Sudah waktunya para politikus kembali kepada nalar sehat dan kepada tujuan asasi menjadi anggota DPR, yakni mewakili rakyat dalam merumuskan kebijakan demi tercapainya kebaikan dan kesejahteraan hidup mereka. Berdebat boleh, tapi jangan terlampau gaduh. Kebisingan politik hanya membikin rakyat semakin susah, meski barangkali sangat menarik untuk menjadi bahan skripsi. [indonesiana]

Penulis: Dian Basuki

XPresiana adalah ruang jurnalisme warga yang disediakan oleh Koran Online ACEHXPRESS.COM - Silakan kirim berita maupun opinimu.

Caranya sangat mudah, klik: Tulis


EmoticonEmoticon