![]() |
Aliya Nurlela |
Oleh: Aliya Nurlela
AKHIR-AKHIR ini telinga kita (masyarakat) dibuai oleh sebuah kata yang tiba-tiba populer, yaitu “pencitraan.” Sebelumnya, kata tersebut belum memasyarakat dan terkesan masih asing untuk diterapkan dalam pembicaraan keseharian. Namun menjadi dikenal sejak ajang pilpres digelar. Kata pencitraan menjadi pembicaraan sehari-hari di media—baik cetak maupun elektronik—dan menjadi bahasa yang populer di kalangan masyarakat. Kata pencitraan pun tidak lagi menjadi kata yang asing, justru menjadi sebuah kata yang sangat akrab di telinga.
Apa
sih sebenarnya arti dari kata pencitraan? Pencitraan berasal dari kata dasar
“citra” yang pengertian menurut KBBI adalah rupa; gambar, gambaran. Mencitrakan
adalah menggambarkan. Pencitraan memiliki pengertian sebuah upaya untuk
memberikan kesan menonjol/positif di mata publik. Jadi bisa diartikan bahwa
pengertian dari pencitraan ini mengandung makna “seolah-olah” seseorang
memiliki citra yang baik, padahal itu hanya “tipuan” atau mengesankan semata.
Pencitraan selalu dikaitkan dengan para politisi, yang cenderung berubah sikap tiba-tiba di saat menjelang pemilu. Tujuannya memikat hati rakyat dengan cara memperbaiki citra di mata publik. Tak heran, masyarakat akan dikejutkan dengan berbagai pencitraan dari orang-orang yang sebelumnya tidak pernah berlaku demikian, terutama jauh sebelum mencalonkan jadi apa pun. Tak heran juga kalau telinga masyarakat makin akrab mendengar cibiran-cibiran negatif atas sebuah tindakan yang dianggap pencitraan. Setiap ada calon-calon pemimpin/wakil rakyat melakukan kebaikan yang diliput media, serta merta akan dituding sebagai pencitraan semata. Hingga, media tak lagi dipercaya dan nilai pemberitaan media jadi bergeser.
Benarkah pencitraan hanya dilakukan oleh para politisi saja? Tidak benar. Di era digital, semua orang berpotensi melakukan pencitraan, sebab medianya sudah ada. Tulisan sependek apa pun bisa langsung dikonsumsi publik. Seperti misalnya status di facebook atau twitter. Satu kalimat pernyataan yang kita buat bisa langsung diposting di media sosial dan dibaca oleh banyak orang dari berbagai belahan dunia. Tulisan yang kita buat bisa saja hanya berupa pencitraan pribadi diri kita, agar dikenal publik sebagai orang yang selalu berlaku positif di setiap keadaan. Contoh status yang berpotensi dianggap sebuah pencitraan oleh pembaca, “alhamdulillah...saya selalu semangat setiap hari dan mengerjakan tugas-tugas sesuai target. Siap-siap disayang semua orang, termasuk mama-papa, om-tante dan Sang Pencipta.”
Para pengguna media sosial juga bisa dengan mudah menggunggah foto-fotonya saat melakukan kebaikan-kebaikan; seperti menjelang salat jumat, buka bersama, umroh, haji, menyumbang panti asuhan dll. Banyak foto-foto yang diunggah ke media sosial dan berpotensi dianggap pencitraan semata. Misalnya seseorang yang berangkat ke tanah suci dan menggunggah fotonya saat beribadah di sana, lalu menyertakan sebuah tulisan pendek “Air mata ini mengalir deras saat melantunkan asma-Mu di tanah suci. Ya Allah, terima kasih telah Kau kabulkan hajat ini.”
Kehadiran media sosial bisa dianggap ruang hingar-bingar yang memungkinkan bagi siapa saja untuk melakukan upaya-upaya pembuktian keeksisan. Sebelum tahun 90-an, tulisan dan foto-foto berada di ruang sunyi, hanya tersimpan di buku diary atau album. Tapi zaman telah berubah dan tekhnologi berkembang demikian pesat, hingga yang dulu tersembunyi menjadi terbuka. Kita dengan mudah bisa membaca berita terbaru setiap saat. Apa yang terjadi di luar dunia kita, menjadi sangat mudah untuk diketahui, termasuk kegiatan-kegiatan keseharian teman dll.
