AcehXPress.com | Sebuah pertanyaan
menarik yang menggelitik meluncur dari mulut si bocah lucu yang sedang asik
menikmati permen kapas sambil bertanya
pada wanita berkaca mata yang hampir sepuh dan selalu menggunakan baju berwarna
merah. Wanita itu adalah ibu-nya politik di negeri ini. Akhir-akhir ini namanya
kerap muncul dan semakin santer menghiasi berbagai media.
Demi mendengar
pertanyaan cucunya, dia hanya tersenyum dan terdiam. Teringat kedua anaknya
yang sedang berjuang, lebih tepatnya ‘berkelahi’ memperebutkan secuil kursi
empuk berharga mahal yang hanya bisa ditempati oleh empunya pemilik jabatan dan
tahta yang dulu pernah didudukinya. Dan kini karena perkelahian tersebut seolah
tiada hentinya, sang cucu yang masih belia harus mengalami dampak serius, yaitu
terlantar. Bahkan cucu lainnya yang berjumlah ribuan tidur dalam kelelahan,
menunggu kedua ayah mereka pulang perang, terbuai mimpi indah ketika sebelum
pergi ayah mereka berjanji akan membawa semangkuk sup berisi jamur-jamur kemakmuran
yang akan mengganjal perut-perut lapar mereka.
Namun ketika
anak-anak itu terbangun, kenyataan semakin bertambah pahit manakala ternyata mereka
semakin kelaparan dan berharap kedua ayah mereka segera pulang. Lebih miris
lagi ketika sebahagian dari mereka sampai harus mengalami busung lapar saking
terabaikannya.
Sementara disana,
ayah mereka sedang duduk menghadapi sebuah meja dalam ruangan gelap yang hanya
diterangi sebuah lampu, sibuk mengatur strategi, begitu juga dengan ayah yang
lainnya, mereka lupa bahwa anak-anak mereka sedang kelelahan menunggu. Yang penting
mereka menang perang.
Demi melihat
sang nenek yang hanya terdiam, bocah kecil itu kembali melayangkan pandangan ke
arah kotak hitam yang dingin dan sedang memperlihatkan gambar-gambar yang
diiringi oleh suara-suara ribut. Didalamnya terlihat puluhan orang yang duduk
dalam jejeran kursi dengan bentuk setengah melingkar seperti huruf U itu sedang
berteriak-teriak, bahkan ada yang sampai harus berdiri dan menunjuk-nunjuk.
Cucunya hanya
terpaku, tak mengerti kenapa makhluk-makhluk berbaju hitam dalam kotak dingin
itu harus berkelahi.
“puh” ibu politik mengeluh pelan.
Bocah kecil itu
melihat kearah neneknya yang mengeluh, masih menikmati permen kapas meski tak lagi
seantusias tadi.
Masih menunggu
jawaban sang nenek yang tak kunjung menjawab pertanyaannya.
“Nenek, politik itu damainya kapan?”
Sang bocah kembali
mengulang pertanyaan yang sama, dia mengira sang nenek tidak mendengar
pertanyaan yang sama sebelumnya. Lagi-lagi sang nenek, si ibu-nya politik itu
hanya tersenyum dan terdiam. Teringat kedua anaknya yang sedang perang, oh
tidak, sedang berkelahi.
Anak mana yang akan menang? Si kurus atau si
tambun? Si kandung atau si tiri? Si hitam atau si putih? Dia menerka-nerka,
memikirkan strategi apa yang harus ditiupkan keatas ubun-ubun kedua anaknya
agar salah satu bersedia ‘mengalah’ dan mengikhlaskan kursinya dimenangkan oleh
salah satu dari mereka. Toh, tidak mungkin kursi yang hanya muat diduduki oleh
satu orang itu harus diduduki oleh keduanya, tentu kursi berharga mahal itu
akan rusak seketika. Atau solusi lain, kan tidak mungkin kursi mahal itu harus
dibelah dua kemudian dibagikan untuk keduanya, tentu saja kursi mahal itu akan
cacat dengan seketika jua.
Nenek, politik itu damainya kapan?
Sang cucu bertanya
lagi, sedikit meninggikan volume suara dengan tempo yang cepat. Tak ada
jawaban.
Telepon bordering,
sang nenek dengan sigap beranjak dari kursi dan mengangkat panggilan tersebut. Menjawab
pendek-pendek “ya, oh, syukurlah, oh, oke”
dan klik, telpon ditutup. Sang nenek telah mengetahui ayah politik mana yang menang
perang.
“Politik akan damai, ketika aku menggenggam
jantung ayah-mu, seperti memegang benang layangan dan menggantinya dengan segumpal
permen kapas” jawab sang nenek.
“puh”, sang cucu membuang permen kapasnya
yang tiba-tiba terasa pahit. Namun terlambat, sang nenek telah meninggalkannya
sambil tertawa terkekeh-kekeh. [Diana Syahputri]
EmoticonEmoticon