AcehXPress.com | Peneliti dari Human Rights Watch, Andreas Harsono, mengatakan presiden terpilih Joko Widodo harus berani menertibkan peraturan daerah yang diskriminatif.
Andreas secara khusus menyoroti aturan yang diterbitkan di Aceh selaku daerah otonomi khusus. "Jokowi wajib mengarahkan Menteri Dalam Negeri untuk meninjau peraturan daerah yang bersifat diskriminatif dengan maksud untuk merevisi atau menghapusnya," kata Andreas di Jakarta, Jumat 3 Oktober 2014.
Pada 1999, kata Andreas, Aceh adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang secara hukum dapat mengadopsi peraturan yang berasal dari hukum Islam atau syariat.
Parlemen Aceh bertugas merancang peraturan daerah Islam, sementara pemerintah Aceh membuat hukum pidana Islam. Peraturan ini berlaku tidak hanya untuk penduduk mayoritas muslim di Aceh, tapi juga sekitar 90.000 penduduk nonmuslim, terutama Kristen dan Buddha, serta wisatawan domestik dan mancanegara yang berkunjung ke Aceh.
Lebih-lebih, dia mengatakan, parlemen Aceh pada 27 September 2014 menyetujui prinsip peraturan daerah Islam dan hukum pidana Islam (Qanun Jinayah). Aturan itu, menurut Andreas, bisa mengkriminalisasi hubungan sesama jenis serta semua tindakan zina atau hubungan seksual di luar pernikahan.
"Hubungan sesama jenis di Aceh akan diganjar oleh hukuman 100 cambukan dan 100 bulan penjara, sedangkan zina dikenakan hukuman 100 kali cambukan," kata Andreas.
Hukuman itu, menurut Andreas, menyangkal hak dasar warga Aceh untuk berekspresi, memiliki privasi, dan menjalankan kebebasan beragama. Kriminalisasi hubungan sesama jenis, Andreas menambahkan, merupakan langkah mundur yang besar, sehingga pemerintah Indonesia yang baru harus mengutuk dan mencabut aturan itu.
"Hukuman cambuk tak relevan lagi dan harusnya sudah ditinggalkan sejak abad pertengahan lampau," ujarnya.
Karena itu, Andreas melanjutkan, Human Rights Watch mendesak DPRD Aceh mencabut dua undang-undang yang baru saja disahkan. Sedangkan Gubernur Aceh Zaini Abdullah harus menghentikan sepak terjang polisi syariat yang menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan kejahatan versi hukum syariat."Orang-orang di Aceh harus menikmati hak dan kebebasan yang sama seperti semua orang Indonesia." []
Pada 1999, kata Andreas, Aceh adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang secara hukum dapat mengadopsi peraturan yang berasal dari hukum Islam atau syariat.
Parlemen Aceh bertugas merancang peraturan daerah Islam, sementara pemerintah Aceh membuat hukum pidana Islam. Peraturan ini berlaku tidak hanya untuk penduduk mayoritas muslim di Aceh, tapi juga sekitar 90.000 penduduk nonmuslim, terutama Kristen dan Buddha, serta wisatawan domestik dan mancanegara yang berkunjung ke Aceh.
Lebih-lebih, dia mengatakan, parlemen Aceh pada 27 September 2014 menyetujui prinsip peraturan daerah Islam dan hukum pidana Islam (Qanun Jinayah). Aturan itu, menurut Andreas, bisa mengkriminalisasi hubungan sesama jenis serta semua tindakan zina atau hubungan seksual di luar pernikahan.
"Hubungan sesama jenis di Aceh akan diganjar oleh hukuman 100 cambukan dan 100 bulan penjara, sedangkan zina dikenakan hukuman 100 kali cambukan," kata Andreas.
Hukuman itu, menurut Andreas, menyangkal hak dasar warga Aceh untuk berekspresi, memiliki privasi, dan menjalankan kebebasan beragama. Kriminalisasi hubungan sesama jenis, Andreas menambahkan, merupakan langkah mundur yang besar, sehingga pemerintah Indonesia yang baru harus mengutuk dan mencabut aturan itu.
"Hukuman cambuk tak relevan lagi dan harusnya sudah ditinggalkan sejak abad pertengahan lampau," ujarnya.
Karena itu, Andreas melanjutkan, Human Rights Watch mendesak DPRD Aceh mencabut dua undang-undang yang baru saja disahkan. Sedangkan Gubernur Aceh Zaini Abdullah harus menghentikan sepak terjang polisi syariat yang menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan kejahatan versi hukum syariat."Orang-orang di Aceh harus menikmati hak dan kebebasan yang sama seperti semua orang Indonesia." []
tempo - tgj
EmoticonEmoticon