Pertanyaannya, apakah salah orang berbuat baik lalu membiarkan media meliput atau sengaja mempostingnya di media sosial? Di era digital ini saya kira sah-sah saja. Kehadiran media sosial ibarat pisau bermata dua—bisa dipakai ajang menyebarkan fitnah, provokasi, pornografi dll dan bisa juga dipakai ajang menyebarkan kebaikan. Tinggal si pengguna mau bersikap seperti apa. Kalau para pengguna media sosial yang menyebarkan kebatilan dibiarkan dan diberi lahan seluas-luasnya (tanpa sensor), maka secara otomatis pengguna yang menyebarkan kebaikan pun, dibolehkan. Dengan demikian media itu menjadi “milik” bersama, siapa pun berhak menuliskan apa saja dan mengunggah foto apa saja. Siapa pun berhak mengomentari dan menanggapi karena dunia hingar-bingar adalah dunia terbuka. Kenal ataupun tidak memiliki hak yang sama untuk berkomentar.
Namun sangat memprihatinkan ketika cibiran-cibiran negatif soal pencitraan ini mencuat (saat pilpres), bahkan dijadikan pernyataan massal/berjamaah yang sifatnya untuk diyakini publik agar ikut meyakini hal tersebut. Bagi masyarakat yang tidak suka dengan fitnah, provokasi dan embusan-embusan yang menimbulkan keresahan tidak akan latah mengikut sebuah pernyataan. Sekali lagi ini dunia hingar-bingar yang siapapun boleh menilai dan berpendapat. Tapi disadari atau tidak secara otomatis hal ini pun mengaburkan makna kebaikan/amal saleh. Siapapun yang berbuat kebaikan, tidak lagi dianggap ketulusan dan akan dihakimi sebagai pencitraan. Para pelaku kebaikan akan dicibir, dianggap pamer, cari muka, jaga imej dan menjadi pretensi buruk bagi hubungan persaudaraan atau pertemanan. Dampaknya orang menjadi takut untuk berbuat baik. Hingga yang tersisa di media adalah pemberitaan-pemberitaan pembunuhan, perkosaan, mutilasi, penjambretan dan kebatilan-kebatilan lainnya. Demikian juga di media sosial, bisa saja hanya menjadi ajang fitnah, provokasi, perdebatan dan posting foto-foto tak bermoral.
Menghakimi perbuatan baik yang dilakukan orang lain adalah sebuah kemunduran. Apalagi sampai menafsiri niat ibadah-ibadah yang dilakukan orang tersebut—yang sebenarnya itu murni wilayah hubungan dia dan tuhannya—tak sedikit pun orang lain berhak ikut campur, mengintervensi dan memvonis dengan menganggapnya pencitraan. Soal niat bukan urusan orang lain dan tak sedikit pun berhak menghakimi. Kebiasaan menghakimi orang lain ini bisa saja menjadi bumerang atau senjata makan tuan bagi pelakunya. Ketika si pelaku berbuat hal yang sama (meskipun itu tulus dan nyata) orang akan mencibir juga dan menganggapnya sebagai pencitraan. Apalagi kalau dia terkenal sebagai orang yang sangat giat dan aktif menghujat kegiatan-kegiatan/karya-karya orang lain.
Sangat disayangkan, kata “ikhlas” telah tergeser oleh populernya kata “pencitraan”. Bagi masyarakat yang mudah latah dan tidak memiliki filter untuk menyaring informasi yang masuk, maka kemungkinan besar terjebak dalam euforia statement ini. Krisis kepercayaan rawan sekali terjadi. Tak mudah lagi memercayai kebaikan yang dilakukan orang lain, tokoh masyarakat, ulama, guru, bahkan kebaikan orangtua pun memungkinkan dinilai pencitraan.
Sejatinya, tuduhan pada orang lain kalau itu tidak benar adanya maka namanya fitnah. Sedangkan jika yang dituduhkan itu benar adanya maka bukan wilayah manusia menafsiri niat-niat yang tersembunyi dan menyibukan dalam hal itu, hingga mengurangi amal baik diri-sendiri dan jatuh pada status pencela.
Kita tidak bisa lepas dari dampak berkembangnya tekhnologi dan zaman keterbukaannya, cepat atau lambat berita seburuk apa pun bisa kita terima kalau secara gencar terus diembuskan. Cara berpikir kita akan berubah, malas melakukan kebaikan dan tidak percaya lagi pada orang-orang yang rajin berbuat baik. Semua perbuatan baik orang lain akan dianggap kedok semata untuk menutupi perbuatan yang sebenarnya. Jika ini terjadi, maka sungguh memprihatinkan. Akan terjadi kemunduran moral dan cara berpikir. Orang akan lebih percaya pada pelaku-pelaku keburukan yang dianggap tidak bersusah-payah melakukan pencitraan dan tampil apa adanya. Orang akan lebih percaya pada para penyebar fitnah yang mengatasnamakan agama dan seolah-olah berdiri untuk kepentingan agama yang hanif, padahal bagi orang-orang yang berpikir secara jernih hal itu sangat tidak rasional. Orang yang membela agama Allah tidak akan pernah sudi terjebak dalam statement-statement kebatilan.
Surga dan keridhaan-Nya hanya berada di tangan Allah semata. Bukan milik golongan/partai tertentu. Bukan milik orang-orang tertentu. Semua orang berpotensi mendapat keridhaan-Nya dan berpotensi juga mendapat murka-Nya. Tak ada yang pantas berbangga diri, merasa aman, dan sangat yakin termasuk orang yang pasti masuk surga-Nya. Orang yang hari ini sangat saleh sekalipun, di akhir hidupnya belum tentu. Mungkin saja posisinya akan berbalik dengan orang yang kemarin-kemarin sangat banyak melakukan kemakshiyatan. Hanya Allah yang tahu akhir hidup seseorang, apakah husnul khatimah atau suul khatimah.
Beramar ma’ruf dan nahi munkar memang wajib, sebagaimana yang difirmankan-Nya dalam alqur’an surat Ali-Imran ayat 104. Memperjuangkan kebaikan juga wajib. Namun hendaklah cara-cara yang dipakai dalam mengingatkan dan memperjuangkannya tidak dengan cara-cara yang batil. Fitnah dan provokasi adalah kebatilan. Menghakimi perbuatan baik orang lain juga bisa termasuk kebatilan. Menjadi tak ada beda antara yang beramar ma’ruf dengan pelaku keburukan itu sendiri, dan justru orang berbalik tidak simpatik terhadap pelaku-pelaku amar ma’ruf kalau cara yang dipakai seperti itu. Sikap menghargai hasil karya orang lain dan berbaik sangka dengan niat orang lain adalah ajaran agama yang hanif, yang selayaknya menjadi pegangan bagi orang-orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Sudah saatnya, kita tidak menjadikan sebuah statement sebagai sumber kebenaran. Bagi orang muslim sumber kebenaran yang wajib menjadi pegangan itu sudah jelas. Sudah saatnya juga tidak mudah terjebak dan latah menafsiri perbuatan-perbuatan baik orang lain, sebagaimana halnya kita yang tidak suka ditafsiri. Bahkan alangkah baiknya tidak rutin membaca tulisan-tulisan atau postingan-postingan yang mengarah kepada perpecahan yang mengaburkan makna amal saleh. Seorang bijak berkata,
“hindari buku-buku/tulisan yang tidak bermanfaat dan menyebarkan kabar-kabar yang tidak jelas kebenarannya.”
Ketika melihat orang lain berbuat baik dan karyanya mendapat penghargaan, sudah seharusnya bukan terjebak sibuk memberikan statement-statement negatif. Hal itu samasekali tidak akan menaikan derajat, justru menurunkan derajat. Lebih arif dan bijaksana, lakukanlah kebaikan-kebaikan yang sama, ciptakan karya-karya yang lebih hebat dan silakan buat pemberitaan seluas-luasnya agar publik tahu dan termotivasi melakukan kebaikan pula. Demikian pula bagi kita yang sudah akrab dengan media sosial, jangan takut dianggap pencitraan dengan sering memposting status-status motivasi dan foto-foto karya sendiri. Soal niat hanya urusan kita dengan Allah dan dengan demikian kita pun telah memperlakukan media sosial sebagai alat yang berguna untuk menyebar kebaikan. Bukankah tidak ada orang yang seumur hidupnya mau berpura-pura baik (pencitraan)? Karena sikap berpura-pura itu sangat melelahkan.
*) Aliya Nurlela, Pendiri Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia
lahir di Ciamis, Jawa Barat. Saat ini berdomisili di dua kota, Malang dan Kediri. Sudah menerbitkan beberapa buku fiksi dan nonfiksi.
Pencitraan selalu dikaitkan dengan para politisi, yang cenderung berubah sikap tiba-tiba di saat menjelang pemilu. Tujuannya memikat hati rakyat dengan cara memperbaiki citra di mata publik. Tak heran, masyarakat akan dikejutkan dengan berbagai pencitraan dari orang-orang yang sebelumnya tidak pernah berlaku demikian, terutama jauh sebelum mencalonkan jadi apa pun. Tak heran juga kalau telinga masyarakat makin akrab mendengar cibiran-cibiran negatif atas sebuah tindakan yang dianggap pencitraan. Setiap ada calon-calon pemimpin/wakil rakyat melakukan kebaikan yang diliput media, serta merta akan dituding sebagai pencitraan semata. Hingga, media tak lagi dipercaya dan nilai pemberitaan media jadi bergeser.
Benarkah pencitraan hanya dilakukan oleh para politisi saja? Tidak benar. Di era digital, semua orang berpotensi melakukan pencitraan, sebab medianya sudah ada. Tulisan sependek apa pun bisa langsung dikonsumsi publik. Seperti misalnya status di facebook atau twitter. Satu kalimat pernyataan yang kita buat bisa langsung diposting di media sosial dan dibaca oleh banyak orang dari berbagai belahan dunia. Tulisan yang kita buat bisa saja hanya berupa pencitraan pribadi diri kita, agar dikenal publik sebagai orang yang selalu berlaku positif di setiap keadaan. Contoh status yang berpotensi dianggap sebuah pencitraan oleh pembaca, “alhamdulillah...saya selalu semangat setiap hari dan mengerjakan tugas-tugas sesuai target. Siap-siap disayang semua orang, termasuk mama-papa, om-tante dan Sang Pencipta.”
Para pengguna media sosial juga bisa dengan mudah menggunggah foto-fotonya saat melakukan kebaikan-kebaikan; seperti menjelang salat jumat, buka bersama, umroh, haji, menyumbang panti asuhan dll. Banyak foto-foto yang diunggah ke media sosial dan berpotensi dianggap pencitraan semata. Misalnya seseorang yang berangkat ke tanah suci dan menggunggah fotonya saat beribadah di sana, lalu menyertakan sebuah tulisan pendek “Air mata ini mengalir deras saat melantunkan asma-Mu di tanah suci. Ya Allah, terima kasih telah Kau kabulkan hajat ini.”
Kehadiran media sosial bisa dianggap ruang hingar-bingar yang memungkinkan bagi siapa saja untuk melakukan upaya-upaya pembuktian keeksisan. Sebelum tahun 90-an, tulisan dan foto-foto berada di ruang sunyi, hanya tersimpan di buku diary atau album. Tapi zaman telah berubah dan tekhnologi berkembang demikian pesat, hingga yang dulu tersembunyi menjadi terbuka. Kita dengan mudah bisa membaca berita terbaru setiap saat. Apa yang terjadi di luar dunia kita, menjadi sangat mudah untuk diketahui, termasuk kegiatan-kegiatan keseharian teman dll.
Pertanyaannya, apakah salah orang berbuat baik lalu membiarkan media meliput atau sengaja mempostingnya di media sosial? Di era digital ini saya kira sah-sah saja. Kehadiran media sosial ibarat pisau bermata dua—bisa dipakai ajang menyebarkan fitnah, provokasi, pornografi dll dan bisa juga dipakai ajang menyebarkan kebaikan. Tinggal si pengguna mau bersikap seperti apa. Kalau para pengguna media sosial yang menyebarkan kebatilan dibiarkan dan diberi lahan seluas-luasnya (tanpa sensor), maka secara otomatis pengguna yang menyebarkan kebaikan pun, dibolehkan. Dengan demikian media itu menjadi “milik” bersama, siapa pun berhak menuliskan apa saja dan mengunggah foto apa saja. Siapa pun berhak mengomentari dan menanggapi karena dunia hingar-bingar adalah dunia terbuka. Kenal ataupun tidak memiliki hak yang sama untuk berkomentar.
Namun sangat memprihatinkan ketika cibiran-cibiran negatif soal pencitraan ini mencuat (saat pilpres), bahkan dijadikan pernyataan massal/berjamaah yang sifatnya untuk diyakini publik agar ikut meyakini hal tersebut. Bagi masyarakat yang tidak suka dengan fitnah, provokasi dan embusan-embusan yang menimbulkan keresahan tidak akan latah mengikut sebuah pernyataan. Sekali lagi ini dunia hingar-bingar yang siapapun boleh menilai dan berpendapat. Tapi disadari atau tidak secara otomatis hal ini pun mengaburkan makna kebaikan/amal saleh. Siapapun yang berbuat kebaikan, tidak lagi dianggap ketulusan dan akan dihakimi sebagai pencitraan. Para pelaku kebaikan akan dicibir, dianggap pamer, cari muka, jaga imej dan menjadi pretensi buruk bagi hubungan persaudaraan atau pertemanan. Dampaknya orang menjadi takut untuk berbuat baik. Hingga yang tersisa di media adalah pemberitaan-pemberitaan pembunuhan, perkosaan, mutilasi, penjambretan dan kebatilan-kebatilan lainnya. Demikian juga di media sosial, bisa saja hanya menjadi ajang fitnah, provokasi, perdebatan dan posting foto-foto tak bermoral.
Menghakimi perbuatan baik yang dilakukan orang lain adalah sebuah kemunduran. Apalagi sampai menafsiri niat ibadah-ibadah yang dilakukan orang tersebut—yang sebenarnya itu murni wilayah hubungan dia dan tuhannya—tak sedikit pun orang lain berhak ikut campur, mengintervensi dan memvonis dengan menganggapnya pencitraan. Soal niat bukan urusan orang lain dan tak sedikit pun berhak menghakimi. Kebiasaan menghakimi orang lain ini bisa saja menjadi bumerang atau senjata makan tuan bagi pelakunya. Ketika si pelaku berbuat hal yang sama (meskipun itu tulus dan nyata) orang akan mencibir juga dan menganggapnya sebagai pencitraan. Apalagi kalau dia terkenal sebagai orang yang sangat giat dan aktif menghujat kegiatan-kegiatan/karya-karya orang lain.
Sangat disayangkan, kata “ikhlas” telah tergeser oleh populernya kata “pencitraan”. Bagi masyarakat yang mudah latah dan tidak memiliki filter untuk menyaring informasi yang masuk, maka kemungkinan besar terjebak dalam euforia statement ini. Krisis kepercayaan rawan sekali terjadi. Tak mudah lagi memercayai kebaikan yang dilakukan orang lain, tokoh masyarakat, ulama, guru, bahkan kebaikan orangtua pun memungkinkan dinilai pencitraan.
Sejatinya, tuduhan pada orang lain kalau itu tidak benar adanya maka namanya fitnah. Sedangkan jika yang dituduhkan itu benar adanya maka bukan wilayah manusia menafsiri niat-niat yang tersembunyi dan menyibukan dalam hal itu, hingga mengurangi amal baik diri-sendiri dan jatuh pada status pencela.
Kita tidak bisa lepas dari dampak berkembangnya tekhnologi dan zaman keterbukaannya, cepat atau lambat berita seburuk apa pun bisa kita terima kalau secara gencar terus diembuskan. Cara berpikir kita akan berubah, malas melakukan kebaikan dan tidak percaya lagi pada orang-orang yang rajin berbuat baik. Semua perbuatan baik orang lain akan dianggap kedok semata untuk menutupi perbuatan yang sebenarnya. Jika ini terjadi, maka sungguh memprihatinkan. Akan terjadi kemunduran moral dan cara berpikir. Orang akan lebih percaya pada pelaku-pelaku keburukan yang dianggap tidak bersusah-payah melakukan pencitraan dan tampil apa adanya. Orang akan lebih percaya pada para penyebar fitnah yang mengatasnamakan agama dan seolah-olah berdiri untuk kepentingan agama yang hanif, padahal bagi orang-orang yang berpikir secara jernih hal itu sangat tidak rasional. Orang yang membela agama Allah tidak akan pernah sudi terjebak dalam statement-statement kebatilan.
Surga dan keridhaan-Nya hanya berada di tangan Allah semata. Bukan milik golongan/partai tertentu. Bukan milik orang-orang tertentu. Semua orang berpotensi mendapat keridhaan-Nya dan berpotensi juga mendapat murka-Nya. Tak ada yang pantas berbangga diri, merasa aman, dan sangat yakin termasuk orang yang pasti masuk surga-Nya. Orang yang hari ini sangat saleh sekalipun, di akhir hidupnya belum tentu. Mungkin saja posisinya akan berbalik dengan orang yang kemarin-kemarin sangat banyak melakukan kemakshiyatan. Hanya Allah yang tahu akhir hidup seseorang, apakah husnul khatimah atau suul khatimah.
Beramar ma’ruf dan nahi munkar memang wajib, sebagaimana yang difirmankan-Nya dalam alqur’an surat Ali-Imran ayat 104. Memperjuangkan kebaikan juga wajib. Namun hendaklah cara-cara yang dipakai dalam mengingatkan dan memperjuangkannya tidak dengan cara-cara yang batil. Fitnah dan provokasi adalah kebatilan. Menghakimi perbuatan baik orang lain juga bisa termasuk kebatilan. Menjadi tak ada beda antara yang beramar ma’ruf dengan pelaku keburukan itu sendiri, dan justru orang berbalik tidak simpatik terhadap pelaku-pelaku amar ma’ruf kalau cara yang dipakai seperti itu. Sikap menghargai hasil karya orang lain dan berbaik sangka dengan niat orang lain adalah ajaran agama yang hanif, yang selayaknya menjadi pegangan bagi orang-orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Sudah saatnya, kita tidak menjadikan sebuah statement sebagai sumber kebenaran. Bagi orang muslim sumber kebenaran yang wajib menjadi pegangan itu sudah jelas. Sudah saatnya juga tidak mudah terjebak dan latah menafsiri perbuatan-perbuatan baik orang lain, sebagaimana halnya kita yang tidak suka ditafsiri. Bahkan alangkah baiknya tidak rutin membaca tulisan-tulisan atau postingan-postingan yang mengarah kepada perpecahan yang mengaburkan makna amal saleh. Seorang bijak berkata,
“hindari buku-buku/tulisan yang tidak bermanfaat dan menyebarkan kabar-kabar yang tidak jelas kebenarannya.”
Ketika melihat orang lain berbuat baik dan karyanya mendapat penghargaan, sudah seharusnya bukan terjebak sibuk memberikan statement-statement negatif. Hal itu samasekali tidak akan menaikan derajat, justru menurunkan derajat. Lebih arif dan bijaksana, lakukanlah kebaikan-kebaikan yang sama, ciptakan karya-karya yang lebih hebat dan silakan buat pemberitaan seluas-luasnya agar publik tahu dan termotivasi melakukan kebaikan pula. Demikian pula bagi kita yang sudah akrab dengan media sosial, jangan takut dianggap pencitraan dengan sering memposting status-status motivasi dan foto-foto karya sendiri. Soal niat hanya urusan kita dengan Allah dan dengan demikian kita pun telah memperlakukan media sosial sebagai alat yang berguna untuk menyebar kebaikan. Bukankah tidak ada orang yang seumur hidupnya mau berpura-pura baik (pencitraan)? Karena sikap berpura-pura itu sangat melelahkan.
*) Aliya Nurlela, Pendiri Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia
lahir di Ciamis, Jawa Barat. Saat ini berdomisili di dua kota, Malang dan Kediri. Sudah menerbitkan beberapa buku fiksi dan nonfiksi.
EmoticonEmoticon